"Gue mau nikah."
"Gue juga mau, Bang." Haruto membalas dengan asal.
"Nikahnya minggu depan."
"Anjing!"
Asahi tertawa kecil. Umpatan Haruto terdengar lucu di telinganya.
"Bang, lo beneran mau nikah?" tanya Haruto. Ia mendekat kepada Asaih, mengabaikan PC yang sedang menampilkan nada-nada hasil olahannya. "Minggu depan?"
Kepala Haruto langsung di dorong menjauh oleh Asahi. "Apa, sih? Heboh bener lo!" omelnya. "Nggak rela gue tinggal nikah?"
"Terus May gimana?" tanya Haruto. Ia tak mempedulikan omelan Asahi. "Kalo nikah, nanti lo keluar dari rumah ini? Terus May?"
"Justru karena May gue nerima permintaan dari Papah."
"Lo dijodohin?" tanya Haruto. "Bang, demi apa?"
Tak ada niatan dari Asahi untuk menjawab dugaan Haruto. Lelaki itu lebih memilih untuk kembali tiduran di atas ranjangnya. Memandang kosong langit-langit kamar, membiarkan ocehan Haruto terus terdengar.
"Bang, seriusan lo! Beneran mau nikah minggu depan?" tanya Haruto. "Gara-gara May? Bapak lo minta lo nikah biar May tetep bisa tinggal di sini?"
Asahi masih enggan untuk menjawab. Ia membiarkan Haruto melempar banyak pertanyaan kepadanya.
"Bisnis bukan? Usaha bapak lo mau ancur ya? Atau perluasan cabang?" Haruto masih terus mengeluarkan dugaannya. "Kalo kurang dana, mending sama perusahaan Papa gue aja. Gue yang atur deh. Lo nggak perlu nikah."
"Lo kayaknya nggak rela banget gue nikah ya?" tanya Asahi dan dijawab anggukkan polos Haruto. "Suka lo sama gue."
Mata berbinar Haruto langsung berubah menjadi sinis. "Gue kasihanin, malah ngelunjak!" omelanya. Ia kembali duduk di kursi komputer Asahi. "Lo kenal sama ceweknya, Bang?"
"Minggu depan baru kenalan."
Haruto yang sudah siap kembali fokus pada layar komputer kembali berbalik ke arah Asahi. "Lo langsung nikah tanpa kenalan?"
"Minggu depan baru pertemuan," jawab Asahi. "Gue minta sama Papah buat ketemu empat mata sama perempuan itu."
"Bang ...," panggil Haruto pelan. "Lo percaya sama gue kan?" Ia menatap mata Asahi dengan penuh keyakinan. "Gue ikut ya."
Asahi menghela napas. "Ngapain? Lo mau gantiin gue buat nikah sama dia?" ucap Asahi.
"Cantik nggak? Kalo cantik gue mau." Dengan asal Haruto menjawab. "Ck! Bukan itu. Gue cuma pengen tau aja."
"Jiwa lambe lo masih menggebu-gebu ternyata," komentar Asahi. "Jangan, deh. Nanti gue jadi korban pertama di akun baru lo!"
Haruto mengumpat pelan. Ia kembali berpindah ke tempat tidur Asahi. "Bang, seriusan! Gue bantuin, deh. Perusahaan bokap lo butuh suntikan berapa?"
"Keluarga Si Cewek yang butuh suntikan dana. Lo batu dia gih."
"Keluarga lo aman?" tanya Haruto. "Berarti ini lo bantuin keluarga cewek itu?"
Asahi mengangguk. "Gue mau negosiasi sama ceweknya. Kali aja dia bisa diajak kerja sama," jelas Asahi. "Sebenernya rencana ini udah ada dari gue umur 17 tahun, tapi gue minta waktu sampe lulus sekolah."
"Gini banget hidup orang kaya." Haruto menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Banyak duit, tapi hidup nggak bebas."
"Lo juga kalo tinggal di kelurga Papa lo pasti gini."
"Untung gue udah lepas--"
"Gue rasa nggak lepas juga," koreksi Asahi. "Cuma belum, apalagi cuma lo pewaris tahta di keluarga."
Haruto mengedikkan bahunya. "Gue bisa berlindung di balik Bunda," jawab Haruto percaya diri. "Ayah juga pasti pasang badan buat bantuin."
"Lo harus banyak-banyak bersyukur," ujar Asahi. "Lo punya keluarga yang bisa ngelindungi lo, masih punya tempat nyaman yang bisa disebut rumah dalam artian sesungguhnya."
Tak ada balasan dari Haruto. Ia hanya terdiam. Pikirannya melanglang buana kepada seorang perempuan yang sudah lama ia lupakan.
"Eh, lo jangan cerita masalah ini ke anak-anak Trejo, ya!" pinta Asahi. "Cuma lo yang tau masalah ini."
"Siap," jawab Haruto yakin. Ia memang cukup sering menjadi buku harian Asahi. Begitupun dengan Asahi yang selalu mendengarkan cerita Haruto.
Entah sejak kapan kedua manusia itu menjadi dekat. Haruto orang pertama yang tahu bahwa Asahi adalah kakaknya Mao. Asahi juga orang pertama yang mengetahui fakta bahwa Haruto adalah seorang Tuan Muda.
"By the way, Bang. Kak Hitomi gimana?"
•Hamada Asahi•
KAMU SEDANG MEMBACA
METAMORPIKIR SEMPURNA
Fanfiction-Hamada Asahi- "Gue udah terlalu lama kabur. Ini waktunya nerima kenyataan." -Hirokawa Mao- "Dibandingkan berpikir tentang Mama yang nggak nerima gue. Lebih baik gue bersyukur karena masih banyak yang sayang kepada gue." -Nakamoto Mara- "Aku percaya...