Asahi menikmati menu berbukanya di restoran daging asap milik Seira. Dengan kekuatan orang dalam, ia dapat menikmati paket nasi daging sapi dengan tenang di ruangan pemiliknya. Mereka berdua memang semakin akrab, selain karena bertetangga di apartemen, Seira juga merupakan juru kunci Asahi untuk menanyakan tentang Mao.
"Gue mana inget ke sana, Sa," bela Seira yang memberikan pembelaan dan kembali menggangu ketenangan Asahi yang sedang makan. "Eh, apa gue pake alasan kalo itu dari Si May aja, ya?"
Asahi sudah menghabiskan makanannya, ia menyimpan sendok dan garpunya di atas piring. "Kalo menurut gue, masalahnya ada di merek dagang dan Teh Dahyun yang tau siapa nama lo. Gue yakin, Bunda Hanna tau siapa Seira. Syukur aja waktu kejadian foto yang Teh Dahyun kirim di Grup keluarga itu, Bunda lagi nggak pegang handphone."
Mata Seira seketika membulat. Saat ulang tahun Haruto, ia tidak berpikir panjang dan langsung mengirim banyak paket makanan ke rumah remaja itu. Tangan kiri dan kanan Seira kini sudah bertaut, saling memberikan kekuatan dan berusaha melawan gemetar yang tiba-tiba menyerang. "Kalo wanita itu sampe dateng ke sini gimana, Sa? Mana May nggak bisa pasang badan, dia udah keluar."
"Minta manajer lo yang handle," saran Asahi yang tetap terlihat tenang, walaupun sebenarnya menyimpan rasa khawatir, "bilang sama dia kalo ada perempuan dengan ciri-ciri bundanya Haruto nyariin lo jangan disuru masuk."
Saran dari Asahi memang terdengar jahat pada bundanya Haruto, tetapi itu demi kebaikan Seria. Di awal-awal pertemuan, saat Asahi dengan sengaja memperlihatkan foto profil WhatsApp Haruto pada Seira, ia melihat gelagat tidak nyaman dari perempuan itu, tangannya bahkan berusaha untuk menutupi gemetar. Sejak saat itu Asahi menduga bahwa kakak perempuan Haruto ini memiliki trauma masa lalu.
"Atau lo di atas aja, Sei. Jangan ke lantai bawah--"
"Mana bisa," sela Seira cepat, "kalo sore jelas gue turun tangan juga, handle bagian kasir."
Asahi sudah merapikan piring sisa makannya, ditumpuk dengan piring lainnya. "Pindah dulu ke dapur, deh. Kalo di kasir pasti bakalan ketemu. Daripada trauma lo kambuh lagi."
Tatapan mata Seira seketika membulat, ia menatap tidak percaya pada Asahi. Dari mana lelaki itu tahu traumanya? Tidak ada satupun yang tahu tentang itu, sepertinya. Ah, kecuali Jihoon. Apa Jihoon yang bilang ke Asahi? Banyak pertanyaan yang memberondong ke otaknya.
"Jihoon yang kasih tau?"
"Bang Jihoon tau?" Asahi balik bertanya. "Lo yang ngasih tau ke dia?"
Sebelah alis Seira sudah menukik seperti puncak gunung. "Lo bukan tau dari Jihoon?" tanyanya dan dijawab gelengan Asahi.
"Bang Jihoon kagak pernah cerita apa-apa tentang lo," jelas Asahi menghindari kesalahpahaman yang ada di otak Seira. "Gue cuma liat dari gerak-gerik lo waktu dulu. Lagi pula, masuk akal kok kalo lo trauma dan punya rasa benci ke bundanya Haruto."
Ini pertama kalinya ia mendapatkan sebuah pembelaan dari seseorang atas rasa benci pada istri kedua papanya. Selama ia hidup, orang-orang di sekitarnya selalu membela wanita itu. Ah, kecuali mommy-nya yang juga membenci istri baru dari mantan suaminya.
"Sebenernya gue udah berusaha buat maafin dia," ungkap Seira pelan, tetapi masih bisa Asahi dengar, "tapi otak sama hati gue pasti akan berakhir ribut. Bisikan-bisikan yang buat gue makin frustrasi itu bakalan dateng lagi, memori menyeramkan juga langsung berputar."
Tak banyak respon dari Asahi. Lelaki itu justru beranjak dari posisi duduknya di sofa ruang kerja Seira. "Gue balik, deh," pamitnya saat Seira mulai curhat lebih panjang. "Lo kalo ada apa-apa telepon Bang Jihoon aja."
KAMU SEDANG MEMBACA
METAMORPIKIR SEMPURNA
Fanfiction-Hamada Asahi- "Gue udah terlalu lama kabur. Ini waktunya nerima kenyataan." -Hirokawa Mao- "Dibandingkan berpikir tentang Mama yang nggak nerima gue. Lebih baik gue bersyukur karena masih banyak yang sayang kepada gue." -Nakamoto Mara- "Aku percaya...