38. Sakit

658 171 54
                                    

Seira berusaha membuka matanya yang terasa berat. Semalam ia tak bisa tidur nyenyak, semua posisi tidur terasa tidak nyaman. Belum lagi napas dan tubuhnya yang terasa panas, sedangkan tenggorokan Seira sangat sulit menelan, bahkan jika itu hanya air liur.

"Udah lama banget gue nggak sakit," gumam Seira, ia menutup kedua matanya yang terasa panas dengan lengan kanannya. "Berobat apa ya?"

Sebenarnya sejak pulang dari pantai itu esoknya Seira merasa tidak enak badan, tetapi ia tak terlalu peduli dan tetep beraktivitas seperti biasa. Dan, tadi malam adalah puncak demamnya, ia menggigil hebat, bahkan kepalanya terasa berat.

"Masa gue bawa mobil? Klinik terdekat di sini apa ya?" Ia sedang berpikir bagaimana caranya menuju klinik yang tak begitu jauh dari apartemen. "Telepon Jihoon? Eh! Nggak! Nggak! Jangan manja! Sebelum-sebelumnya juga kalo sakit pergi sendiri. Jangan ketergantungan sama orang lain, Ei!"

Seira memaksa tubuhnya untuk bangun. Dengan lunglai keluar dari kamar. Ia hanya mencuci muka dan sika gigi, lalu memakai jaket. Perempuan itu tak peduli dengan penampilan, kepalanya terlalu pusing untuk memikirkan penampilan.

"Arrrgh! Pait banget," keluhnya saat berusaha meminum air hangat yang bahkan membuat tenggorokannya sakit. "Ck! Biasanya juga gue kagak sakit kayak gini."

Fisik Seira itu bisa dibilang kuat. Dia jarang banget sakit, tapi sekalinya sakit, pasti parah, minimal semknggu dirawat di rumah sakit. Makanya sekarang dia panik, sebisa mungkin langsung berobat biar nggak sampe kena infus. Seira paling tidak suka dirawat inap, karena di ruangan rumah sakit itu ia akan tetap sendiri, terlalu terlihat hidup tanpa perhatian siapapun.

Dengan setelan piyama bermotif Shinchan, baju tidur andalannya. Jaket abu bekas semalam juga ia pakai untuk menghalau dingin yang masih membuat tubuhnya menggigil. Seira bahkan memakai kaos kaki dan sandal slip on Adidas-nya. Jangan lupakan sling bag kecil berisi dompet, ponsel dan kunci mobil.

"Arrrgh gila pusing banget," keluhnya saat berada di dalam lift. Ia bahkan sampai berjongkok karena tak kuat menahan rasa sakit di kepala dan lambungnya terasa mual. "Jangan gini, lah, Ei. Lo hidup sendiri, kalo sakit yang normal-nomal aja. Maksimal pilek."

Helaan napas Seira terdengar berat. Perempuan itu menuju basement, masuk ke dalam GR Yaris putihnya. Ia tak langsung mengemudikan mobil itu, kelapanya pusing, sakit karena tubuhnya sedang tidak fit bergabung dengan berisiknya kepala yang terus-terusan mencibirnya karena harus pergi berobat sendiri.

"Ish! BERISIK! Gue pergi sendiri karena gue mampu! Mereka baik, tapi nggak selamanya gue harus bergantung sama mereka!" Seperti sedang mengomel pada orang lain, padahal Sei sedang memarahi pikirannya sendiri. "Nggak usah mikir yang nggak-nggak! Jangan kasihani diri sendiri! Kita kuat, kita bisa lakuin sendiri."

Masih dengan kepala yang terasa pusing, Seira mulai mengemudikan mobilnya. Dalam kondisi seperti ini terkadang Sei berharap para pesuruh omnya yang mengikuti ia datang membantu. Tapi sial, Seira pernah bilang pada mereka untuk jangan pernah mendekat, cukup buat laporan saja.

Dengan kesadaran yang semakin menipis Seira membelokan mobilnya ke sebuah klinik yang memang sering ia lihat setiap lewat. Entah kliniknya bagus atau tidak, yang penting Seira dapat obat. Tak peduli kalau mobilnya terparkir dengan sembarangan, Sei langsung turun dan bergegas masuk, menuju meja registrasi di area depan.

Mata sayu Seira sedikit membulat saat melihat seorang perempuan yang menyambutnya dari balik meja registrasi. Ia ingin berbalik keluar, tapi kepalanya terlalu pusing. "Permisi, saya mau daftar ke dokter Umum. Kira-kira udah ada belum ya?"

Perempuan di balik meja registrasi itu sudah kembali duduk. Senyumnya pudar, walaupun sebenarnya sebagai penjual jasa ia harus tetap profesional, tak peduli siapa yang ia hadapi. "Ada, lima belas menit lagi jadwal dokter umum dimulai. Pagi ini jadwalnya Dokter Kim Hanbin."

METAMORPIKIR SEMPURNATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang