35.Selamatkan dia!

1.1K 84 2
                                    

"Jadi kau yang membunuh Tiana?"

Agha menatap Damian tidak percaya. Bagaiman bisa Agha tidak mencurigai Damian sama sekali. Bahkan bukti yang terkumpul sama sekali tidak mengarah ke pria itu.

"Tentu saja. Apa kau kaget?" Damian tertawa penuh kemenangan.

"Semenjak aku bekerja di perusahaan mu dan bertemu dengan mu. Aku memiliki ketertarikan tersendiri kepada mu," ungkap Damian.

Dulu, Damian hanyalah karyawan biasa di perusahaan Agha. Damian bisa berkuliah di Internasional Jaya itu berkat Agha. Tapi kebaikan Agha di salah artikan oleh Damian.

"Karena aku melihat mu sangat bahagia dengan Tiana aku tidak suka. Aku benci tawa mu dengan gadis itu. Dan saat aku mendengar kalau kau akan menikah aku marah! Aku murka Gha!" ucap Damian keras.

"Tapi aku senang saat pernikahan kalian tertunda kau harus pergi ke luar negeri. Dan di situ aku memiliki kesempatan untuk menghabisi tunangan mu itu! Jika aku tidak bisa memiliki mu orang lain juga tidak boleh!"

Dulu saat kematian Tiana, Agha sangat hancur. Tidak ada yang berani mendekati Agha karena pria itu sangatlah menyeramkan. Bahkan Agha menjadi orang yang sangat tempramental. Dan hanya satu orang yang bisa menenangkan Agha. Yaitu Damian.

Semenjak itu Agha menjadi merasa nyaman dengan pria itu. Merasa ada orang lain yang mengerti dirinya selain Tiana. Dan dua tahun lamanya Agha terjebak di dalam hubungan terlarang itu bersama Damian hingga akhirnya Acha datang dan merubah dirinya.

Kehadiran Acha merubah cara pandang Agha tentang cinta. Gadis itu mengajarkan Agha tentang ketulusan cinta yang sebenarnya. Agha pikir setelah tidak ada Tiana tidak akan ada cinta setulus gadis itu.

"Dan karena gadis itu kau kembali melupakan aku, Agha! Bahkan kau tega mengusirku demi gadis kecil itu!"

Uhuk! Uhuk!

"S-sakit..." lirih Acha memegang perutnya. Agha tidak kuasa melihat mata Acha yang berkaca-kaca.

"Saya mohon bertahan, Acha," ucap Agha.

"Biarkan kami keluar, Dam. Acha sedang butuh pertolongan," mohon Agha.

Damian terkekeh."Biarin kalian keluar sama saja membiarkan kalian hidup bahagia! Pengkhianat seperti kalian tidak pantas untuk hidup!" bentak Damian.

Pria itu mengambil pistol dari dalam bajunya. Damian mengarahkan pistolnya ke kepala Agha.

Agha menarik nafasnya dalam-dalam. Pria itu menatap mata Damian.

"Kau hanya menginginkan aku bukan? Maka biarkan aku bawa Acha keluar dari sini lalu aku akan kembali kepada mu," ujar Agha memberi penawaran.

"Kau pikir aku akan percaya?"

"Aku tidak pernah mengingkari janji ku, Dam. Kau boleh lakukan apa saja padaku setelah aku membawa Acha ke rumah sakit," mohon Agha.

"Yang mengkhianati mu adalah aku. Jadi yang pantas menerima hukuman darimu juga aku."

Damian sedikit menimbang penawaran Agha. Bagaimana jika nanti pria itu tidak menepati janjinya.

"Tidak."

Damian tetap kekuh dengan pendiriannya. Pria itu sudah siap menarik pelatuk pistolnya.

"12 jam. Beri aku waktu 12 jam untuk memastikan keadaan Acha baik-baik saja. Setelah itu aku akan kembali kepada mu dan aku tidak akan mengkhianati mu," janji Agha sungguh-sungguh.

Perlahan tangan Acha menarik dasi dosennya itu. Dia menggelengkan kepalanya lemah yang artinya tidak boleh. Agha tidak boleh kembali kepada Damian.

Agha menatap sendu mata sayu Acha.

"Maafkan saya Acha," lirih pria itu. Tidak ada pilihan lain selain kembali kepada Damian agar bisa menyelamatkan Acha. Agha tidak mau kehilangan gadis yang sangat di cintai nya untuk kedua kalinya.

Damian menarik pistolnya dari kening Agha. Dari tatapannya Agha tidak mungkin mengingkari janjinya apalagi menyangkut keselamatan Acha.

"Baiklah. Jika dalam 12 jam kau tidak kembali kepada ku maka bersiaplah untuk kematian kalian berdua!"

*****

"Dokter!" Agha menggendong tubuh Acha masuk ke rumah sakit. Acha sudah kehilangan kesadarannya karena kehilangan banyak darah.

"Panggil Dokter cepat!!"

Beberapa perawat membawa brankar kearah Agha. Agha pun menaruh tubuh Acha di atas brankar. Beberapa dokter datang menghampiri mereka.

"Cepat selamatkan dia! Kerahkan semua dokter terbaik di rumah sakit ini!" perintah Agha.

Keadaan dan penampilan Agha jauh dari kata sempurna. Wajah di penuhi lebam, lengan Agha juga masih mengeluarkan darah.

"Baik tuan tapi tuan juga harus di tangani," ujar salah satu dokter di sana.

"Jangan pedulikan saya! Selamatkan saja gadis ini!" bentak Agha.

Agha tidak peduli dengan dirinya yang ia khawatirkan adalah keadaan gadisnya itu. Agha hanya ingin melihat Acha baik-baik saja.

*****

Dua jam sudah Acha di tangani di ruang ICU. Selama itu juga Agha merasa tidak tenang.

"Di mana Acha!"

Tiba-tiba Bela, Beni, dan juga Febri datang. Mereka bertiga terlihat sangat panik.

"M-masih di dalam," jawab Agha.

Bela langsung pergi kearah pintu melihat Acha dari jendela ruang Icu. Di samping wanita paruh baya itu ada Beni yang menenangkannya.

Febri menarik Agha sedikit menjauh dari ruang Icu.

"Mana janji Bapak untuk membawa Acha dengan selamat!" bentak Febri. Nafas gadis itu memburu.

"Kamu tenang dulu. Acha akan baik-baik saja," ujar Agha.

"Bagaiman saya bisa tenang saat sahabat saya ada di ruang ICU!"

Agha memegang kedua pundak Febri dan menatapnya serius.

"Akan saya pastikan sahabat kamu akan baik-baik saja. Saya janji itu!" ucap Agha sungguh-sungguh.

Ceklek

Agha dan Febri sama-sama menoleh ketika ruang ICU terbuka menampilkan pria berjas putih.

"Bagaimana keadaan anak saya, dok?" tanya Bela tak sabar.

Dokter membuka maskernya terlebih dahulu. Agha dan Febri mendekat untuk mendengar keterangan dari dokter itu.

"Keadaan pasien sangatlah lemah. Selain banyak kehilangan darah, pasien juga mengalami benturan keras di kepalanya," jelas sang dokter.

Seketika tubuh Bela lemas dan hampir limbung jika saja Beni tak sigap menangkapnya.

"Lalu sekarang bagaimana keadaan anak kami dok?" tanya Beni.

"Kita lihat dalam waktu 10 jam jika keadaan anak Bapak dan Ibu tidak ada pengembangan maka ikhlaskan saja. Karena kemungkinan untuk pasien bertahan hanya 5,1%."

Deg!

"Acha!" Mendengar pernyataan dari dokter membuat Bela shock dan tidak sadarkan diri.

Febri membelakkan matanya tidak percaya.

"Nggak! Rumah sakit macam apa ini! Kalian gak bisa menentukan hidup dan mati seseorang gitu aja! Kalian bukan Tuhan!!" ucapnya tidak terima.

"Justru karena kami bukan Tuhan kami tidak bisa menentukan sampai kapan pasien akan bertahan."

"Saya mohon lakukan apa saja untuk menyelamatkan putri saya," mohon Beni seraya menahan tubuh istrinya yang tidak sadarkan diri.

Agha menarik kerah baju dokter itu. Ia menatap dokter itu sangat mengintimidasi.

"Kerahkan semua dokter yang ada di rumah sakit ini. Gunakan 5,1% itu untuk menyelamatkan kekasih saya. jika kalian gagal maka bersiaplah nyawa kalian sebagai taruhannya!"

MY LOVE SADNESS [ENDING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang