39. Seperti ini rasanya?

648 162 39
                                    

"Seira di rumah Jihoon, kok, Bund," sebisa mungkin Jihoon memberi pemahaman pada bundanya Haruto. "Di sana Mama pasti rawat Sei, nanti Bunda bisa komunikasi sama Mama."

Bunda terlihat kurang setuju. Bagaimanapun Seira masuk ke dalam tanggung jawabnya, apalagi sekarang berada di kota yang sama. Rasanya dosa Bunda akan semakin besar pada Seira jika sekarang tidak merawatnya. "Sei lagi sakit, Ji. Takutnya nggak nyaman kalau di rumah kamu."

"Jihoon rasa Seira lebih aman kalau di rumah keluarga Jihoon," balasnya cukup hati-hati, namun berhasil menyinggung Bunda Hanna. "Bukannya Jihoon lancang, Bund. Tapi, selama ini Seira lebih deket sama keluarga Jihoon."

Masih tetap berusaha mempertahankan Seira untuk tinggal di rumahnya, Bunda kekeuh menggeleng. "Selama sakit aja, nanti kalau udah sehat juga boleh pulang, Ji."

Helaan napas Jihoon keluarkan dengan pelan. Ia berusaha untuk tetap menjaga sopan santunnya. "Bunda yakin kalau Sei tinggal di sini bakalan sehat?" tanyanya sangat hati-hati.

"Menurut lo Seira bakalan lebih sakit kalo tinggal di sini?" Dahyun datang dari lantai dua. Perempuan itu yang tadi siang membawa Seira ke rumah. Melihat kakak Haruto yang lainnya sedang sakit tanpa ditemani siapapun ternyata berhasil mengusik hatinya. "Kita nggak sejahat itu, Ji."

Dua lawan satu, tapi Jihoon masih tetap berusaha membawa Seira keluar dari sini. "Bukan nilai keluar Teh Dahyun jahat, tapi gimanapun Seira pasti ngerasa asing buat tinggal di sini," jelasnya masih tetap sabar dan berbicara dengan hati-hati. "Kalau sama keluarga Jihoon setidaknya Seira udah kenal, sama Mama juga akrab. Minimal Sei bisa leluasa istirahatnya."

Sejauh ini Jihoon masih berusaha untuk tidak mengatakan tentang kesehatan mental Seira yang pasti akan semakin buruk kalau tinggal di sini. "Atau, Jihoon perlu telepon Om Jidi?" tawar lelaki itu, kunci terakhirnya adalah mencari penengah dan yang lebih bertanggungjawab atas Seira. "Jihoon telepon sekarang, ya."

Bunda sedikit terkejut saat Jihoon menyebut nama mantan adik iparnya. Sejauh apa hubungan Jihoon dengan Seira sampai mengenal Jidi? Itu adalah pertanyaan pertama yang muncul di benak Bunda.

"Halo Om?" Jihoon sudah menghubungi Om Jidi tanpa seizin Bunda. "Jihoon izin loud speaker, ya."

"Seira kenapa, Ji?" Jelas langsung bertanya tentang keadaan Seira. Mereka sering komunikasi karena Seira. "Mommy-nya muncul lagi?"

"Nggak, Om," balas Jihoon, ia melirik sekilas, memperhatikan ekspresi Bunda saat Om Jidi menyebut 'Mommy-nya', "tapi Seira sakit, terus sekarang ada di rumah bundanya Haruto."

"HAH? NGAPAIN?" suara Om Jidi sedikit meninggi. "Sekarang kamu di mana? Mbak Hanna mana?"

Jihoon, Bunda dan Dahyun saling bertukar tatap. Mereka cukup terkejut saat mendengar rentetan pertanyaan tentang Seira yang masih terus keluar dari mulut Om Jidi. Hingga akhirnya bunda mengambil alih ponsel Jihoon.

"Hallo, Di. Ini Mbak," ucap Bunda yang ternyata sudah cukup lama ia tidak berbicara dengan adik dari mantan suaminya ini. "Sei biar tinggal sama Mbak dulu, setidaknya di sini kepantau, kalo ada apa-apa gampang. Suami sama anak Mbak ada yang dokter."

Om Jidi jelas tidak setuju, ia yakin kesehatan mental Seira akan semakin buruk kalau harus tinggal di sana. "Nggak usah, Mbak. Biar Sei tinggal sama keluarganya Jihoon aja," balasnya yang tentu akan lebih memilih Sei dengan keluarga Park.

"Kamu nggak percaya sama Mbak, Di?" tanya Bunda sedikit tersinggung. "Gimanapun juga Ei anak Mbak."

"Bukan gitu, Mbak," balas Om Jidi cepat, mereka berdebat dengan keadaan loud speaker ponsel menyala. "Tapi, gimanapun juga Sei masih tetep punya luka masa lalu--"

METAMORPIKIR SEMPURNATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang