"Udah aku bilang, mending ikut aja. Di sini juga ngapain sendirian." Bibir Haruto mengerut, ia sedikit kesal saat tahu Mara hanya sendirian di rumah. "Besok ikut aja, deh."
Mara langsung menggeleng. "Nggak, besok aku mau pulang lagi, kok. Mau main sama May."
"Kalo mau ngebohong itu riset dulu," ucap Haruto dengan gemas menekan pipi Mara dengan ibu jari dan telunjuknya hingga membuat bibir perempuan itu sedikit maju, "orang si May lagi liburan."
Dengan sebal Mara menjauhkan pipinya dari tangan Haruto. "Mau nonton sama Dera, Wony," ralatnya menyebut dua teman yang Haruto juga kenal. "Awas tangannya, ih!"
Pagi ini ia mengajak Mara jalan-jalan ke kuburan. Iya, ke makam papanya Haruto. Keduanya menggunakan mobil yang ada di garasi Haruto, BMW X5 keluaran tahun 2015.
"Dulu ini mobil sering aku pake buat berangkat sekolah, nih. Kamu biasanya maksa nebeng." Dengan iseng Haruto menceritakan tentang masa lalu mereka saat Sekolah Dasar. "Padahal sopir keluargamu udah siap mau nganter kamu."
Mara berdecak sebal. Ia dulu memang selalu berusaha berangkat bareng dengan Haruto, sebisa mungkin selalu berada di dekat lelaki itu. Tidak peduli kalau Haruto memarahinya, yang penting ia tidak dibully. "Iya, terus kamu sewot mulu," balasnya tak mau kalah, "pergi lo, jangan ngintilin gue mulu!" Mara bahkan sampai mengulang perkataan Haruto saat itu.
"Dih, siapa yang bilang gitu?" elak Haruto disela-sela tawanya.
"Lo!" Dengan kesal Mara menjawab, membuat Haruto langsung memberhentikan tawanya dan langsung menoleh pada perempuan yang duduk di samping kemudi.
Tangan kiri Haruto dengan pelan menepuk mulit Mara. "Ngomong apa?" tanyanya mempermasalahkan Mara menggunakan kata ganti 'lo' untuk menyebutnya.
Ini Haruto emang paling nggak suka kalo Mara manggil dia pake kata panggil itu. Pokoknya harus aku-kamu, kalo ke yang lain sih boleh gue-lo, asal jangan ke Haruto.
Lagaknya posesif, padahal bukan siapa-siapa. Pacaran aja nggak, status cuma sebatas kenal dari kecil. Tapi, kalo Mara manggil dia lo langsung marah.
"Mau ikut?"
"Nggak." Tentu saja Mara menolak tawaran Haruto. "Kamu aja, aku tunggu di sini. Nih, bunga sama air mawarnya."
Haruto mengambil buket bunga serta plastik berisi kelopak bunga dan air mawar yang sebelumnya mereka beli. Lelaki itu memakai kacamata hitam dan koko putih dengan jean biru dongker. Berjalan memasuki komplek pemakaman khusus yang biaya sewanya cukup tinggi.
Helaan napas berkali-kali keluar dari hidung Haruto. Entah mengapa, setiap kali mendatangi tempat ini hatinya selalu bertengkar dengan sisi yang lain.
Ada rasa menyesal mengapa dulu tidak meminta papanya untuk melepas proyek yang membuat beliau rugi besar, tetapi di sisi lain ia merasa kepergian sang papa justru membuat hidupnya dan bunda menjadi lebih bahagia.
Langkah Haruto seketika terhenti saat melihat punggung seorang perempuan yang bergetar. Ia mengenal itu siapa, bahkan mengenali siapa laki-laki yang berjongkok di sebelahnya. Helaan napas berat Haruto kembali terdengar, antara kesal karena Seira yang datang dengan Jihoon dan kebodohan kakaknya yang menangis di atas pusara yang salah.
"Kak, makam Papa yang itu," ucap Haruto mengingatkan, "ngapain nangis di makam kakek?"
"Hah?"
Iya, Seira salah kuburan. Antara terlalu sedih atau minat baca Seira dan Jihoon kurang. Perempuan itu menangis di atas pusara kakeknya, bukan di nisan sang papa.
Haruto tak terlalu mempedulikan kakaknya yang kebingungan dan Jihoon yang sudah tertawa ngakak. Remaja itu sudah berjongkok di depan pusara sang papa, menyimpan buket bunga di atas makam dan membuka botol kaca air mawar.
KAMU SEDANG MEMBACA
METAMORPIKIR SEMPURNA
Fiksi Penggemar-Hamada Asahi- "Gue udah terlalu lama kabur. Ini waktunya nerima kenyataan." -Hirokawa Mao- "Dibandingkan berpikir tentang Mama yang nggak nerima gue. Lebih baik gue bersyukur karena masih banyak yang sayang kepada gue." -Nakamoto Mara- "Aku percaya...