7.Setan?

1.2K 99 4
                                    

Acha berdiri di depan cermin merapikan baju dan juga dandanannya. Hari ini Acha harus bisa menarik perhatian Agha dengan kecantikannya.

"Cermin emang gak pernah bohong," ucap Acha di depan cermin.

Acha mengambil tas dan bergegas turun ke bawah. Ia menyelami tangan kedua orang tuanya yang berada di meja makan.

"Acha berangkat dulu ya Mi, Pi, doain Acha semoga hari ini lancar," pamit Acha.

"Sarapan dulu Cha," suruh Bela seraya mengolesi roti dengan selai kacang.

"Kamu ada acara hari ini?" tanya Beni menyeruput kopi hitamnya.

"Nggak ada sih."

"Terus doanya buat apa?"

"Emang kalau doain anak itu harus ada alasannya?" Acha menatap Beni penuh tanya.

"Doa orang tua itu kan gak sembarangan Cha, jadi harus jelas maksud dan tujuannya." Jelas Beni.

Acha mengangguk paham."Hari ini anak Papi dan Mami akan menembak seorang dosen."

Ucapan Acha berhasil menghentikan kegiatan kedua orang tuanya itu. Bela yang mengolesi selai menganga menatap Acha sedangkan Beni tersedak dengan kopinya.

"Astagfirullah, Acha. Kamu mau melakukan tindak kriminal!" ucap Beni kaget.

"Acha sayang, kamu butuh apa nak ngomong sama Papi dan Mami. Apa yang ada di dosen itu bilang nak, jangan membunuh orang itu dosa sayang." Bela menghampiri Acha yang tengah terdiam karena bingung.

"Eh, nggak, nggak, bukan nembak yang dor-dor-dor itu Mi, Pi. Tapi nembak yang itu lho yang ngomong 'Kamu mau kan jadi pacar aku?' Gitu lho!" jelas Acha dengan raut wajah serius.

Bela dan Beni kembali terdiam, Acha menatap keduanya secara pergantian. Apakah penjelasannya masih tidak bisa orang tuanya itu mengerti. Acha menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal, harus dengan cara apa agar kedua orang tuanya ini paham apa yang di maksud oleh Acha.

"Mami sama Papi belum paham ya? Aduh gimana Acha jelasinnya ya," bingung Acha.

"Nggak, Papi paham kok apa yang di maksud Acha. Tapi..." Beni menjeda ucapannya membuat Acha penasaran.

Acha mengerutkan keningnya."Tapi kenapa Pi?" tanya Acha.

"Kamu kan perempuan Acha masak mau nembak duluan," ujar Beni ragu.

"Emang masalah ya kalau Acha nembak duluan? Kalau langsung ngajak nikah gimana?"

"Heh!" Bela langsung menatap Acha tajam.

"Nggak ada nikah, nikah! Kuliah dulu yang benar. Kamu harus sarjana dulu baru boleh nikah!" Bela tidak setuju jika Acha harus menikah muda.

"Ngapain harus sarjana kalau Mami sama Papi udah kaya," celetuk Acha.

"Pokok Mami nggak setuju kalau kamu pacar-pacaran sekarang. Kamu itu masih kecil Acha nggak boleh cinta-cinta an," ujar Bela.

"Astagfirullah Mami, Acha udah 21 tahun lho masak gak boleh pacaran." Acha mengerucutkan bibirnya. Acha pikir ia sudah cukup dewasa untuk mengenal sebuah cinta. Hanya saja Maminya yang terlalu berlebihan.

"Kamu harus kuliah dulu Acha, selesaikan dulu pendidikan kamu. Apalagi ini kamu dulu yang mau mengutarakan cinta, mana harga diri kamu."

"Acha kan nggak punya harga diri," ceplos Acha.

Bela membelakkan matanya."Mami sambit nih bibirnya!"

Acha menutup mulutnya yang terlalu licin untuk berucap. Acha lupa jika ia berbicara dengan seorang Bela Hameeda yang selalu menjunjung tinggi harga diri seorang perempuan.

Bela adalah perempuan yang paling mementingkan harga dirinya, sampai Papanya harus sering mengalah saat berdebat dengan Bela. Beni selalu meminta maaf meskipun itu jelas bukan kesalahannya. Karena menurut Bela perempuan tidak pernah salah.

Sandal putus pun itu kesalahan seorang pria.

Acha tersenyum manis lalu memeluk Bela dari samping.

"Acha cuma becanda kok Mi," ujar Acha lembut.

"Kamu janji ya sama Mami kamu gak boleh nembak cowok duluan. Wanita itu harus di kejar sayang bukan mengejar."

"Iya Mami, Acha janji." Acha menautkan jari tengah dan jari telunjuk di balik punggungnya. Kata orang jika kita tidak ingin menepati janji maka lakukanlah seperti itu.

"Acha berangkat dulu ya," pamit Acha mencium Pipi Bela dan Beni secara bergantian.

"Gak mau sarapan dulu?" tanya Bela memastikan.

"Lain kali aja Mi," ujar Acha namun satu tangannya mencomot roti yang sudah Bela olesi dengan selai kacang tadi.

Bela dan Beni sama-sama menatap kepergian Acha dengan mulut yang terus mengunyah satu potong roti.

Beni menghela nafasnya sabar lalu menyeruput kopinya yang sudah tinggal setengah.

"Sepertinya kita perlu stok kesabaran yang banyak untuk Acha," lirih Beni beranjak dari duduknya.

"Pas hamil dulu Mami ngidam apa ya Pi? Kok besarnya jadi seperti Acha?" Bela masih tidak mengalihkan pandangannya dari pintu yang sudah Acha lewati tadi.

"Ya, mau gimana lagi. Tuhan kasihnya anak seperti Acha ya di syukuri aja yang ada."

*****

Acha berjalan mengikuti langkah Agha dari belakang. Tanpa Agha sadari Acha sudah mengikutinya dari parkiran. Acha ingin mengejutkan Agha saat ia sudah sampai di depan kelas.

Agha melewati koridor yang harusnya mengarah ke kelasnya. Ia malah berbelok kearah belakang kampus.

Acha mengerutkan keningnya."Pak Agha mau kemana?"

Karena penasaran Acha kembali mengikuti kemana perginya Agha. Sampai di belakang kampus Acha kehilangan jejaknya.

"Kok sepi? Ih serem!" bulu kuduk Acha berdiri saat melihat keadaan belakang kampus yang sangat sepi.

"Gak mungkin Pak Agha kesini, ngapain juga dia kesini. Terus yang tadi gue ikutin siapa?"

Acha membelakkan matanya saat teringat sebuah film horor yang baru ia tonton semalam bersama Febri. Di dalam film itu melihatkan seorang gadis yang mengikuti pacarnya dari belakang namun saat berada di tempat sepi pacar gadis itu berubah menjadi dedemit.

"Jangan-jangan itu setan yang menyamar jadi Pak Agha!"

"Sejak kapan sih gue punya indra keenam?" lirih Acha takut.

"Di Youtube ada gak ya tutorial menutup mata batin. Amit-amit gue ngeliat setan yang cosplay jadi pak Agha lagi. Bisa-bisa gue jatuh cintanya sama setan." Acha hendak lari dari tempat itu namun langkahnya terhenti ketika ia mendengar suara desahan.

"Setan juga bisa mendesah?"

MY LOVE SADNESS [ENDING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang