17.Mulai Mencair

1.2K 91 1
                                    

"Bunuh saya kalau begitu."

Agha menatap datar mahasiswinya itu. Apa gadis ini sudah gila sampai meminta Agha untuk membunuhnya.

"Kamu menantang saya?" kening Agha berkerut.

"Saya yakin Bapak gak akan tega untuk melakukan itu. Meskipun Bapak seorang mafia bapak masih memiliki hati nurani," ujar Acha yakin.

Agha menurunkan pistolnya dari kening Acha. Pria itu kembali menyimpannya ke dalam jas.

"Tidak semua mafia memiliki hati nurani, Cha. Dan dunia mafia itu lebih menyeramkan dari apa yang kamu pikirkan," jelas Agha. Pria itu menatap lurus ke depan.

"Seseram apa?"

"Tidak bisa di jelaskan."

"Saya suka tantangan apa saya boleh jadi anggota LavaGhost?" tanya Acha.

Pertanyaan Acha membuat dosennya itu menatapnya tidak percaya. Acha sudah benar-benar kehilangan akal.

"Jangan ngada-ngada kamu, Acha. Kamu pikir dunia mafia itu mainan. Sekali kamu masuk susah untuk keluar lagi. Memangnya kamu mau mempertaruhkan nyawa orang-orang terdekat kamu!"

Acha takjub mendengar Agha berbicara panjang lebar kepadanya. Esnya kini sudah mulai mencair.

"Emang taruhannya nyawa?"

Acha tidak memiliki niat untuk menjadi seorang mafia girl. Ia hanya senang saja berbicara panjang lebar dengan Agha. Ternyata dosennya ini akan menanggapinya jika menyangkut mafia.

"Menurut kamu? Saya yakin kamu sudah tau resiko menjadi seorang mafia."

"Kalau begitu kenapa Bapak jadi mafia? Pak Agha gak takut orang-orang sekitar Pak Agha nyawanya terancam?" tanya Acha.

Agha menghela nafasnya lelah. Kenapa gadis itu banyak sekali bertanya. Apa ia tidak lelah terus berbicara. Agha saja lelah menjawab semua pertanyaan gadis itu.

"Saya terlahir di keluarga mafia. Jadi saya harus meneruskan usaha keluarga saya." Agha sudah mulai lelah meladeni mahasiswi gilanya ini. Kapan gadis itu akan berhenti bicara.

"Ouh." Acha hanya berohria."Terus alasan Bapak gay itu kenapa?" tanya Acha kepo.

"Apa Bapak belum pernah gitu tertarik sama perempuan?"

Agha menoleh menatap Acha jengah.

"Kenapa kamu sangat kepo Acha. Apa kamu tidak memiliki kesibukan lain selain mengganggu saya?"

"Nggak ada karena kesibukan saya itu mengejar Pak Agha!" jawab Acha enteng  Gadis itu menaruh dagunya di atas pembatas rooftop.

"Mau ya nikah sama saya? Kalau nggak jadi pacar dulu aja deh," ujar Acha tidak tahu malu.

"Selamanya saya tidak akan mau Acha. Saya tidak akan mencintai gadis lain selain almarhum tunangan saya!"

"Hah, apa?! Tunangan!"

Acha mengangkat kepalanya menatap dosennya itu. Siapa gadis beruntung yang bertunangan dengan dosennya itu. T-tapi, apa katanya tadi? Almarhum? Itu tandanya tunangan dosennya itu sudah meninggal.

Agha menutup kupingnya. Gadis itu berteriak sangat kencang sekali. Untung saja mereka sedang berada di tengah hutan.

"Siapa almarhum tunangan Bapak? Cewe kan Pak tunangannya?" cerca Acha.

"Tentu saja dia perempuan." Agha merotasikan kedua bola matanya.

"Jadi ini alasan Pak Agha gay! Omo! Beruntung sekali dia," lirih Acha sedih. Gadis yang sangat beruntung bisa di cintai dosennya itu tanpa harus mengejar seperti Acha.

"Gak usah sok tau kamu!" sentak Agha.

Acha menoleh menatap Agha dengan wajah yang cemberut. Jujur Acha iri pada gadis yang di cintai oleh dosennya itu. Ya, meskipun gadis itu sudah tidak ada.

"Terus kenapa Bapak gay?" tanya Acha.

"Bukan urusan kamu."

Acha mengubah mimik wajahnya menjadi sok manis. Gadis itu semakin menggeser tubuhnya ke dekat Agha.

"Sudahi gay mu mari bucin bersama ku." Acha menaik turunkan kedua alisnya. Sedangkan Agha? Pria itu bergidik geli.

Agha mendorong tubuh Acha agar sedikit menjauh darinya. Punya dosa apa Agha sampai di pertemukan oleh gadis semacam Acha.

"Lebih baik kamu pulang Acha. Ini sudah malam!" Agha tidak tahan lagi berlama-lama dengan mahasiswanya ini.

Kini Acha yang memutar matanya malas."Ini tengah hutan Bapak dosen. Bapak kira saya tau jalan keluar dari sini," sewot Acha.

"Kalau begitu saya akan suruh Alfan mengantar kamu."

"Gak mau."

"Lalu apa mau kamu?" gemas Agha. Pengen tak sentil deh ginjalnya.

"Saya mau Bapak yang nganterin saya pulang. Kan Bapak yang suruh anak buah Bapak buat culik saya," ujar Acha.

"Tapi Alfan yang membawa kamu kemari."

"Tetap aja Pak Agha yang suruh. Kalau gak Bapak suruh mana mungkin mereka culik saya!"

Agha mendengus."Kamu itu sangat cerewet. Dan saya tidak suka itu."

*****

Agha mengalah saja jika harus berhadapan dengan mahasiswinya. Mau berdebat sampai subuh pun tidak akan kelar jika lawannya adalah Acha.

"Kenapa kamu diam?" tanya Agha. Saat ini mereka berada di dalam mobil menuju rumah Acha. Sejak tadi gadis itu tidak bicara.

"Tadi Bapak bilang gak suka sama cewek cerewet. Sekarang pas saya diem masib di tanyain kenapa diem. Emang ya cewek itu serba salmmphh."

Agha menutup mulut Acha yang seperti petasan itu. Sekarang Agha menyesal sudah menanyakan hal itu. Dan kenapa juga Agha merasa aneh jika gadis itu diam.

"Sstt, lebih baik kamu diam saja," ujar Agha. Pria itu melepas bekapannya dan kembali fokus menyetir.

Acha merengut ia menatap dosennya itu kesal. Kapan sih dosennya itu peka dan balik suka sama dia.

"Kenapa kamu liatin saya?" tanya Agha tanpa menatap Acha.

"Kenapa? Emangnya gak boleh?" sewot Acha.

"Saya tau saya tampan tapi tidak usah di liatin terus," ujar Agha.

Acha menganga mendengar ucapan dosennya itu. Tidak menyangka jika hal itu akan keluar dari mulutnya. Tapi gapapa Acha senang karena sekarang dosennya itu tidak terlalu kaku.

MY LOVE SADNESS [ENDING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang