Seharusnya Mara senang, seharusnya ia bahagia karena dapur rumah benar-benar hidup setelah mamanya hadir. Namun, kali ini ia mengeluh. Lebih tepatnya, seminggu ini Mara sudah merasa muak.
Hei! Kalau sehari dua hari bikin kue, sih, Mara bahagia. Tapi ini masalahnya dari pertengahan bulan puasa sampai sekarang hampir lebaran, mamanya terus-terusan produksi berbagai jenis kue lebaran.
Dari nastar, kastengel, putri salju, sampai ke kacang mede. Ini tiap hari ada aja yang Mama produksi. Dan sekarang, entah jenis kue apalagi yang Mama buat.
"Ra, hari ini mama bikin biji ketapang sana kue akar," jelas Mama yang sedang menggoreng kue keringnya. "Kamu mau ke hotel? Buka puasa di rumah, kan?"
Mara menggeleng. Hari ini ia ingin di rumah saja, tetapi melihat mamanya sibuk dengan dapur justru membuat Mara ingin kabur ke hotel. Bosen banget tiap hari nyium aroma butter meleleh.
"Nanti agak sore mau keluar, Mama bikin berapa toples?"
"Mama bikin 50, rencananya mau dijadiin hampers buat tetangga. Kemarin pada suka sama lidah kucing buatan Mama."
Ini yang bikin Mama semakin semangat buat bikin kue. Para tetangga memuji masakannya. Bahkan ada beberapa yang memesan kue.
Mama yang memang hobi baking jelas menerima pesanan itu tapa peduli tentang modal dan keuntungan. Yang penting dia bisa buat kue setiap hari. Yaaa, biarkan calon janda ini bahagia.
"Oh, iya. Suruh Ruto sore ke rumah--"
"Ngapain?" Mara dengan cepat menyela perintah sang mama. "Mama mau nyuruh Ruto apa lagi?" tuduhnya curiga.
Bukan apa-apa. Mama ini suka random. Tiga hari lalu saja ia nyuruh Haruto ke rumah cuma buat ngalusin nanas buat isian nastar. Padahal asisten rumah tangga di rumah juga bisa.
"Mbak Hanna besok mau mudik, Mama mau bekelin buat perjalanan mudik mereka. Suruh Ruto ke sini, ya."
"Iya," jawab Mara yang masih tetap duduk di kursi bar mini menghadap ke dapur. Perempuan itu hanya menonton mamanya yang sibuk membuat kue lebaran. "Besok mau bikin apa lagi, Ma?"
Mama tidak langsung menjawab, beliau lebih dulu memindahkan biji Ketapang yang sudah matang. "Mama mau bikin nastar lagi, tapi bahan-bahannya udah abis. Paling nanti malem belanja. Kamu mau ikut--"
"Ikuuut!" sahut Mara semangat. Meskipun ia sudah muak dengan membuat kue, tetapi kalau urusan belanja jelas tak akan bosan. "Sekalian beli camilan ya."
"Ini kue banyak, kamu mau beli apa lagi, sih?"
"Mau beli keripik kentang--"
"Besok Mama bikinin, deh."
Ya, Mama sudah mulai menjadi ibu-ibu yang selalu bilang, 'Ini, mah, Mama juga bisa bikinnya.' Di awal-awal, sih, Mara seneng karena dapat perharian ekstra, tetapi kalau sekarang ia jadi bete juga. Mara jadi susah buat jajan di luar, semua makanan yang masuk ke dalam mulutnya itu pasti masakan sang mama.
Mara hanya mengangguk, perempuan itu kembali fokus pada ponselnya. "Aku udah daftar di dua kampus," ceritanya pada sang Mama. "Kita beneran mau stay di kota ini? Nggak akan pulang ke rumah lama."
Pembicaraan tentang tempat tinggal rupanya masih menjadi permasalahan Mara dan Mama. Mara ingin pulang ke rumah lama, sedangkan Mama berencana tinggal di rumah baru. Mara berharap ia bisa membayar semua harapan semu saat kecil, dulu ia selalu kesepian di rumah lama, dan ia harap sekarang bisa membalas semua kesepian itu.
"Di sini aja, ya," pinta Mama. "Mama nggak sanggup kalau harus tinggal di rumah itu. Bahkan buat ke kota itu lagi aja kayaknya Mama nggak sanggup."
Akhirnya Mara tahu alasan pasti kenapa selama ini mamanya menolak permintaan ia untuk pindah. "Ya, udah. Aku ambil kampus di sini aja," jawabnya mengalah. "Ada kampus swasta yang aku incer."
KAMU SEDANG MEMBACA
METAMORPIKIR SEMPURNA
Fiksi Penggemar-Hamada Asahi- "Gue udah terlalu lama kabur. Ini waktunya nerima kenyataan." -Hirokawa Mao- "Dibandingkan berpikir tentang Mama yang nggak nerima gue. Lebih baik gue bersyukur karena masih banyak yang sayang kepada gue." -Nakamoto Mara- "Aku percaya...