50. Appreciate

639 162 11
                                    

Mulut Mao terbuka lebar saat melihat baliho besar di halaman rumah. Fotonya terpampang jelas dengan kebaya yang ia pakai hari ini. Dengan tulisan, 'Mao Lulus SMA'. "Ini kapan dicetaknya?"

Sebenarnya tak hanya Mao yang menatap takjub baliho itu. Mami juga sama kagetnya. "Kak May, kamu mau jadi caleg?" tanyanya dengan wajah melongo, bahkan kepalanya sampai sedikit maju, mendekat pada kaca mobil di depannya.

Berbeda dengan reaksi terkejut Mami dan Mao. Papa dan Asahi justru tersenyum bangga. Proyek tahu bulat mereka berhasil. Foto yang baru diambil tadi pagi, lalu didesain dadakan oleh Asahi dan dicetak dalam tempo secepat mungkin. Kurang dari tiga jam, baliho yang siap bergabung dengan baliho caleg lainnya sudah terpampang di depan rumah, dan berhasil membuat si anak tengah melongo takjub dan sedikit malu.

Belum selesai dengan kejutan baleho, Mao langsung mendapatkan kejutan lainnya saat ia turun dari mobil. "Apa itu?" tanyanya saat melihat sebuah kotak sangat besar yang berhiaskan pita merah di garasi depan, tepat di samping Nissan Juke-nya.

Kotak berukuran sangat besar dan diberi pita itu adalah hadiah kelulusan untuk Mao. Mami dan Papa Hamada sengaja menyiapkan itu, bahkan dari jauh-jauh hari. Padahal buat kuliah aja Mao masih ragu mau ambil di dalam atau luar negeri.

"Hadiah kelulusan spesial buat Kak May," ucap Papa Hamada sembari menyerahkan gunting pada putrinya. "Ayo, dibuka."

Mao dengan antusias menerima gunting berukuran besar dan menggunting semua pita hingga setiap bagian dinding kardus besar itu terjatuh dan memperlihatkan Mini Countryman John Cooper Works berwarna Abu. Mobil yang sebelumnya pernah Mao bilang lucu saat ia melihatnya di sebuah mall.

"Kakak suka nggak?" tanya Papa Hamada yang hari ini terlihat paling antusias.

Pertanyaan pria paruh baya yang dikenal dingin dan cuek itu justru berhasil membuat Mao menitihkan air mata. Hey! Mao bahkan tidak memberikan prestasi apapun hari ini. Tetapi keluarganya terlihat sangat bangga dan memberikan apresiasi sebaik ini padanya.

Coba kalo Mao datang bersama sang mama yang mengandung dan melahirkannya. Sudah pasti ia akan habis dibandingkan dengan orang semua teman sekelasnya. Sudah pasti kata-kata yang menilai Mao tidak berguna terdengar oleh telinganya.

🦋

"Kamu kenapa nggak lanjut ambil saintek aja, sih, Ra?"

Mama masih terus berusaha meyakinkan pilihan jurusan kuliah Mara. Apalagi saat tadi perpisahan, putrinya mendapatkan penghargaan sebagai siswi berprestasi karena memberikan emas di lomba karya ilmiah remaja dan menghasilkan beberapa inovasi terbaru dari sampah di sekolah. Mama yakin putrinya pasti lebih cocok di bidang sains dibandingkan bisnis.

Namun, Mara masih tetap teguh dengan pendiriannya. Perempuan itu sudah yakin dengan jurusan yang ia pilih. "Aku tetep mau pilih hukum, lagipula nanti kalo lulus, aku udah tau mau ngapain, Ma," balasnya sembari memilih tas yang ia ingin.

"Kamu bebas pilih jurusan yang kamu mau, Ra. Jangan karena harus ngurus perusahaan, kamu jadi pilihan jurusan yang berkaitan sama bisnis."

Mara akhirnya menatap sang mama, senyum tulusnya terbit. "Maa, karena aku bebas pilih jurusan yang aku mau, makanya aku pilih hukum. Aku mau jadi garda terdepan buat legalitas perusahaan kita, aku mau jadi orang yang paling paham buat urusan hukum di perusahaan. Sedangkan buat bisnis, bahkan aku udah belajar dari zaman aku nggak mau kenal sama hal itu."

Sejujurnya Mama ingin membebaskan putrinya. Ia juga sebenarnya ingin Mara tak lagi memikirkan tentang bisnis. Mama bahkan lebih berharap Mara bekerja sebagai karyawan kantoran biasa, dengan tekanan yang tidak terlalu berat.

"Aku mau yang ini, ya?" pinta Mara mengangkat handbag pilihannya. "Mama yang bayar, kan?"

Mama tersenyum tipis dan mengangguk setuju. Malam ini beliau memang mengajak putrinya belanja, memberikan kebebasan pada Mara untuk membeli apapun. Anggap saja ini adalah apresiasi untuk putrinya.

"Mama jangan khawatir, sekarang aku jalanin semaunya karena emang aku suka. Bukan karena tekanan dari siapapun. Lagipula kalo aku urus perusahaan sendiri, kan, enak. Nanti pas lulus nggak perlu nyari lowongan kerja, malah buka lowongan kerja."

Mama tersenyum tipis, ia akhirnya menyerah. Melihat putrinya yang berkali-kali meyakinkan diri bahwa itu adalah pilihan sendiri akhirnya membuat Mama ikut merasa yakin. "Abis ini kita makan malem, terus belanja buat besok. Gimana?" tanyanya memilih untuk mengalihkan pembicaraan.

Mara jelas mengangguk setuju. Hari ini ia mendapatkan semua yang sebelumnya hanya menjadi angan-angan. Mengikuti perpisahan sekolah, orang tua yang datang ke acara perpisahan--meskipun hanya mamanya--, serta mendapatkan hadiah kelulusan.

Setelah tas pilihan Mara dibungkus dan Mama selesai melakukan pembayaran. Keduanya beriringan menuju salah satu restoran andalan mereka dengan langkah ringan. Bahkan selama berjalan itu, Mama berkali-kali bertanya tentang kegiatan lomba karya ilmiah remaja yang putrinya menangkan.

Sejak tadi pagi pun, postingan Mama di sosial medianya dipenuhi oleh serangkaian kegiatan yang Mara lakukan di acara perpisahan. Dari fotonya dengan sang putri yang memakai kebaya, rekaman video saat nama putrinya dipanggil, bahkan sampai foto Mara sendiri dengan caption yang menyuratkan bahwa ia sangat bangga memiliki putri seperti Mara.

Itu sudah lebih dari cukup untuk Mara. Hadirnya sang mama saja sudah seperti mimpi indah yang sebelumnya tak pernah terwujud, kini ditambah dengan tatapan dan cara mama menunjukkan rasa bangga pada dunia terhadap dirinya. Sudah, Mara sudah merasa semua impiannya terwujud.

Tbc

METAMORPIKIR SEMPURNATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang