Sei Ra Meats sudah tak lagi ramai. Hanya ada para pekerja yang sedang merapikan resto, Seira menghitung pemasukan hari ini, serta Jihoon pelanggan terkahir yang mengambil menu sendiri seperti prasmanan.
"Besok hari terakhir, Ei?" tanya Jihoon setelah menghabiskan semua menu daging yang tersisa di dapur. "Si Mama udah heboh mau buat kue kering."
Belum ada jawaban dari Seira. Matanya tetap fokus menghitung pemasukan dan keuntungan bulan ini. THR untuk para pekerjanya sudah aman, bingkisan untuk hari raya juga sudah dibagikan. Biasanya setelah ini pekerjaan ia tinggal leha-leha di kostan, tidak berminat keluar bahkan untuk membuka posting-an sosial medianya. Ia tak mau iri melihat kesenangan mereka.
Syukurnya tahun ini Seira tak perlu lagi iri. Keluarga Park dengan senang hati membuka lebar pintu rumah untuk menyambut ia, menerimanya dengan baik, dan Seira senang masuk ke dalam, tak peduli resiko apa yang akan diterima pada hari esok.
"Kak Sei, besok restoran terkahir cuma cukup buat yang udah booking, kita nggak bisa terima lagi." Penanggung jawab dapur datang melaporkan persediaan untuk hari esok. Proses pengasapan memang membutuhkan beberapa hari, dan stok terakhir memang sudah mereka persiapkan untuk hari esok.
Seira mengangguk. "Berarti besok ada satu yang jaga buat nanya reservasi atau baru ya, Mas," pinta Seira yang sudah selesai memeriksa keuangan resto, "biar nggak ada salah paham dan bilang restoran kita nggak kompeten."
Problem solving dan insting Seira untuk urusan seperti ini memang sangat baik. Sudah terlalu biasa meladeni customer dan terjun di dunia ini sejak SMA membuatnya dengan mudah mendeteksi masalah. Ya, darah bisnis dan diasah sejak dini jelas tidak akan bisa berbohong.
"Oh, iya. Acara selesai kita makan-makan dulu, pesen dari restoran luar aja. Anak-anak maunya apa, nanti pilih."
Walaupun darah bisnis Seira sangat kental. Ia tak pernah segan merogoh kantongnya untuk para pekerja, sesekali tak akan membuatnya rugi. "Nanti bayarnya jangan pake uang resto, pake punya saya aja."
"Baik, Kak."
Jihoon hanya duduk memperhatikan Seira yang sedang mengobrol. Di matanya perempuan itu terlihat sangat menarik ketika serius. Banyak sekali perbedaan Seira dengan para perempuan yang selalu Jihoon anggap merepotkan. "Lo kagak rugi pake duit pribadi buat pekerja resto?"
"Lah, gue dapet duit berkat kerja keras mereka juga," jawab Seira santai, "sekali dua kali nggak akan bikin gue jatuh miskin."
Wah, jawaban Seira semakin membuat Jihoon terpesona. Lelaki itu belum pernah melihat perempuan sehebat ini, tak pernah takut, terkesan kuat walaupun sebenarnya rapuh.
"Lo abis lebaran mau balik dulu?" tanya Jihoon setelah menumpuk piring sisa makannya. "Papa sama Mama biasanya off-road sama pasukan papa, mau ikut nggak?"
Seira seketika terdiam. "Pasukan papa lo?"
"Iya, temen-temen militernya."
"Ji, bapak lo beneran angkatan laut?" Seira masih belum percaya akan hal ini. "Masa, sih?"
Tawa Jihoon langsung pecah, papanya itu memang tak terlalu meyakinkan untuk menjadi anggota militer di mata anak perempuan. Hatinya terlalu lembut pada anak hadis, maklum jenis bapak-bapak yang pengen punya anak cewek tapi nggak kesampaian.
"Kok Papa lo baik banget ke gue, beliau kagak pernah galak gitu? Biasanya tentara tegas pas di rumah juga."
Jihoon yang masih tertawa kini langsung berhenti, wajahnya menjadi datar. "Ini gue korbannya," telunjuknya menunjuk diri sendiri, "oppa korea wajib militer dua tahun, gue seumur hidup."
KAMU SEDANG MEMBACA
METAMORPIKIR SEMPURNA
أدب الهواة-Hamada Asahi- "Gue udah terlalu lama kabur. Ini waktunya nerima kenyataan." -Hirokawa Mao- "Dibandingkan berpikir tentang Mama yang nggak nerima gue. Lebih baik gue bersyukur karena masih banyak yang sayang kepada gue." -Nakamoto Mara- "Aku percaya...