Mara tak bisa menahan tawanya saat melihat Haruto muncul di lobi hotel dengan sepeda gunung yang ditutun. "Kamu ngapain, siiih?" tanyanya sudah benar-benar tak bisa menebak pola pikir lelaki berhoodie hitam itu.
"Baru dateng tadi sore tau," balas Haruto dengan bangga. Lelaki itu bahkan menunjukkan punggungnya yang menjadi alasan mengapa Mara tertawa. "Mau pake nggak? Aku sengaja bawa sepeda, nanti kamu dibonceng di belakang."
"Nemu aja barang beginian," komentar Mara yang semakin penasaran dengan barang yang Haruto pakai. "Pantesan bilang pulangnya malem aja, ternyata biar lampunya keliatan pas."
Sengiran Haruto semakin melebar. "Kamu pake, deh," perintahnya sembari melepaskan barang yang berhasil membuat Mara tertawa itu. "Sayapnya bisa gerak juga tau."
"Oh, ya? Gimana caranya?"
Yups! Benda yang Haruto bawa dan ia pakai selama bersepeda dari rumah ke hotel milik keluarga Mara itu adalah sayap kupu-kupu buatan. Lebih tepatnya plastik berlampu warna-warni dengan bentuk sayap kupu-kupu yang ajaibnya juga bisa bergerak seperti kepakan sayap yang asli. Ada aja emang tingkahnya.
Sayap kupu-kupu itu Haruto temukan di salah satu e-commerce. Ia tak pikir panjang untuk checkout karena tahu Mara pasti suka. "Bagus, kan?" tanyanya saat Mara memakai benda itu. "Sini aku gerakin sayapnya."
Mara semakin antusias saat Haruto menekan sebuah tombol di sudut bawah benda itu hingga sayapnya bergerak pelan. "Iiih, lucu bangeeet!" pekiknya antusias, ia bahkan sudah menyalakan kamera depan ponselnya untuk melihat tampilan diri dengan sayap kupu-kupu.
"Ayo, terbang," ajak Haruto yang juga tak bisa menahan senyumnya, "udah makan belum?"
"Mama bikin dimsum, kalo kamu nggak mau mati muda, mending jangan ajak aku makan di luar," ucap Mara yang berusaha menaiki pijakan kaki di belakang sepeda.
Kaki Haruto sendiri dengan sigap menjaga keseimbangan sepeda, sedangkan tangan kanannya memegang tangan Mara. "Udah siap? Pegangan yang kenceng!"
"Gooo!" balas Mara yang sudah memegang erat pundak Haruto. Tawanya lepas begitu saja. Kedua remaja itu seperti pemilik dunia tanpa peduli orang sekitar.
Dengan sepeda gunung yang bagian belakang ditambah pijakan kaki. Bersama Mara yang berdiri di belakang Haruto, serta sayap kupu-kupu yang menjadi pusat perhatian orang-orang. Dan jangan lupakan pula tawa keduanya yang terus menyertai perjalanan dari Naka's Hotel menuju apartemen tempat Mara dan sang mama tinggal.
Baik. Dunia hanya milik mereka berdua. Yang lain tunawisma.
🦋
"Yang lain emang pada ke mana, Sa?"
"Ke Paris."
"Lah? Nganter May kuliah?"
Asahi menggeleng. Lelaki itu terlebih dahulu menyodorkan teh susu yang baru diseduhnya untuk Winter. "Mereka itu cuma daftar kuliah, lusa juga balik."
"Lah? Farewell party itu?"
"Mami gabut," balasnya singkat. "Lo mau nonton apa?"
Winter masih menatap bingung pada ruang teater di rumah keluarga Asahi. "Lo nggak serem tinggal sendiri di rumah segede ini?"
"Ada Mbak sama sopir."
Sebenarnya Winter juga bukan berasal dari keluarga menengah ke bawah. Meskipun kedua orang tuanya sudah bercerai, namun sang mama masih bisa dibilang mampu menghidupinya dengan baik. Namun, melihat tempat tinggal Asahi ini tetap membuat Winter terpana dan takjub. Padahal papanya juga tinggal di perumahan yang sama dengan rumah Asahi.
KAMU SEDANG MEMBACA
METAMORPIKIR SEMPURNA
Fiksi Penggemar-Hamada Asahi- "Gue udah terlalu lama kabur. Ini waktunya nerima kenyataan." -Hirokawa Mao- "Dibandingkan berpikir tentang Mama yang nggak nerima gue. Lebih baik gue bersyukur karena masih banyak yang sayang kepada gue." -Nakamoto Mara- "Aku percaya...