10. Adik

886 213 23
                                    

"Adem bangeeet ...." Dahyun merentangkan kedua lengannya. Pemandangan kebun teh langsung menyambut netra yang baru terbuka. Angin sejuk bahkan tak segan mengacak-acak surai Dahyun. "Graha Permai kalau digusur jadi kebun teh bisa nggak ya?"

"Terus Kak Juki berubah jadi ulet pucuk?" komentar Mara yang masih tengkurap di atas kasur.

Senyuman di bibir Dahyun seketika sirna. Perkataan Mara semakin hari sudah seperti Hayi. Ya, dia adalah korban Lee Hayi, kakak iparnya Haruto.

"Kamu nanti jadi petani yang metik daunnya," balas Dahyun yang ikut bergabung ke atas kasur.

"Boleh, aku tau caranya, tuh. Kebetulan perkebunan di depan punya keluargaku."

Mata sipit Dahyun langsung membulat. "Keluarga kamu kompetitor nenek aku ya?" tanya Dahyun memulai dramanya.

"Loh, emang neneknya Teh Dahyun juga punya perkebunan Teh?"

"Iya, luas tuh di belakang rumah," balas Dahyun. "Manusia-manusia penuh dosa bahkan sering sengketa buat jadiin warisan."

"PT apa, Teh? Takutnya kolega bisnis aku," balas Mara. "Tempatnya emang di mana?"

"Ada di belakang rumahnya. Namanya apa ya? Haesook cantik?" Dahyun dengan asal membalas. "Nggak tau."

"Masa cucunya nggak tau, Teh."

Dahyun mengedikkan bahunya. "Kita emang sering bercanda tentang warisan, tapi kalo masalah begituan kita nggak tau."

"Enak banget," gumam Mara. "Orang tuaku justru udah ngasih ancang-ancang buat ambil warisan dari kakek nenek. Sejak usia dini aku dididik buat jadi maling."

Dengan cepat Dahyun memukul pelan Mara. "Dididik buat jadi manusia kuat," koreksi Dahyun yang sedang berusaha membuat Mara sedikit membuka pintu maaf untuk orang tuanya.

"Kuat banget," balas Mara dengan nada suara malas. "Ampun, Teh. Aaa." Mara yang awalnya masih tengkurap seketika melompat dari tempat tidur.

Dahyun yang merasakan suasana hati Mara akan berubah menjadi buruk dengan cepat memukul pelan punggung remaja yang ia harap menjadi adiknya itu. "Cepet bangun! Katanya mau jalan-jalan dulu. Sore kita harus pulang, loh."

Sudah tiga Hari Dahyun dan Mara pergi berlibur. Villa milik keluarga Nakamoto menjadi pilihan mereka. Menikmati udara sejuk, setiap pagi berkeliling kebun teh dan perkebunan lainnya. Tak ada satu manusia yang dapat mengganggu keduanya, Dahyun benar-benar meluangkan tiga hari cutinya untuk Mara.

"Kita sarapan di halaman depan ya, Ra." Dahyun sudah siap dengan piyama dan cardigannya. Ia menunggu Mara yang sedang di kamar mandi.

🦋

"Eh, lo lagi libur sekolah, kan?"

Mao dengan semangat mengangguk. Ia baru selesai menyiapkan berkas yang Seira minta. "Ini formulir buat franchise baru, Kak," ucap Mao menyerahkan beberapa kertas yang baru ia print.

"Lo mau ikut nggak?"

"Kemana, Kak?"

"Cek lokasi buat franchise yang baru," jawab Seira. "Lokasinya deket sama beberapa destinasi wisata, bisa sekalian liburan juga."

"Sekarang, Kak?"

Seira mengangguk. "Iya. Berangkat sekarang, malem balik."

"Okay!" balas Mao semangat. "Kalo ada waktu bisa mampir ke tempat wisata kali, Kak." Mao menatap penuh harap pada Seira. Kedua tangannya bahkan sudah saling bertautan, seakan sedang berdoa.

"Kalo ada waktu--"

"Okaaaay! Gas. Bawa apa aja, Kak? Ada berkas penting yang harus disiapin nggak?" Mao sudah antusias menyiapkan beberapa barang yang harus di bawa. "iPad bawa, Kak?"

METAMORPIKIR SEMPURNATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang