32.Penculikan Acha

925 77 1
                                    

Melihat orang-orang yang berada di dalam mobil itu membuat Acha bingung. Kenapa semua orang terlihat kaku dan juga pendiam. Biasanya salah satu dari mereka akan ada yang melempar candaan untuk mencairkan suasana.

"Kalian semua lagi sariawan ya?" tanya Acha.

Hening. Tidak ada satu pun dari mereka yang menanggapi ucapannya bahkan tidak ada yang melirik ke arahnya.

"Kalian kenapa sih tumben banget diem-diem gini. Lagi sakit gigi kah?"

Acha menatap dua orang di mengapit dirinya secara bergantian. Gadis itu menoel pipi salah satu orang di sampingnya. Acha menyengir saat orang itu juga menatapnya.

"Smile." Acha menarik kedua sudut bibirnya tapi orang itu justru hanya menatap dirinya datar.

Perlahan senyum Acha memudar karena orang itu tetap menatapnya datar. Apakah ada yang salah dengan candaannya?

Acha tidak menyerah begitu saja untuk mencairkan suasana dingin di dalam mobil itu. Kini Acha beralih pada orang di samping kirinya.

Acha menepuk pelan bahu orang itu.

"Udah makan?" tanya Acha. Orang itu hanya melirik sekilas lalu kembali menatap ke depan.

Melihat responnya yang datar membuat Acha mengernyit heran.

"Lagi mogok ngomong kali ya," gumam Acha pelan.

Acha menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Ia menatap supir yang sedang menatapnya dari kaca depan mobil. Acha tersenyum sebagai sapaan tapi supir itu langsung membuang muka. Sombong sekali.

"Eh, kalian tau gak sih kalau upin ipin itu botak?" ujar Acha berniat melempar candaan. Tapi jauh dari dugaannya tidak satu pun di antara mereka yang menanggapinya.

Acha mendengus kesal karena tidak ada satupun dari mereka yang menggubris ucapannya. Acha jadi bingung kenapa mereka tahan dengan kesunyian ini.

"Bentar. Kayak ada yang salah deh."

Acha merasa sudah tiga puluh menit lebih menempuh perjalanan. Sedangkan jarak rumah dan kampus hanya lima belas menit.

Acha menatap sekeliling jalan yang di lewatinya. Itu bukanlah jalan menuju ke rumahnya.

"Kayaknya kalian salah jalan deh. Ini bukan arah ke rumah gue," ujar Acha.

Perasaan Acha mulai tidak nyaman berada di mobil itu. Apa jangan-jangan ucapan Febri benar kalau mereka bukan anak buah Agha. Tapi Acha harus tenang dulu.

"Bisa gak mobilnya berhenti di sini aja? Gue baliknya naik taxi aja deh," ujar Acha berusaha membujuk.

Tidak ada yang mendengar atau menanggapi ucapannya. Sebenarnya mereka siapa.

"Kayaknya kalian lupa arah rumah gue, jadi berhenti di sini aja. Nanti gue balik sendiri aja."

"Bisa diam gak!!"

Acha terpelonjat kaget saat orang di samping supir membentaknya. Mungkin ia sudah muak mendengar celotehan Acha dari tadi.

"Kok lo bentak gue?! Gue aduin ke bokap gue kelar lo!" Acha balik membentak.

"Lo itu lagi di culik gak usah banyak tingkah! Duduk manis di situ tanpa bacot biar tugas kita cepat kelar!"

"Kenapa lo gak bilang dari awal kalau mau culik gue? Kalau gitu kan tadi gue persiapan dulu," ujar Acha tanpa sadar. Tapi di detik itu juga Acha sadar akan ucapannya.

Acha membulatkan matanya dengan sempurna.

"What!! Gue di culik??"

*****

Setelah tahu jika Acha di culik Agha segara menyuruh Alfan untuk mengerahkan semua anak buahnya untuk mencari mobil yang membawa gadisnya itu. Sejak tadi Agha tidak tenang di ruangannya.

"Kalau sampai terjadi sesuatu yang buruk pada Acha saya akan salahin Bapak!" ucap Febri. Gadis itu juga merasa tidak tenang mengetahui sahabatnya di culik.

"Kenapa kamu salahin saya? Harusnya kamu tidak membiarkan Acha pergi dengan orang itu!" ujar Agha membela diri.

Tidak terima di salahkan Febri melangkah lebih dekat kearah dosennya itu.

"Dari awal saya sudah curiga kalau Bapak itu bukan orang biasa. Sebenarnya siapa Bapak sampai Acha menjadi incaran musuh Bapak?!"

"Tidak penting siapa saya. Yang terpenting sekarang adalah keselamatan Acha!" tekan Agha.

Dalam keadaan panik seperti sekarang Febri justru menyudutkan Agha dan membuat pria itu sulit untuk berpikir.

"Ini semua salah Bapak! Harusnya Bapak tidak menyeret sahabat saya ke dalam masalah Bapak."

"Saya tidak pernah menyeret Acha!Dia yang datang sendiri dan memaksa masuk ke dunia saya!" bentak Agha.

"Bapak yang membuat Acha datang ke Bapak. Kalau saja waktu itu Bapak tidak masuk ke universitas ini gak mungkin Acha kenal Bapak!" bentak Febri balik.

"Dan di saat Acha berhenti mengejar Bapak, Bapak justru kembali menariknya. Dan apa itu kalau bukan Bapak yang menyeretnya!"

Agha menatap Febri dengan sorot mata yang tajam. Ucapan Febri juga ada benarnya. Jika saja waktu Acha berhenti mengejarnya dan Agha sadar akan perasaannya mungkin hal seperti ini tidak akan terjadi sekarang.

"Kita sama-sama salah di sini. Harusnya kamu tidak membiarkan Acha pergi dengan orang itu. Mungkin Acha masih di sini sekarang," ujar Agha.

Febri menghela nafasnya kasar. Febri juga sadar ini juga karena keteledorannya. Harusnya Febri tidak membiarkan Acha pergi tadi. Mungkin Acha tidak akan di culik.

"Iya saya minta maaf," ucap Febri menyesal.

Tiba-tiba saja Agha teringat sesuatu. Pria itu langsung duduk di depan laptopnya.

"Saya baru ingat kalau saya menaruh pelacak di ponsel Acha," ujar Agha mengingat jika ia sudah menaruh pelacak di ponsel gadis itu. Agha sengaja menaruhnya tanpa sepengetahuan Acha agar bisa terus memantau keberadaan gadis itu.

"Kenapa gak dari tadi!" Febri berdiri di samping Agha untuk melihat dimana posisi Acha saat ini.

Agha dan Febri melihat dengan seksama titik merah yang berjalan di layar monitor yang memperlihatkan posisi Acha.

"Sepertinya mereka akan membawa Acha keluar kota," ujar Agha saat melihat arah tujuan mereka.

"Kita harus cepat susul Acha!" ucap Febri. Agha mengangguk setuju.

"Kamu tunggu di sini sampai anak buah saya kembali. Biar saya yang susul Acha sekarang."

"Saya ikut."

"Tidak. Kamu akan menyusahkan saya kalau begitu."

Agha mengambil laptopnya dan menyerahkannya pada Febri.

"Jika anak buah saya datang suruh mereka susul kami di titik tujuan mereka berhenti. Kamu bisa memantaunya dari sini," ujar Agha.

"Apa Bapak bisa janji kalau Acha akan pulang dengan selamat?" tanya Febri menatap Agha dengan sangat dalam.

Agha mengangguk meyakinkan.

"Saya janji."

MY LOVE SADNESS [ENDING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang