Mara menatap bingung pada sang mama yang semalam ini masih sibuk menatap laptop. Makan malam sudah lewat beberapa jam lalu, tapi Mama tetap duduk di meja makan dengan secangkir teh yang tinggal setengah. "Maa?" panggil Mara pelan, ia ikut duduk di kursi ruang makan.
"Loh? Kamu belum tidur?" Mama melepas kacamata bacanya. Beliau menghabiskan sisa teh panas yang mulai dingin. "Besok sekolah, kan? Tidur, gih. Nanti besok Mama buatin bekal, ya?"
Belum ada balasan dari Mara. Perempuan yang sudah memakai piyama itu masih tetap diam. Ada banyak pertanyaan yang mengganggu pikirannya sejak sang mama datang. Apalagi ini sudah hampir tiga hari berada di rumah. Padahal biasanya tak pernah rela lama-lama jauh dari sang suami.
"Kamu laper? Mau Mama buatin salad? Atau Sandwich?"
Lagi, Mara masih tetap diam. Ia bahkan tak mendengar perkataan sang mama. Tatapan remaja itu memang tertuju pada wanita berkaus merah muda di hadapannya, tetapi tidak dengan fokus Mara yang sudah pergi entah kemana.
Mama sendiri menatap putrinya dengan bingung. Berkali-kali ia memanggil sang anak, tetapi tetap tidak mendapat jawaban. "Mara? Hey! Ra? Mara?" Mama bahkan sampai bangkit dari posisinya untuk mendekati sang putri, beliau dengan hati-hati mengguncang pundak Mara. "Ra? Mara? Nakamoto Mara!"
Tubuh Mara terlonjak pelan saat mendengar suara mamanya. "Eh? Kenapa, Ma?"
"Kamu ngelamun?"
"Hm?"
"Mikirin apa? Besok masih ujian praktek ya?"
Mara sedikit linglung, perasaan tadi mamanya masih duduk di kursi depan, tapi kenapa sekarang sudah berdiri di sampingnya? "Aku boleh nanya sesuatu?" pintanya hati-hati, ia menoleh ke arah sang mama. "Mama nggak pergi lagi? Papa di sana gimana?"
Senyum simpul Mama terbit, cepat atau lambat ia sudah yakin kalau putrinya akan bertanya seperti itu. "Mama laper, kamu mau smoothies?" tawar Mama yang kini sudah menjauh dari ruang makan. Wanita yang tubuhnya tidak lebih tinggi dari sang putri itu langsung menuju kulkas, mencari buah-buahan beku untuk ia blender.
Melihat tingkah mama seperti itu, Mara jelas menyusul ke dapur. Ia yakin ada sesuatu yang tidak beres antara kedua orangtuanya. Meskipun lebih banyak menghabiskan waktu dengan asistennya, tetapi Mara tetaplah seorang anak yang memiliki ikatan batin dengan orang tua. Meskipun hanya sedikit.
Mama masih tetap berlagak fokus dengan buah-buahan beku. Memasukkan stroberi, pisang dan susu ke dalam blender. "Rumah ini abis kontraknya kapan, Ra?" tanya Mama di sela-sela suara mesin blender yang sedang menghaluskan buah beku. "Kalo kontraknya abis, kamu mau pindah nggak? Kita beli rumah di sekitaran sini."
Mara kembali terdiam. Ia tak tahu harus menjawab apa. Pertanyaan Mama terlalu aneh. Kenapa ia harus beli rumah? Sekolah Mara sudah hampir selesai, pengobatan Mara pun tidak seintens dulu. Bukankah itu waktunya ia pulang ke kota asal?
"Suaminya Mbak Hanna mau jual rumah ini nggak ya, Ra? Kamu mau tinggal di sini seterusnya?" Mama masih terus mengeluarkan pertanyaan, meskipun tahu putrinya ini tidak menjawab. "Kamu mau kuliah di kota ini?"
"Mama kenapa?" Tak heran Mara bertanya seperti ini, ia merasa kalau mamanya sedang kenapa-kenapa. "Ada masalah sama Papa?"
Mama hanya tersenyum tipis, "Tolong ambilin gelas, kamu mau smoothies juga, kan?" perintah Mama justru terlihat seperti sedang mengalihkan pertanyaan Mara. "Mau pake granola juga nggak?"
Hanya gelengan yang Mara beri. Perempuan itu kembali diam, memperhatikan sang mama. Hingga mereka berdua kembali duduk di meja makan. Kali ini ditemani oleh smoothies berwarna merah muda.
KAMU SEDANG MEMBACA
METAMORPIKIR SEMPURNA
Fiksi Penggemar-Hamada Asahi- "Gue udah terlalu lama kabur. Ini waktunya nerima kenyataan." -Hirokawa Mao- "Dibandingkan berpikir tentang Mama yang nggak nerima gue. Lebih baik gue bersyukur karena masih banyak yang sayang kepada gue." -Nakamoto Mara- "Aku percaya...