"Hai, Ra."
Mara tersenyum saat disapa oleh seorang laki-laki yang cukup akrab dengannya. "Tumben dateng, Kak Jake?"
Lelaki yang Mara panggil Jake itu dengan asal mengangkat kedua bahunya. "Biasa, perwakilan bisnis bokap. Biar citra perusahaan tetap baik. Kayak lo."
"Biasa," balas Mara yang juga menyetujui perkataan lelaki itu. "Yang datang siapa lagi? Kak Sunghoon dateng?"
Jake mengangguk. "Lagi di jalan, dia lagi nyiapin mental buat diserbu wartawan."
"Kenapa? Kena skandal lagi?"
"Balap liar sial, dia ketangkep polisi."
"Kapan?"
"Udah lama, dua minggu lalu, lah. Emang lo kagak liat beritanya? Rame, tuh. Sampe sahamnya anjlok."
Mara menggeleng. "Akhir-akhir ini sibuk sekolah, nggak terima berita-berita murahan."
"Elah, baru sekolah lagi aja bangga. Gue dari dulu sekolah, b aja tuh."
"Biarin, yang penting aku nggak satu sekolah sama Kak Jake. Pasti ribet banget," balas Mara dengan wajah sewot.
Sore ini Mara sedang menghadiri sebuah panti jompo bersama beberapa anak para pengusaha. Jangan lupakan sekumpulan wartawan gosip cabang bisnis yang siap menyoroti mereka. Tak ada yang boleh memperlihatkan wajah tak sukanya, karena jika tertangkap kamera dan dijadikan berita yang tidak-tidak. Sudah pasti itu akan berefek pada bisnis orang tua mereka.
"Gue denger lo lagi deket sama orang, nih?" goda Jake. "Anak pengusaha mana? Bokapnya bisnis apa?"
"Jual beli organ tubuh," jawab Mara asal. Terlalu sering bergabung dengan keluarga Haruto membuat mulut Mara semakin sampah.
"Psycho!" Jake menatap ngeri pada Mara yang sudah tertawa pelan. "Gue pengen ngumpat, tapi takut kedengaran sama manusia lain, terus jadi bahan berita."
Mata Mara seketika membulat. Telapak tangan dengan cepat menutup mulutnya. "Tadi omongan aku kedengaran sama mereka nggak, ya?" bisiknya panik. "Bahaya banget kalo ada headline berita, Putri Tunggal keluarga Nakamoto dikabarkan dekat dengan pebisnis gelap penjualan organ tubuh."
Tawa pecah dari Jake langsung menggelegar, beberapa orang di sekitar mereka bahkan sampai menoleh. "Ra, jangan bikin gue beneran ngomong kasar. Lo gaul sama siapa, sih, sape humornya kayak gini?"
Mara hanya tersenyum saja. "Aku mau ke yang lain dulu, deh. Nyapa-nyapa, basa-basi. Sekalian mantau keadaan."
Kehidupan Mara memang seperti ini. Menjadi salah satu wajah untuk orang tuanya. Harus menjaga nama baik ia, bertingkah sopan, tidak membuat ulah, itu semua demi bisnis keluarganya.
"Mara adikkuuu!" Seorang laki-laki dengan kemeja hitam berpadu dengan jaket Dolce & Gabbana seharga satu motor itu dengan semangat menghampiri Mara. "Gimana kabar? Sehat?"
"Seperti yang Kak Sunghoon liat," jawab Mara yang tangannya masih digenggam oleh lelaki tersebut. "Konsep hari ini apa, Kak? Macan tutul?"
Bibir Sunghoon seketika maju. Ia tahu perempuan di hadapannya ini sedang mengomentari jaket denim bermotifnya. "Leopard, hauuum!" balasnya diakhiri gerakan tangan yang siap menerkam Mara.
Tawa kecil Mara terdengar jelas. "Udah ketemu sama Kak Jake? Tadi dia aku tinggalin di sana."
Sunghoon mengedikkan bahunya. "Bosen gue ketemu Jake mulu. Gara-gara dia gue sial."
"Lah, itu mah gara-gara Kakak main balap liar--"
"Heh, Jake juga ikut anjir. Sama Si Niki juga."
KAMU SEDANG MEMBACA
METAMORPIKIR SEMPURNA
Fanfiction-Hamada Asahi- "Gue udah terlalu lama kabur. Ini waktunya nerima kenyataan." -Hirokawa Mao- "Dibandingkan berpikir tentang Mama yang nggak nerima gue. Lebih baik gue bersyukur karena masih banyak yang sayang kepada gue." -Nakamoto Mara- "Aku percaya...