22. Sebuah Keluarga?

978 217 34
                                    

Senyuman masih terus menghiasi wajah Mara. Duduk tepat di samping kemudi, dengan seorang wanita asik bercerita sembari melajukan mobilnya setelah tadi menjemputnya di rumah. Ini memang bukan pertama kalinya Mara pergi berduaan, tetapi kali ini terasa sangat menyenangkan.

"Bunda tiba-tiba aja pingin buat tiramisu, Ra. Kita belanja julu aja ke toko bahan kue ya?"

Iya, Bunda mengajak Mara untuk berbelanja. Padahal di rumah ada putra bungsunya yang sedang kebosanan dan tidak tahu harus apa. Tetapi, saat Haruto bilang mau ikut, Bunda langsung melarangnya.

Sabar ya, To.

"Bunda udah liat resepnya?"

"Udah, nanti kita masak bareng ya. Kamu buka di rumah aja, Ra. Puasa pertama sepi banget, cuma ada Ayah, Bunda sama Ruto."

"Loh, Kak Donghyuk sama Teh Dahyun?" Mara menyebutkan dua kakak Haruto yang masih tinggal di rumah keluarga. "Mereka buka di mana, Bund?"

"Dahyun masuk sift 2 di klinik," jelas Bunda sembari membelokkan mobilnya saat melihat toko bahan kue langganannya, "terus Donghyuk buka puasa di distronya, mantau produksi desain buat lebaran."

Mara hanya mengangguk, lalu ikut keluar saat Cooper milik Bunda sudah terparkir rapi. Beriringan memasuki toko bahan kue, Mara bahkan dengan lihai mengambil keranjang. Bunda juga terlihat seperti sedang bersama anak sendiri, lengannya merangkul Mara dengan nyaman.

"Oat bar kamu masih ada, Ra? Kita bikin aja sekalian ya? Kamu mau sahur di mana? Jangan makan sembarangan."

Lihat, Bunda memperlakukan Mara layaknya anak sendiri. Bahkan saat Mara salah, Bunda tak segan memarahi Mara. Begitupun dengan Mara yang kadang berani diam-diam melanggar pantangan yang tidak boleh ia makan.

"Aku nanti coba tiramisunya ya--"

"Emang boleh?"

"Sedikiiit ajaaa." Telunjuk dan ibu jari Mara membentuk ukuran sedikit yang ia maksud. Matanya juga berbinar penuh harap. "Ya, Buuund."

Bunda melangkah lebih dulu, lanjut mengambil bahan-bahan untuk tiramisu. "Kita tanya ke ayah dulu, kalo diizinin, Bunda kasih dikit."

Rencana Mara kali ini pasti gagal. Ayahnya Haruto tak akan memberi izin. Dokter jantung mana yang membolehkan pasiennya melanggar pantangan yang ia buat, tentu tidak ada.

Ya, walaupun ayahnya Haruto itu asik. Tetap aja, jika berurusan dengan kesehatan beliau akan menjadi dokter yang tegas. Walaupun celetukannya masih tetap lawak.

Berbelanja dengan seorang ibu memang terkadang menjadi hal yang menyebalkan untuk segelintir anak perempuan yang selalu menjadi kuli angkut. Tetapi, akan menjadi momen indah yang berharga bagi para putri yang tidak pernah merasakan momen seperti itu.

Selain Mara yang berbelanja di toko bahan kue. Mao juga sedang berbelanja bersama sang mami di supermarket untuk buka puasa dan sahur.

"Eunseo lemaaah," ledek Mao sembari menjulurkan lidah pada adik perempuannya. "Masa puasa cuma sampe jam sepuluh."

"Ih, orang boleh! Sekarang udah niat lagi, kok!" sewot Eunseo sampai bibir bocah berusia lima tahun itu maju. "Anak kecil nggak apa-apa, kalo Kak May tuh udah tua!"

Kegiatan yang paling Mao suka adalah menggoda Eunseo. Lucu saja rasanya melihat wajah kesal bocah ini. Mata besar yang membulat, berpadu dengan alis tebal menajam, dan bibir mengerucut.

"Padahal kalo puasa Eunseo penuh satu hari Kak May mau ngasih hadiah--"

"Apa?" sela Eunseo cepat. Posisinya yang tadi duduk di dalam troli belanjaan bersama sayur dan yang lain kini sudah berdiri dan mendekat pada Mao yang mendorongnya. "Kak May mau temenin aku main boneka seharian?"

METAMORPIKIR SEMPURNATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang