4.Penelpon di tengah malam

1.4K 112 2
                                    

"Acha, habiskan dulu makan malam mu!" teriak Bela, Ibunda Acha.

"Nggak ah entar Acha gendut!" sahut Acha.

Belum selesai Acha menghabiskan makan malam bersama kedua orang tuanya, ia sudah berlari dulu masuk kedalam kamar.

"Ada-ada saja," ucap Beni, Ayah Acha.

"Anakmu itu," ujar Bela.

"Anakmu juga," ujar Beni lalu mereka terkekeh melihat tingkah anak tunggal mereka.

*****

Acha masuk ke dalam kamar dengan cepat. Ia menutup pintu kamar dan mematikan semua lampu yang tersisa hanya lampu tidur.

Acha mengambil ponselnya yang tergeletak di atas nakas lalu mencari nomor seseorang. Acha menghubungi nomor itu dan langsung terhubung.

"Halo," ucap Acha sedikit berbisik di telpon.

"Kenapa Cha?" tanya orang di sebrang telpon.

"Lo tahu gak seharian ini gue jalan sama siapa?"

"Siapa?"

"Pak Agha Feb!" ucap Acha sedikit semangat.

Acha membekap mulutnya sendiri ketika suara yang di keluarkan nya cukup keras. Acha masuk ke dalam selimut lagi untuk melanjutkan perbincangannya bersama Febri.

"What! Serius lo?"

"Iya serius. Meskipun cuma keliling komplek rumah sih," bisik Acha.

"Keliling komplek aja senang, gimana keliling dunia." Ucap Febri tidak habis pikir dengan sahabatnya itu.

"Gue tetap senang selagi itu sama Pak Agha Feb."

"Meskipun keliling comberan gitu?"

"Jangankan comberan lubang semut pun hayuk gas," ujar Acha.

"Udah gila lo. Jangan bilang kalau lo beneran suka sama Pak Agha? Lo gak suka beneran kan sama Pak Agha, lo cuma penasaran kan?" curcol Febri.

"Eum..." Acha sedikit berfikir masih bingung dengan perasaannya sendiri. Apa ia beneran suka dengan dosen dingin itu.

"Kayaknya gue udah jatuh cinta sama Pak Agha deh Feb," ujar Acha lirih.

"Daripada sama Pak Agha yang dinginnya kayak es batu mending lo sama Damian tuh mahasiswa baru," ujar Febri memberi saran.

"Hati gue mentoknya udah sama Pak Agha, Feb, nggak bisa di ganggu gugat lagi."

"Cha, lo jangan kepala batu kalau di bilangin. Selera Pak Agha itu tinggi buktinya dia gak tertarik sama lo." Geram Febri. Acha jika sudah menginginkan sesuatu sudah tidak bisa di ganggu gugat lagi. Sejelek apapun barang itu Acha tetap ingin memilikinya.

"Emang gue terlalu rendahan apa sampai gak masuk kedalam kriteria Pak Agha," cemberut Acha.

"Bukan gitu maksud gue Ashalina Hameeda. Pak Agha itu orangnya dingin plus misterius, gue cuma gak mau lo sakit hati gara-gara ngarepin dosen kutub itu." Jelas Febri.

"Lo pikir Pak Agha beruang kutub," ujar Acha tidak terima.

"Faktanya emang gitu, dinginnya udah ngalahin beruang kutub disana aja."

"Eh bentar, gue baru ngeh kalau lo ngomongnya bisik-bisik. Kenapa sih?" tanyah Febri.

"Gue takut Mom and Dad dengar gue curhat soal cowok, entar kalau gue ditawarin nikah gimana? Iya kalau nikahnya sama Pak Agha 100% gue nggak akan nolak," ujar Acha.

"Gini nih kalau tololnya udah ke sel darah merah, dari hemoglobin jadi hemogoblogin. Kamar lo kan kedap suara Acha!!"

Acha terdiam sebentar memikirkan ucapan Febri barusan."Sejak kapan kamar gue kedap suara?"

"Astaghfirullahaladzim, Ashalina Hameeda sejak lahir kamar lo udah kedap suara!"

"Oh ya?"

Acha keluar dari dalam selimut lalu dengan tidak berdosanya ia berteriak.

"AKH!! GAK ADA YANG DENGAR KAN?!" Teriak Acha.

Tik... tik... tik...

Hening. Tidak ada suara apapun di kamar Acha kecuali dentingan suara jam.

"Iya benar. Hebat!" ucap Acha sangat senang.

"Cantik-cantik kok goblok."

Sambungan telpon terputus, Acha mengernyitkan keningnya. Kenapa Febri mengatainya goblok padahal Acha hanya mengetes benar atau tidaknya jika kamarnya itu kedap suara.

*****

Dari dua jam yang lalu Acha hanya berguling-guling tidak jelas di tempat tidur. Ia tidak bisa tidur karena memikirkan Agha. Sebegitu candunya sekarang Acha dengan seorang Agha Carelio Delmar padahal baru beberapa hari ia mengenalnya.

"Kenapa isi kepala gue Pak Agha terus sih. Apa gue kangen ya?" lirih Acha.

Acha melirik jam dinding nya, ini sudah pukul 1 malam apakah Agha sudah tidur. Acha menoleh kearah ponsel yang berada di sebelah bantalnya.

"Apa gue telpon aja ya? Entar kalau ganggu gimana?" Acha menghela nafasnya kasar lalu beranjak duduk.

"Bodoamat yang penting malam ini gue bisa tidur."

Acha bertekad untuk menelpon Agha di larut malam ini. Acha tidak peduli jika nanti ia akan di semprot oleh dosen dingin itu.

"Bismillah dulu biar selamat Cha. Bismillahirrahmanirrahim berkah," ucap Acha lalu menekan nomor Agha.

Panggilan pertama tidak terjawab namun Acha tidak menyerah ia mencoba lagi menghubungi Agha. Cukup lama namun panggilan kedua terhubung.

"Siapa?"

Acha tersenyum bahagia mendengar suara Agha dari telpon. Suaranya serak seperti orang baru bangun tidur.

"Suaranya mood banget," ujar Acha dalam hati.

"Halo?" ucap Agha karena tidak ada jawaban dari sang penelpon.

Sambungan telpon terputus membuat Acha cemberut.

"Kok di matiin sih padahal masih pengen dengar suaranya."

Acha kembali menghubungi Agha dan langsung tersambung.

"Iya ini siapa?" terdengar helaan nafas dari sebrang namun Acha tidak peduli. Ia meremas dadanya yang dag dig dug ser.

"Yaampun, ini mah harus jadi calon suami," ucap Acha lagi dalam hati.

"Tolong jika tidak penting jangan mengganggu di malam hari!"

"Saya rindu." Ucap Acha dengan cepat sebelum sambungannya kembali terputus.

MY LOVE SADNESS [ENDING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang