7. Nakamoto's

873 196 29
                                    

"Beneran udah sehat, Dek?"

"Sehat, Bang. Akhir-akhir ini juga nggak pernah kambuh." Mara menjelaskan dengan penuh bahagia. "Bang Yuta tumben dateng ke sini?"

"Nggak pernah dateng kena omel, bagian dateng dibilang tumben."

Mara memajukan bibir bawahnya. Hanya Yuta satu-satunya keluarga yang benar-benar tulus menyayanginya. Kakak sepupunya itu memang cuek, tetapi tetap memiliki cara sendiri untuk memperhatikan Mara.

"Gimana ulangannya?"

"Abang tau dari mana kalo aku lagi ulangan?"

Yuta tak berminat menjawab, memilih untuk kembali menikmati makanannya. "Jangan terlalu semangat belajar sampe lupa istirahat."

"Abang aneh! Orang itu harusnya ngasih semangat kalo ada yang lagi belajar."

"Kamu nggak perlu dikasih semangat juga udah pasti giat belajar. Abang justru khawatir kalo kamu kecapekan gara-gara terlalu semangat belajar."

Yang Yuta katakan memang benar. Nakamoto Mara adalah manusia pencinta belajar, bermain dengan rumus-rumus atau ilmu pengetahuan lainnya adalah hal yang paling disukainya. Apalagi sekarang ia kembali menjadi murid sekolah, ada standar yang harus dikejar, jiwa ambisinya kembali bergejolak.

"Minum obatnya jangan lupa," kata Yuta lagi. Suaranya terdengar dingin, tidak cocok dengan kata-kata yang ia ucapkan. "Jangan mentang-mentang ngerasa udah sehat terus nggak minum obat lagi."

"Minum, Bang."

"Makanan juga, jangan terlalu sering makan-makan yang dipantang. Sesekali aja, itupun kalau kamu lagi benar-benar sehat."

Mara terlalu hafal dialog kakak sepupunya ini. Yuta selalu mengingatkan tentang pola makan Mara. Orang-orang yang tak tahu pasti akan mengira Yuta itu galak dan cuek, padahal sebenarnya ia melarang Mara seperti itu karena khawatir. Yuta tak bisa bersama adik sepupunya berlama-lama.

Hubungan kurang harmonis antara kedua orang tua mereka membuat Mara dan Yuta menjadi korban. Dua anak tunggal itu sangat sulit untuk bertemu. Keduanya bahkan terlihat tidak saling mengenal jika berada di tempat umum.

"Perusahaan yang lo pegang gimana? Aman, kan?"

Mara hanya memberikan anggukkan, walaupun sebenarnya beberapa anak perusahaan yang berada di bawah kendalinya sedang tidak begitu baik. Yuta memang keluarganya yang paling tulus, tetapi Mara tetap tak bisa leluasa menceritakan tentang bisnis orang tuanya.

Kekeluargaan orang kaya sepertinya memang begini, masih tetap ada rasa curiga dan berjaga-jaga akan tusukan dari belakang.

"Aman, semua lancar," jawab Mara meyakinkan kakak sepupunya. "Abang mau pulang kapan?"

Lirikan sinis Yuta berikan kepada Mara. "Kamu ngusir Abang?"

"Iya." Mara mengangguk yakin. "Aku mau belajar, besok tiga mata pelajaran."

"Buseeet. Udah Abang bilang homeschooling aja."

Mara memanyunkan bibirnya. "Aku punya banyak temen sekarang," jawabnya dengan bangga. "Kalo minggu mau jalan-jalan nggak perlu nunggu Abang, tinggal ajak aja temen aku."

"Mereka temenan sama kamu juga gara-gara banyak duit," balas Yuta.

"Temen aku juga duitnya banyak, Bang."

"Sebanyak kamu?"

"Lebih banyak dari aku juga banyak," balas Mara asal. Entah mengapa ia tak terima saat teman-temannya dinilai mata duitan.

"Nona, Non Mara, Nona Mara." Asisten Mara yang bertugas menjaga rumah. "Non, Tuan sama Nyonya mau datang. Sekarang sudah ada di bandara."

Mata Yuta dan Mara dengan kompak membelalak.

🦋

"Kok bisa peternakan sapi kena masalah? Kamu nggak pantau itu?"

Mara menghela napas. Kurang dari satu jam ia bertemu dengan orang tuanya. Keduanya bahkan belum belum menanyakan tentang keadaan Mara sekarang atau aktivitasnya akhir-akhir ini.

"Penggelapan dana itu udah aku handle--"

"Setelah kita mengalami kerugian yang cukup besar!" potong Tuan Nakamoto. Suaranya sangat tinggi, bahkan terdengar hingga area dapur. "Uang yang sudah hilang nggak akan bisa balik lagi!"

Kedatangan Tuan Nakamoto menemui putrinya memang hanya untuk marah-marah, bukan menjenguk apalagi melepas rindu. Perusahaan jauh lebih penting daripada putri tunggalnya.

"Kalau kamu nggak bisa bagi waktu antara sekolah dan perusahaan, balik lagi aja ke homeschooling. Buang-buang waktu aja pake balik ke sekolah biasa."

Mara sudah menduga ini akan terjadi. Ia yakin papanya akan menyalahkan sekolah barunya.

"Dari pada main sama temen-temen baru kamu yang nggak penting itu, lebih baik kamu meeting atau adain pertemuan internal dengan beberapa manajer hotel, perkebunan atau peternakan."

"Aku bisa atur semaunya, lagi pula penggelapan dana hanya ada di perkebunan dan peternakan. Sedangkan dua hotel yang aku pegang semuanya berkembang dengan pesat--"

"Lihat! Semenjak balik sekolah lagi, kamu jadi anak pembangkang. Ini semua gara-gara lingkungan yang buruk--"

"Aku bukan membangkang," sela Mara yang akhirnya meluapkan emosi. Semua lahar panas yang ada di dalam dirinya sudah siap meledak. "Selama ini juga aku bukan nurut. Aku cuma terlalu males dengerin omelan Papa dan berusaha menerima kalau hidup aku emang gini."

Napas Mara mulai terasa berat, dengan telapak tangan sudah berkeringat. Posisi duduknya bahkan sedikit bersandar pada sofa yang ia tempati.

"Pa, Ma .... Selam ini Mara selalu berusaha jadi yang terbaik sesuai dengan keinginan Papa dan Mama. Aku nggak pernah nuntut ini, itu, atau apapun. Aku jalanin semua yang kalian mau walaupun kemauanku nggak pernah ada yang diwujudkan."

Malam ini Mara akan meluapkan semua yang ia pendam. Tak peduli apa yang akan terjadi di masa depan, ia hanya ingin mengatakan semua yang tertahan dalam dirinya.

"Kemauan aku nggak banyak, bahkan nggak mahal. Aku cuma mau Mama sama Papa tau aku masih hidup, anak kalian masih ada di bumi ini. Apa nggak bisa kalo nelpon aku itu basa-basi nanyain kabar dulu? Apa nggak bisa kalian meluangkan waktu saat aku ada di posisi antara hidup dan mati?

"Pa, temen-temen aku yang Papa nilai nggak penting itu jauh lebih perhatian. Mereka pastiin aku nggak kecapekan, mereka nemenin aku kalo kesepian. Bahkan, orang tua temen-temen aku selalu buatin bekel untukku karena tahu aku nggak bisa makan sembarangan."

Mata Mara mulai berkaca-kaca, tetapi ia tak ingin air matanya membuat ia terlihat semakin lemah. "Temen-temenku yang buat aku ingin bertemu hari esok, Ma, Pa. Apa kalian tau cita-cita aku sebelum kembali ke sekolah?" tanya Mara. Ia menarik sebanyak mungkin oksigen ke dalam paru-parunya. "Aku cuma mau pergi, pergi dari dunia ini. Tapi, berkat mereka aku punya banyak harapan untuk hidup!"

.
.
.

"Mba tidur disini, ya," pinta Mara kepada asisten pribadinya. "Aku anggak enak badan, takut malem kenapa-kenapa."

Anggukan dari Mba Hera membuat Mara sedikit lebih tenang. "Saya ambil obat buat Non Mara dulu ya," ucapnya sebelum keluar dari kamar Mara, menyiapkan beberapa obat dan minumnya.

Entah untuk keberapa kalinya Mara menghela napas berat, bersandar pada tempat tidurnya dan sesekali memukuli dada kiri yang sesak.

Air matanya mengalir. Ia tak tahu rasa sakit yang dirasakan ini berasal dari sakit fisik atau psikis, tetapi keduanya membuat napasnya semakin sulit.

Ponsel di nakas samping ranjang langsung ia ambil, mencari kontak orang pertama yang ingin ia hubungi. Tak perlu menunggu waktu lama, panggilan telpon Mara langsung terhubung.

"Halo, Mara. Kenapa, Sayang?"

"Bu-Bund ..., dada Mara se-sesek."

Tak hanya Mara yang merasakan sesak di dada. Seorang wanita yang sebelumnya ingin masuk ke dalam kamar putrinya juga ikut merasakan sesak. Hatinya sakit saat mengetahui bahwa anak satu-satunya jauh lebih memilih untuk meluapkan rasa sakit kepala orang lain dibandingkan dirinya sendiri.

Tbc

METAMORPIKIR SEMPURNATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang