"Sarden lo kurang asin anjir, Bang." Haruto selalu mengeluarkan protes yang sama. "Gue lebih suka yang ABC."
Nyali Haruto memang cukup besar. Ia menyebut merek yang menjadi kompetitor perusahaan Asahi.
"Di antara miras sama lem pipa dari perusahaan lo. Kalo mabok enaknya pake yang mana, Bang?" Ini adalah pertanyaan random berikutnya. "Atau pake cat semprot lo?"
"Soda kue yang paling cocok buat mabok," balas Asahi asal. Ia menyebutkan anak cabang lainnya yang diproduksi oleh Asahi Group.
Sarden, berbagai macam jenis lem, cat semprot, genset, meteran air, sabun cuci piring, minuman keras, dan masih banyak lagi. Asahi Group merupakan perusahaan besar yang memiliki banyak anak cabang.
"Btw, stiker Asahi juga punya perusahaan lo, Bang?"
Asahi menghela napasnya. "To, perasaan tujuan lo datang ke sini buat ngomongin suntikan dana ke keluarga Seira deh."
"Oh iya, lupa!" sahut Haruto. Ia langsung merubah posisi duduknya. "Gimana itu? Gue nggak tau lagi harus pake perusahaan siapa."
"Anak cabang punya keluarga lo?" tanya Asahi. "Ada nggak yang bukan dibawah naungan W. Crop?"
Haruto mengetuk-ngetuk pelan ponselnya pada nakas di kamar Asahi. "Ada dua pilihan, sih," katanya. "Pertama perusahaan Om Jaejoong--adiknya ayah, tapi resiko Bunda tau pasti gede."
"Pasti," gumam Asahi. Ia menyetujui perkataan Haruto. "Pilihan yang dua apa?"
"Mara," jawab Haruto. "Gue bisa pinjem nama perusahaannya. Resiko Bunda tau lumayan minim selama Mara bisa jaga mulut. Tapi, gue curiga Kak Sei tau perusahaan keluarga Mara."
Sebenarnya Asahi paling malas berada di posisi seperti ini. Ikut campur dalam urusan keluarga orang lain bukanlah hal yang ia suka. Namun, mengingat Haruto sudah membantunya menjaga Mao, membuat rasa untuk balas budi bergejolak tinggi di dirinya.
"Tapi, lo bisa bantu gue buat gagalin perjodohan lo sama Kak Sei, kan?" tanya Haruto. "Dia keliatan banget nggak nyamannya, Bang."
Asahi mengangguk. "Biar itu jadi urusan gue. Tugas lo sekarang cari perusahaan lain yang bisa lo pinjem namanya."
Haruto hanya diam. Tangannya masih terus mengetuk-ngetuk ponsel dengan nakas kayu. Suasana di kamar seketika menjadi hening.
"Bang, lem kaleng lo bisa buat bikin slime nggak?" tanya Haruto random. "Eh, atau jenset lo itu bisa buat menerangi masa depan?"
Asahi masih tetap diam. Ia paham betul Haruto sedang banyak pikiran, remaja itu melepaskannya dengan pertanyaan-pertanyaan bodoh.
"Gue nggak bisa keliatan deket sama lo di depan Seira."
"Kenapa?" tanya Haruto bingung.
"Kalo kakak lo tau kita deket, nanti dia blokir kontak gue, dan lo nggak bisa dapet informasinya."
Haruto mengangguk setuju. "Makasih ya, Bang--"
Perkataan Haruto terhenti oleh ketukan pintu kamar Asahi. "Abang, dipanggil sama Papah! Ditunggu di kantornya." Suara May terdengar dari balik pintu kamar. "Uto, ayo berangkat sekolah!"
Dengan pasrah Asahi beranjak. "Lo coba cari perusahaan yang namanya bisa lo pinjem, waktu kita nggak banyak." Asahi sudah siap untuk keluar kamar. Begitupun dengan Haruto yang sudah bersiap untuk berangkat sekolah.
🦋
"Perjanjian kita nggak kayak gini, Asa." Tatapan tajam Tuan Hamada membuat Asahi hanya menunduk saja. Ia bukan jenis anak lelaki yang dekat dengan ayahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
METAMORPIKIR SEMPURNA
Fanfiction-Hamada Asahi- "Gue udah terlalu lama kabur. Ini waktunya nerima kenyataan." -Hirokawa Mao- "Dibandingkan berpikir tentang Mama yang nggak nerima gue. Lebih baik gue bersyukur karena masih banyak yang sayang kepada gue." -Nakamoto Mara- "Aku percaya...