24.Berlatih

991 93 5
                                    

"Alfan, cepat kau bawakan makanan untuk gadis ini," ucap Agha menyuruh Alfan.

Saat ini Acha dan juga Agha berada di ruang tengah markas LavaGhost. Acha merasa canggung karena berada di tengah-tengah anak buah dosen mafianya itu. Sekarang gadis itu menyesal sudah mengikuti Agha sampai ke markasnya. Apa Acha juga akan di bunuh setelah ini.

"Cepat taruh di meja!" suruh Alfan pada beberapa orang yang membawa makanan.

"Apa ada lagi ketua?" tanya Alfan pada Agha.

"Tidak. Sekarang kau boleh pergi," ujar Agha.

Alfan mengangguk lalu bergabung dengan anak buahnya yang berada di meja lain. Kini Agha menatap Acha dengan datar.

"Cepat makan," suruhnya pada Acha.

"Saya gak laper," tolak Acha. Gadis itu hanya memandang lempeng makanan yang di beli oleh suruhan pria itu. Acha takut makanan itu ada racunnya.

"Makan atau saya cincang kamu!" ancam pria itu kesal.

Mata Acha membulat dengan sempurna."Bapak kira saya daging cincang enteng banget mengancam nya!" pekik Acha tidak terima.

Seluruh anggota LavaGhost langsung menatap Acha kaget. Wah gila. Berani banget bentak ketua mafia seperti Agha. Jika saja yang membentak itu salah itu anggotanya maka sudah di pastikan nyawa mereka akan melayang saat itu juga.

"Makanya makan cepat!"

"Gak mau! Makanan ini pasti udah di kasih racun, kan!" tuduh Acha menatap Agha curiga.

Agha menganga mendengar tuduhan mahasiswi gilanya.

"Seperti tidak ada kerjaan lain saja saya meracuni kamu. Apa untungnya jika saya meracuni kamu?" ucap Agha datar.

Benar juga. Apa untungnya Agha meracuni dirinya. Jika Agha memiliki niat untuk menghabisi gadis itu mungkin sudah dari tadi Agha menembaknya. Tidak perlu susah-susah meracuni makanannya.

"Ya... siapa tau Bapak takut saya akan lapor polisi!"

"Kamu mau melaporkan saya ke polisi?Memangnya kamu ada bukti?" ucap Agha telak.

Lagi-lagi Agha benar. Memangnya Acha memiliki bukti apa sampai ingin membuat laporan. Tapi bisa saja Acha membawa polisi ke markas pria itu. Tapi dalam sekejap juga Agha bisa merubah tempat ini seperti gedung kosong tidak berpenghuni. Apa tidak di anggap gila dirinya nanti.

"Makan sekarang!" ucap Acha penuh penekanan.

"Nggak mau!" tolak Acha lagi. Gadis itu melipat kedua tangannya di depan dada.

"Kamu menguji kesabaran saya Acha."

Agha mengambil burger di atas piring itu lalu menjejalkan nya ke dalam mulut Acha.

"Emphh..." susah payah Acha mengunyah burger yang dijejalkan oleh dosennya itu. Acha menatap tajam Agha dengan mulut yang di penuhi dengan burger.

"Habiskan dulu makanan di mulut kamu itu." Peringat Agha saat Acha ingin protes.

Acha mengambil air dan meminumnya hingga tandas. Acha mengelap sisa saos di mulutnya secara tidak santai.

"Ih, gak ngerti kode nih! Harusnya kalau saya gak mau itu di tawarin mau di suapin apa nggak. Bukan malah dijejalkan gitu!" protes Acha tidak terima.

Agha memutar matanya malas."Saya tidak mengerti kode wanita."

"Makanya belajar suka sama cewek biar ngerti kode-kode kecil kayak gitu. Pacaran kok sesama jenis!"

Dor!

Acha membelakkan matanya ketika mendengar suara tembakan dari suatu ruangan. Gadis itu melirik pada Agha yang menatapnya datar.

"Ada apa?" tanya Agha saat sadar dirinya di tatap.

"I-itu suara tembakan?"

"Iya." Agha menjawabnya tanpa beban.

Acha membulatkan mulutnya."Bapak ngebunuh orang berapa kali sehari!" kaget Acha. Bukankah tadi pria itu sudah membunuh satu orang dan sekarang adalagi.

"Tergantung ada berapa pengkhianat setiap harinya," ucap Agha santai.

Acha geleng-geleng kepala. Semudah itu Agha menjawab. Seperti tidak ada beban sama sekali di hidup dosennya itu.

"Apa kamu juga ingin berlatih?" tanya Agha.

"Hah? Berlatih apa?" bingung Acha.

"Menembak."

*****

Akibat paksaan dari Agha kini Acha berada di ruang pelatihan menembak. Ruangan itu di penuhi dengan senjata api dan teman-temannya.

"Sekarang kamu pilih senjata mana yang ingin kamu pakai," ujar Agha.

"Di bilang gak mau juga!" ucap Acha kesal.

"Kamu yang memaksa masuk ke dunia saya Acha. Dan sekarang kamu harus belajar menggunakan senjata ini jika nanti kamu dalam bahaya," ujar Agha.

"Saya kan cuma becanda."

"Kamu pikir dunia saya itu main-main?" Agha menatap Acha datar. Setelah itu ia mengambil salah satu pistol dan menaruhnya di tangan Acha.

"Mau tidak mau kamu harus belajar sekarang. Saya tidak mau nanti ada apa-apa sama kamu di saat tidak ada saya."

Agha mengarahkan tangan Acha yang memegang pistol ke arah patung di depan sana. Tangan Acha gemetar karena untuk pertama kalinya gadis itu memegang pistol asli.

"Kamu lihat patung di depan sana dengan seksama. Fokus pada satu titik yang ingin kamu tuju," ujar Agha memulai mengarahkan Acha.

"Kamu bayangkan patung itu adalah musuh kamu. Dia juga memegang senjata yang akan ia arahkan kepada kamu. Satu hal yang harus kamu ingat. Jangan pernah takut mati."

Sebelum menarik pelatuknya, Acha menutup matanya rapat-rapat. Agha membantu Acha mengarahkan tangannya pada pelatuk pistol itu.

"Kalau saya bilang tembak maka tarik pelatuknya. Siap?" ucap Agha. Acha mengangguk sebagai jawaban.

"Tembak!" suruh Agha.

"Bapak mau gak jadi pacar saya!" teriak Acha kencang.

Agha mengerutkan keningnya. Pria itu memiringkan kepalanya menatap wajah Acha yang ketakutan.

"Saya bilang tembak bukan menyatakan cinta," ucap Agha tidak habis pikir.

Acha membuka matanya perlahan lalu menyengir tanpa dosa.

"Kan sama-sama nembak," cicitnya takut.

"Bukan gitu konsepnya!"

"Ya, gimana dong. Emang Bapak gak mau jadi pacar saya?"

Agha menghela nafasnya sabar. Ia melepas tangannya di tangan Acha.

"Tidak."

"Kalau gak mau jadi pacar saya, gimana kalau bapak jadi suami saya aja?" ucap Acha menatap dosennya penuh harap.

"Tidak."

"Nggak? Kalau ayah dari anak-anak saya?"

"Tidak, Acha."

"Gimana kalau jodoh saya aja?" Agha menggelengkan kepalanya.

"Gak mau? Yaudah kalau gitu jadi menantu Mami saya aja. Dan gak boleh nolak!" peringat Acha.

"Kok maksa?" Agha menaikkan alisnya sebelah.

"Gak maksa kok cuma ya harus aja."

MY LOVE SADNESS [ENDING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang