Dirga terus saja menarik Raina hingga gadis itu terseok-seok.
"Kak, stop. Berhenti!"
Dirga tak menghiraukan sedikitpun protes Raina. Gadis itu kesal, dan berusaha menarik tangannya yang dari tadi terus di seret dengan kasar oleh Dirga.
Karena Raina terus saja berontak, dengan sekali tarikan kuat, Dirga menghempas tubuh Raina kedepan hingga gadis itu tersungkur menabrak aspal.
"Aw. Shhh...sakit."
Masih dengan posisi telungkup, Raina merasakan perih di bagian siku dan lututnya. Raina berusaha duduk. Dirinya melihat siku dan lututnya yang berdarah. Gadis itu memegangi lututnya yang terlihat lebih parah daripada sikunya. Raina meniupinya serta mengibas-ngibaskan tangannya berharap rasa perihnya berkurang.
"Sshhh.....aw....perih banget."
Dirga berjongkok lalu memegang dagu Raina untuk menghadap kearahnya. "Denger, gue bisa lakuin yang lebih daripada ini kalo lo nggak nurut. Lo pasti juga udah pernah ngerasain yang lebih parah dari ini kan. Jadi inget! Jangan pernah bantah gue! Atau lo tahu akibatnya." Dirga melepaskan dagu Raina kasar. Cowok itu dengan teganya meninggalkan Raina sendirian disana dengan keadaan seperti itu.
Raina hanya bisa menatap kepergian Dirga dengan mata berkaca-kaca. Bukan karena sedih di tinggal oleh cowok itu, tapi karena rasa perih di lutut dan sikunya.
Bohong.
Sebenarnya Raina berkaca-kaca karena keduanya.
"Padahal tadi ngotot banget pengen nganterin. Sekarang malah di tinggalin."
Raina berusaha bangkit. Sesekali mulutnya mengeluarkan ringisan. Raina tak percaya Dirga tega melemparkannya sekuat itu. Lihat saja sekarang. Darah di lututnya bertambah banyak. Sebenarnya dia percaya-percaya saja jika Dirga melakukan ini padanya. Cowok itu kan tak berperasaan.
Raina berjalan terpincang-pincang mendekati kursi yang ada di sana. Dirinya menyelonjorkan kakinya. Sekarang kakinya sudah terasa keram, padahal belum terlalu lama dirinya terluka.
Saat Raina sibuk dengan lututnya. Matanya melihat sepasang sepatu seseorang yang berdiri tepat dihadapannya. Gadis itu mendongak dan mendapati cowok yang di temuinya tadi. Hatinya sedikit kecewa. Dia mengharapkan orang lain yang datang.
"Erza?"
"Oh, lo masih inget nama gue."
Raina mengernyitkan dahi. Bagaimana dia tak ingat. Mereka baru saja bertemu beberapa jam yang lalu.
"Ya." Raina memilih menjawab singkat saja.
"Lutut lo kenapa?"
"Berdarah."
Cowok itu terkekeh geli melihat kepolosan gadis didepannya. "Iya gue tahu kalo berdarah. Tapi kenapa?"
"Jatuh."
Erza berjongkok tepat dihadapan Raina. Memperhatikan luka yang ada di lututnya, lalu mendongak menatap Raina.
"Cowok yang tadi mana?"
Raina dibuat gugup dengan pertanyaan itu. Dirinya gengsi ingin menjawab. Masa iya dia bilang kalo ditinggalin.
Belum sempat Raina menjawab, cowok itu sudah berbicara lebih dulu. "Yaudah gue anter pulang," ucapnya seolah tahu apa yang dipikirkan Raina.
Raina menatap cowok itu dan sebaliknya, cowok itu juga menatap Raina.
"Nggak us....."
"Udah nggak usah bilang makasih," potong Erza.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tertanda R
Teen FictionNggak maksa buat follow, tapi nggak mau pura-pura kepencet gitu? Hehe. Selayaknya bunga yang butuh waktu untuk mekar tapi belum tentu akan mekar dengan sempurna atau malah gugur sebelum waktunya. Dan aku seperti bunga itu. Kelopakku gugur sebelum...