"Ya maksud gue, tuh. Kalo dia cuma buat mau menang, nggak usah segitunya!"
Mao hanya diam mendengarkan perkataan Seira yang menggebu-gebu. Lagipula lebih baik ia mencerna cerita perempuan berponi di depannya dengan seksama dulu. Mana semua cerita Seira berhasil membuat Mao melongo tak percaya.
Apalagi tentang taruhan antara Jihoon dan Seira. Demi apapun Mao mengutuk itu. Sedari tadi ia bahkan sudah memaki Park Jihoon yang salah mengambil langkah.
"Terus rencana lo sendiri apa, Kak?" tanya Mao setelah melihat Seira selesai dengan semua keluh kesahnya. "Tujuan lo dari taruhan ini buat apa?"
Sei lebih dulu menikmati camilan yang tersedia di kamar Mao. "Ya buat menang, lah!" jawabnya disela-sela mengunyah kentang goreng buatan mami Hamada.
Mendengar jawaban penuh yakin dari Seira jelas membuat Mao memejamkan mata. Sesuai dugaannya, Watanabe Seira jelas tak mau kalah dalam permainan apapun. "Tapi, resikonya lo bakal kehilangan Bang Jihoon, Kak."
Anggukan Seira beri sebagai jawaban, "Makanya sekarang gue biarin dia lakuin sesuka hati, soalnya nanti waktu gue menang kan nggak akan bisa ketemu dia."
"Dan lo siap nggak ketemu Bang Jihoon?" Mao menatap tak percaya pada Seira. "Ini konsekuensinya nggak ketemu aja atau emang putus hubungan?"
"Jihoon sih bilangnya, dia nggak akan gangguin gue lagi," balas Seira mengingat peraturan main mereka, "nggak tau dia bakalan putus hubungan atau nggak."
Mao belum berencana menyahuti perkataan Seira, perempuan itu bahkan sedikit memanyunkan bibirnya. Otak perempuan itu dipaksa untuk berpikir keras. "Jadi, apa taktik lo buat menang, Kak?"
"Nggak ada," balas Seira masih tetap santai, "gue ikutin permainan Jihoon, tapi di akhir gue akan bilang kalau usaha dia nggak berarti apa-apa buat gue."
Mulut Mao terbuka lebar, ia tak percaya dengan rencana Seira. "Lo bilang ke dia nggak berarti apa-apa, tapi tadi lo cerita tentang perlakuan Jihoon sampe segitunya," sinisnya dengan tatapan penuh nyinyiran. "Itu artinya ada apa-apa."
Sei mengedikkan bahunya, "Ya itu ke lo, kalo pas ke Jihoon beda lagi," balasnya dengan santai dan tidak begitu peduli, "pokoknya gue harus menang, nggak peduli sama apapun."
"Lo jahat, sih, Kak," balas Mao menggelengkan kepalanya.
"Salah Jihoon yang nyaranin taruhan itu, gue nggak mau kalah, nggak peduli kalo gue dinilai jahat sama dia."
Dengan cepat Mao menggeleng. "Gue nggak bilang lo jahat ke Bang Jihoon," ralat Mao mengoreksi presepsi Seira. "Lo jahat ke diri lo sendiri, Kak."
Seketika Seira menatap pada Mao dengan serius. "Hah?"
"Lo sadar nggak sih kalo lo bohong sama diri lo sendiri, Kak?" Mao berbicara serius, matanya bahkan mentap serius pada Seira. "Demi jadi juara, lo rela melepas kebahagian lo."
"Gue udah biasa kayak gitu, kok. Kehilangan Jihoon nggak ada pengaruh apa-apa buat gue."
"Lo nggak ada niatan buat berbuat baik sekali aja sama diri lo sendiri, Kak?" tanya Mao yang semakin serius.
Sei akhirnya ikut berbicara serius. "Dengan cara gue memang, itu artinya gue baik sama diri gue, soalnya kalo kalah berarti akan bikin gue terlihat lemah."
"Lo lebih memilih berlagak terlihat kuat padahal aslinya lemah, Kak," gumam Mao menilai Seira begitu, "dan itu artinya lo jahat sama diri lo sendiri, Kak."
🦋
Toko Furniture berasal dari Swedia itu menjadi tujuan utama Mara dan Haruto di akhir pekan ini. Keduanya sibuk berkeliling mencari beberapa hadiah untuk keponakan baru Haruto. Alias anaknya Hanbin dan Hayi yang baru saja lahir.
"Aku nggak enak deh, Ru. Masa yang lain Kak Jungkook tagihin kado buat anaknya A Mbin, cuma aku yang nggak."
"Ke aku nagihnya," sahut Haruto yang kini sibuk melihat-lihat tempat duduk untuk bayi usia 6 bulan ke atas, "suruh patungan sama Mara kata dia."
Mara ikut memperhatikan kursi berbahan kayu itu. "Kak Jungkook sungkan kali ya ke aku, Ru?"
Jelas Haruto menggeleng, "Takut itu dia, takut dimarahin Bunda," balasnya santai. "Ini menurut kamu perlu beli sekarang nggak? Masa cuma ngasih kado satu."
"Beliin kado buat Teh Hayi juga," saran Mara yang tiba-tiba saja mengalihkan fokusnya pada ponsel yang mendapatkan banyak notifikasi. "Beli tas aja buat Teh Hayi, Ru."
"Tas gimana?" tanya Haruto, lelaki itu masih memperhatikan beberapa perabotan. "Ra?" Haruto langsung menoleh saat tak mendengar jawaban dari Mara. "Mara?"
"Sebentar," Mara masih merunduk fokus pada layar ponsel. Ibu jarinya bahkan mengetik cepat, sedangkan bibir Mara sedikit tertarik ke atas.
Haruto yang melihat senyum tipis itu jelas penasaran, ia ikut mengintip. Namun sayangnya, belum sempat melihat isi chat Mara, perempuan itu langsung sadar dan mematikannya. Haruto hanya sempat melihat nama kontak, Anton 1A.
"Itu siapa?"
"Temen kelas," balas Mara santai dan kembali memasukkan ponselnya ke dalam tas, "ini beliin tas buat Teh Hayi mau sekarang juga? Kalo kata aku, sih, mending yang ukurannya gede gitu, Ru."
Ekspresi Haruto sudah berubah menjadi dingin, ia tak peduli dengan kado apa yang harus mereka beri. "Itu Anton yang pernah bikin tiktok bareng kamu bukan?" tanyanya. Suara berat Haruto terdengar semakin menyeramkan karena terkesan penuh intimidasi.
"Iya, satu kelompok sama aku," jelas Mara yang sudah kembali melihat perabotan lainnya, "dia nanyain tugas."
Haruto jelas tidak mudah percaya begitu saja. "Mana ada ceritanya orang nanyain tugas bikin senyum-senyum," sindirnya dengan pedas.
Feeling Haruto ini memang sangat kuat. Tadi ia memang sedang membicarakan hal lain dengan teman kampusnya. Dan pembicaraan itu tidak boleh Haruto ketahui. "Ya, tugasnya seru," belanya sembari berjalan lebih dulu meninggalkan Haruto.
"Orangnya kali yang seru," nyinyir Haruto yang menyusul Mara. Lelaki itu masih terus menyindir, bahkan sampai keduanya sudah membayar furniture yang mereka pilih.
Mara tak banyak meladeni, perempuan itu sudah mulai terbiasa dengan tingkah Haruto. Semenjak masuk kuliah, Haruto memang mulai berlebihan menyindirnya. Ruang gerak Mara bahkan semakin sulit, apalagi dengan para mahasiswa.
"Itu instagram kamu nggak ada rencana buat dikunci lagi?" tanya Haruto saat mereka sudah mengambil kardus berisi barang yang belum dirakit.
"Lupa," bela Mara saat mereka beriringan menuju parkiran, "nanti pas di rumah."
"Pas di mobil," perintah Haruto saat mereka sudah tiba di parkiran, Haruto mulai membuka bagasi dan memasukan barang yang mereka beli. "Nanti lupa lagi alesannya."
Mara jelas berdecak sebal, namun perempuan itu tak banyak menyahuti. Haruto ini nyebelin, bilang cemburu gengsi, tapi ngatur mulu setiap hari. Mana stasus hubungan mereka nggak jelas juga apaan.
"Itu si Anton kalo nggak ngomongin tugas mending--"
"Jangan berlebihan, deh!" Mara tak bisa menahan emosinya, perempuan itu masih tetap diam memperhatikan Haruto merapikan barang-barang di bagasi. "Cuma chat biasa, nggak usah cemburu nggak jelas!"
Haruto jelas langsung melirik tak suka, "Siapa juga yang cemburu," balasnya lalu menutup pintu bagasi dengan cukup kencang.
Tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
METAMORPIKIR SEMPURNA
Fanfic-Hamada Asahi- "Gue udah terlalu lama kabur. Ini waktunya nerima kenyataan." -Hirokawa Mao- "Dibandingkan berpikir tentang Mama yang nggak nerima gue. Lebih baik gue bersyukur karena masih banyak yang sayang kepada gue." -Nakamoto Mara- "Aku percaya...