8. Juru Semangat

885 199 34
                                    

"Jangan terlalu capek, Ra. Masih bisa besok."

"Satu lagi, Ru. Biar senin tinggal dikumpulin."

Mara masih tetap semangat mengerjakan beberapa soal penilaian akhir semester yang Haruto bawa. Walaupun tangan kirinya masih diinfus, tetapi tangan kanan tetap lancar mengisi soal-soal yang hampir selesai ini.

"Bisa-bisanya kamu ngerjain fisika, kimia, matematika barengan," komentar Haruto. "Aku aja fisika ketemu biologi udah mau lepas otak."

"Lemah," ledek Mara yang masih tetap menunduk pada lembar jawabannya.

Haruto sendiri tak ada niatan untuk membalas. Ia masih tetap duduk di kursi belajar Mara dan sesekali memainkan beberapa benda yang ada di hadapannya. "Biologi udah belum? Sini aku isiin--"

"No!" Mara dengan cepat menolak. "Nanti malah jadi nilai kamu, bukan aku!"

"Ambis juga liat infusan kali, Ra."

Hari ini Haruto menemani Mara yang sedang ujian susulan di rumah. Sebenarnya hari senin nanti juga bisa, tetapi Mara dan keras kepalanya tentu tidak bisa diganggu gugat.

Hampir semua mata pelajaran sudah Mara selesaikan. Seharian ini ia mengerjakan soal-soal penilaian akhir semester yang tidak bisa ia ikuti karena sakit.

Hanya di hari pertama Mara dapat mengikuti ulangan, sedangkan sisanya ia harus terbaring lemas di tempat tidur kamar dengan selang infus yang berada di punggung tangan kirinya. Beberapa kali selang oksigen juga harus menjadi perbantuan napas.

"Itu pake rumus--"

"Diem!" potong Mara cepat. "Aku lagi ulangan, jangan dikasih tau!"

"Raa, yang ngawasin juga aku. Nggak akan tau gurunya."

"Tapi tetep aja nggak jujur. Nilai rapotku harus asli hasil usaha aku sendiri."

Haruto tentu saja langsung melongo. Tak lama setelah itu ia bertepuk tangan pelan. "Padahal anak-anak kelas pas ujian aja kerja sama semua," ucapnya.

"Ya, biarin. Itu mereka. Aku maunya hasil usahaku sendiri, biar tau sejauh mana kemampuan otakku."

Haruto juga dahulu seperti Mara, saat awal-awal pindah sekolah di masa biru dongker. Namun, seiring berjalannya waktu, ia terkontaminasi anak-anak kelas dan mulai ikut bergabung dengan sekte simbiosis mutualisme ujian.

Berbagi kunci jawaban ternyata cukup menyenangkan.

"Nih, matematika udah selesai--"

"Belum setengah jam masa udah beres?"

"Orang soalnya gampang," balas Mara santai. Ia lanjut mengambil soal mata pelajaran yang lain. "Besok aku jadi lepas infus, kan?"

"Emang udah sehat?"

"Udah." Mara menjawab dengan yakin. "Sehatnya dari kemarin, tapi ayah kamu masih larang aku buat sekolah, makanya infusan belum dilepas."

Tawa pelan Haruto terdengar jelas. Ayahnya paham bahwa Mara akan kembali memforsir tubu saat selang yang membatasi aktivitasnya itu dilepas.

"Non Mara, maaf mengganggu. Ini ada laporan terbaru tentang peternakan."

"Tolong simpan di meja belajar aja, Mba. Abis ini aku periksa."

Mba Yumi menyimpan amplop coklat di meja belajar, tepat di depan Haruto. "Kak Ruto mau minum lagi atau makan sesuatu?" tawarnya saat melihat gelas Haruto sudah kosong.

"Nanti aja, Mba. Saya ambil sendiri," tolak Haruto dengan santai. "Oh, iya. Bunda jadi ke sini nggak ya?"

"Jadi, Kak. Tapi, abis magrib katanya," jawab Mba Yumi. "Kak Ruto mau keluar dulu?"

METAMORPIKIR SEMPURNATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang