Gemerlap lampu di ballroom hotel bintang lima langsung menyambut Seira, perempuan itu datang dengan dress merahnya yang menjuntai, serta rambut yang tertata rapi. "Cepetan! Jangan malu-maluin gue!" bisiknya pelan walaupun bibir Seira masih berusaha tersenyum. "Asahi!"
Ya, Seira datang bersama Asahi. Lebih tepatnya, Seira memaksa Asahi untuk ikut datang bersamanya. Ke sebuah acara pertemuan para pewaris tahta yang biasanya menjadi ajang pamer berkedok silaturahim. Biasanya Seira datang mewakili keluarga Lee, keluarga ayah tirinya. Tetapi, kali ini ia datang sebagai putri keluarga Watanabe. Tenang, Om Jidi sudah memberikannya izin, bahkan dia meminta Sei untuk mengajak Haruto.
Acara yang kali ini diadakan di Singapura itu sebenarnya cukup private. Hanya orang-orang yang mendapatkan undangan yang dapat hadir, Seira sebagai manusia yang cukup aktif berkomunikasi dengan para 'teman' sesama pewaris tahta itu jelas diundang. Walaupun banyak orang-orang bermuka dua, tetapi Seira tetap terlihat menikmati acara itu.
"Rame banget, puyeng gue, Sei," bisik Asahi, ia sudah seperti anak durhaka yang dipaksa ikut kondangan sama emaknya. "Duduk aja napa, sih."
Tak mempedulikan protes Asahi, Seira masih terus menarik pemuda yang dibawanya demi sebuah misi. Beberapa orang yang kenal dekat dengan Seira sesekali menggodanya karena datang dengan seorang lelaki, tetapi dengan cepat Seira tepis dan menjawab kalo mereka hanya berteman. Sebenarnya Seira ingin menjawab saudara, biar yang lain semakin yakin, tetapi agak ribet kalau sampai ada berita tentang keluarga Watanabe ternyata memiliki ikatan keluarga dengan keluarga Hamada.
"Hitomiii," panggil Seira sembari melambaikan tangan, perempuan itu bergegas menghampiri seorang perempuan bertubuh mungil yang sedang berbincang dengan seorang perempuan. "Eh, Hai Minju, long time no see."
Minju yang juga merupakan teman satu SMA Seira jelas langsung balas menyapa. Merasa mendapatkan peluang untuk meninggalkan Asahi, dengan kurang ajar Seira asik berbincang bersama Minju sampai akhirnya melipir dan menghampiri teman-teman yang lain. Meninggalkan Asahi yang seperti anak hilang dan Hitomi yang kebingungan sendiri.
"Oh, ya. Hitomi, Honda Hitomi." Perempuan berambut pirang itu mengulurkan tangannya pada Asahi. "Asahi, kan? Kayaknya kita pernah ketemu, ya?"
Asahi langsung membalas uluran tangan perempuan yang berhasil membuatnya terpana bahkan di pertemuan pertama beberapa tahun lalu, saat ia masih SMA. "Asahi, Hamada Asahi," ucapnya berusaha untuk tetap tenang. "Iya, kayaknya." Kata kayaknya yang menjadi sampul kebohongan. Asahi jelas mengingat pertemuan pertama mereka. Di acara launching produk terbaru milik perusahaan Hitomi, ia datang bersama Papanya.
"Kenal sama Seira di mana?" tanya Hitomi yang sudah tak tahu harus memakai topik pembicaraan apa. "Dia bisanya jarang main sama cowok, loh."
Asahi hanya tersenyum. Tak mungkin ia bilang kenal karena hampir dijodohin sama itu perempuan galak. Asahi juga ragu buat nyebut nama Haruto, takutnya Sei nggak mau nama adiknya itu terungkap.
Ballroom dengan nuansa emas itu terasa ramai, tetapi suasana antara Asahi dan Hitomi yang berdiri di dekat bar minuman di sudut ruangan terasa sangat canggung. Sebenarnya Hitomi sudah ingin kabur, tetapi tak enak pada Asahi. Sedangkan Asahi sudah siap memaki Seira yang sekarang asik bercengkrama dengan orang-orang di depan sana.
"Minggu depan kami mau volunteer ke daerah Afrika," Hitomi kembali memulai obrolan, "Sei udah diajak, tapi dia nggak bisa. Kamu mau ikut gabung nggak?"
Jelas Asahi ingin langsung menolak. Datang ke sini bersama Seira saja ia sudah seperti anak ilang, apalagi kalo perempuan itu nggak ikut. "Liat nanti, ya. Soalnya belum cek schedule minggu depan," balasnya canggung. Asahi melirik sekilas ke arah Sei yang kebetulan curi-curi pandang padanya. Mata Asahi langsung membulat, memberi kode pada kakaknya Haruto agar segera menyelamatkannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
METAMORPIKIR SEMPURNA
أدب الهواة-Hamada Asahi- "Gue udah terlalu lama kabur. Ini waktunya nerima kenyataan." -Hirokawa Mao- "Dibandingkan berpikir tentang Mama yang nggak nerima gue. Lebih baik gue bersyukur karena masih banyak yang sayang kepada gue." -Nakamoto Mara- "Aku percaya...