"Hai Sa. Sudah lebih baik?"
"Um yah," jawab Raisa serak.
Keduanya sekarang hanya saling diam dengan waktu cukup lama.
Dirga mengulurkan tangannya menggenggam tangan Raisa dengan hati-hati seolah itu adalah porselen yang mudah di hancurkan. Dirga mengamati tangan rapuh Raisa. Cowok itu baru menyadari jika tangan ini terlihat lebih kurus. Jemari Raisa tampak rapuh dan terlihat sangat kecil dalam balutan tangan besarnya.
"Lo jahat banget Sa sama gue," ucap Dirga pelan.
"Lo nyimpen kesakitan ini sendirian. Lo pura-pura kuat. Lo pura-pura baik-baik saja di depan semua orang. Gue sahabat elo Sa." Dirga menghembuskan napas berat. "Berapa lama? Berapa lama lo nahan ini semua?"
Mata Raisa berkaca-kaca, tapi gadis itu tetap memaksakan untuk tersenyum.
"Ini nggak sakit kok."
"Sa."
Raisa memalingkan wajahnya dari Dirga. "Gue harus gimana Ga? Gue nggak mau lihat orang-orang di sekitar gue terbebani oleh penyakit gue. Gue...."
"Sa. Nggak ada yang terbebani oleh lo. Semua orang sayang sama lo Sa."
"Maka dari itu Ga, gue nggak mau lihat tatapan kasian dari orang-orang ataupun tatapan kesedihan dari mata mereka."
Keduanya kini kembali terdiam. Dirga memandang Raisa lekat. Seolah takut jika gadis itu tiba-tiba hilang.
"Raina mana?" Tanya Raisa.
Dirga diam sejenak. Dirinya tak mungkin menceritakan kejadian papa Raisa yang mengamuk dan mengusir Raina. Bahkan saat ini Bagaskara masih belum bisa tenang, mungkin sekarang Astrid masih berusaha menenangkannya.
"Keluar sebentar."
"Cariin adek gue. Temenin dia."
"Kenapa harus gue temenin? Dia udah gede Sa. Udah bisa jaga diri sendiri."
"Dia sekarang pacar lo Ga. Jagain dia."
"Tapi lo lagi sakit Sa."
"Ga gue mohon. Gue nggak pa-pa."
Dirga menghela napas berat. "Nanti siapa yang jaga....."
Ucapan Dirga terpotong saat pintu ruang rawat Raisa terbuka dengan suara agak keras. Disana berdiri seorang cowok dengan napas naik turun tak beraturan.
Tatapan Revan jatuh pada seorang gadis yang terbaring lemah di atas brankar. Saat mengetahui Raisa sudah dipindahkan ke ruang inap, Revan segera berlarian mencari ruangan gadis itu.
"Udah ada Revan yang bisa jagain gue."
Dirga menoleh menatap Raisa, kemudian menatap Revan dan beralih menatap Raisa kembali. "Lo selalu nggak bisa gue gapai Sa," ucap Dirga lalu melepas genggaman tangannya.
Saat Dirga melewati Revan, pundaknya dicekal oleh cowok itu.
Revan berbisik di telinga Dirga. "Papa drop lagi. Habis ini pulang ke rumah."
Dirga menatap tajam Revan, begitupun sebaliknya. Dengan menyentak kasar, Dirga melepas cekalan Revan pada pundaknya, lalu tanpa mengatakan apapun cowok itu pergi meninggalkan ruangan.
Revan beralih menatap Raisa yang dari tadi memperhatikan interaksinya dengan Dirga. Cowok itu mendekat dan duduk di kursi samping ranjang Raisa. Keduanya hanya saling diam di ruang putih nan sunyi itu. Seolah-olah menggambarkan suasana hati mereka. Cukup lama mereka seperti itu sampai suara Raisa memecah keheningan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tertanda R
Fiksi RemajaNggak maksa buat follow, tapi nggak mau pura-pura kepencet gitu? Hehe. Selayaknya bunga yang butuh waktu untuk mekar tapi belum tentu akan mekar dengan sempurna atau malah gugur sebelum waktunya. Dan aku seperti bunga itu. Kelopakku gugur sebelum...