4. May dan Pola Pikirnya

821 193 81
                                    

"Ma-maaf, Bu." Kedua tangan Mao sudah saling bertautan. Perempuan di hadapannya benar-benar menyeramkan. Sudah sepuluh menit ia duduk berhadapan dengannya, tetapi tak ada satu kata pun yang keluar dati mulut perempuan berponi itu.

"Hirokawa Mao. Kelas 11 di SMA Bina Nusa 1, jurusan IPA." Seira membaca daftar riwayat hidup Mao yang lebih terlihat seperti biodata anak SD di binder Adinata. "Pelajaran favorit Ekonomi?" Tatapan mata Seira yang awalnya menunduk pada kertas di tangan kini langsung menatap Mao. "Kenapa nggak masuk IPS?"

Mao semakin erat menggenggam tangannya. "Teman-teman sa-saya pa-pada masuk IPA, B-Bu."

"Terus kamu ngikutin mereka?" tanya Seira. "Bukan ngikutin apa yang kamu mau?"

Dibandingkan wawancara kerja, ini terlihat seperti obrolan santai antara senior dan junior yang ketahuan bolos ekstrakurikuler.

"Sa-saya jenis orang yang su-sulit beradaptasi de-dengan orang baru, Bu," jelas Mao. Ia mulai menyesal karena nekat ikut wawancara untuk kerja paruh waktu.

"Okay." Seira merubah posisi duduknya menjadi lebih tegap. "Ngomong santai aja kali ya? Gue sama lo cuma beda 4 tahun," kata Seira dan dijawab anggukkan Mao. "Coba kasih tau ke gue alasan lo apply lamaran ke sini."

Mao sudah benar-benar tak fokus. Ini lebih menyeramkan dari wawancara duta pariwisata yang ia ikuti. "Ka-karena ingin menambah pengalaman, Bu."

"Klise," sindir Seira. "Yang lain. Kasih jawaban yang bisa bikin gue yakin kalo lo dibutuhin sama tempat ini."

"Baik." Mao merubah postur duduknya. Kedua tangannya berada di atas meja. Kali ini ia terlihat lebih tenang. "Saya memiliki mimpi untuk menjadi seorang pebisnis. Seperti yang saya katakan di awal, saya ingin menambah wawasan. Berkenalan dengan dunia bisnis, mengetahui sedikit banyaknya tentang manajemen di sebuah restoran."

Mata Seira sedikit membulat. Jawaban yang Mao katakan hampir sama seperti apa yang ia ucapkan saat wawancara untuk kerja paruh waktu di usia remaja. "Lo ke sini naik apa?"

"Ba-bawa mobil, Bu."

"Mobil lo?"

"Mobil orang tuanya kakak."

Alis Seira sedikit menukik. Tetapi ia tak membalas perkataan Mao. Remaja di hadapannya ini seperti dirinya di masa lalu.

"Kalo lo gue terima kerja di sini. Gimana cara lo nyesuain waktunya?" tanya Seira. "Misalnya tiba-tiba lo harus masuk pagi, terus lo akan izin sekolah?"

"Saya cuma bisa masuk sore sampe malem, Bu."

"Yang ngatur jam kerja bukan lo. Dikira ini restoran punya Kakak ipar lo." sindir Seira.

Mao tak bisa membalas perkataan Seira. Perempuan di hadapannya ini jauh lebih menyeramkan daripada guru sejarah minat yang sudah dicap malaikat maut oleh anak kelasnya.

"Lo ada les atau kegiatan lain di luar sekolah?"

"Saya ikut bimbel online, Bu."

Seira mengangguk paham. "Malem berarti free?" tanyanya dan dijawab anggukan Mao. "Oke. Lo masuk dari sore, pulang sekolah langsung ke sini."

"Beneran, Bu?"

"Lo nggak kerja sama restoran ini. Lo kerja sama gue, di bawah tanggung jawab gue langsung."

Walaupun Mao tak memahami penjelasan Seira. Ia tetap mengangguk antusias. "Terima kasih, Bu."

"Panggil Kakak, gue nggak setua itu!"

"Baik, Kak. Terima kasih."

Seira mengangguk. "Udah sana balik, besok mulai kerja. Bawa baju ganti."

METAMORPIKIR SEMPURNATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang