Di saat anak seusianya mengejar ilmu dan bermain, ia harus memilih menghabiskan waktu di rumah. Ketika teman-temannya memikirkan tujuan hidup mereka, ia hanya mengikuti apa kata orang saja. Karena hidupnya memang tak memiliki tujuan.
Namanya Raga, p...
Rama melangkahkan kaki menuju ke dalam rumah seraya tersenyum. Di tangannya saat ini terdapat sebuah benda panjang yang ia siapkan untuk Raga. Ketika memasuki ruang tamu, ia dapat melihat Raga tengah duduk di lantai sembari meraba benda disekitarnya. Kebiasaan ini selalu Rama terapkan kepada Raga agar adiknya agar tahu menahu tentang benda-benda disekitarnya. Saat Rama pergi, ia selalu meninggalkan beberapa benda di dekat Raga. Kata dokter, hal ini juga membantu supaya Raga dapat mengenali serta bersahabat dengan lingkungan sekitar.
"Raga."
Raga menghentikan kegiatan merabanya, "iya, Kak?"
Rama makin tersenyum, ia mengusap kepala Raga. "Kakak punya ini buat kamu" ia mengulurkan benda tersebut kepada Raga.
Raga menggerakkan tangannya ke samping kanan dimana Rama berada, ia mengusap benda tersebut dengan seksama. Benda ini panjang, tidak terlalu besar juga. "Ini apa, Kak? Kok kayak tongkat?"
"Ini memang tongkat, Ga. Tongkat buat kamu."
Raga berbinar, lantas ia tersenyum. "Beneran, Kak?" Selama Raga dinyatakan tidak bisa melihat, baru kali ini ia diberikan tongkat.
Dulu Raga yang tidak ingin hidup dengan tongkat buta tersebut. Seiring berjalannya waktu Rama juga ikut tidak setuju, karena Rama takut, Raga akan menggunakan tongkat itu untuk kemana-mana, Rama takut Raga terluka karena ucapan dari orang-orang. Namun sekarang ia paham, Raga tidak akan pernah merasa terluka jika ia dikatai. Adiknya selalu bersyukur tentang bagaimana hidup yang dijalani.
"Beneran dong, Ga. Nih"
Raga menerima tongkat itu, dulu ia tidak ingin menggunakan tongkat ini karena tidak mau jika dirinya terlihat lemah dengan kekurangan yang ia miliki. Sekarang kondisinya beda, Raga sudah menerima kenyataan dan tidak masalah jika memang orang lain tahu tentang fakta seorang Raga. Karena mau bagaimanapun, Raga percaya bahwa Tuhan memang menyiapkan kehidupan yang pantas untuk Raga.
Penglihatan Rama beralih pada Raka yang menuruni tangga. "Baru bangun kamu, Ka? Kamu gak masuk sekolah bukan berarti bisa santai kayak gini. Kakak udah kasih surat izin ke guru, gak kakak kasih berapa lama kamu libur. Tapi, lusa kamu harus masuk sekolah."
"Gak usah dijelasin gue juga udah ngerti," jawab Raka seadanya dan menuju ke dapur untuk mengambil segelas air.
Rama mendesah pelan, "terserah kamu. Kakak habis ini berangkat, udah ditungguin temen. Jaga kepercayaan kakak, ya, Ka."
Raka mengangguk sembari meneguk air di dalam gelas yang dipegangnya, ia terlalu malas mengucapkan sepatah kata pun kepada kakaknya.
• S E K U A T R A G A •
Rama mendudukkan diri di samping gadis yang kini terlihat sibuk mengurusi tabloid di genggamannya. Rama hanya diam, tak berniat mengganggu sang teman yang kini tampak fokus mengotak-atik layar tabloid.
Gadis tadi menghembuskan napas lega, ia menaruh tabloid-nyadan menatap ke samping. "Eh, Ram! Sejak kapan lo?" Tanyanya pada Rama.
"Gak lama, sih. Baru aja, belum ada lima menitan."
Ia mengangguk, "oh iya, bytheway, tolong kirimin biodata lengkap lo bisa? Mau gue urus biar cepet daftarnya. Jadi ntar kita kedapetan nomer awal, kalo akhir pasti udah males." Ia Arena Yuanda, teman kuliah Rama.
"Oh, bisa. Mau dikirim kapan?"
"Eummm ... Sekarang deh, Ram. Biar gue langsung masukin lo ke list peserta di kelompok kita."
Rama memberikan jawaban dengan ibu jarinya. Ia mengeluarkan laptop dari dalam tas, lalu menunggu beberapa saat sampai benda itu dapat ia gunakan. "Udah, nih. Gue kirim ke email lo"
Arena mengangguk dan segera menyalakan kembali tabloid kepunyaannya. Ia tersenyum kala melihat nama email Rama terpampang jelas di layar sana. Dengan teliti, Arena membaca biodata Rama dengan cermat. Untuk projek yang diperintahkan oleh salah satu dosen mereka, butuh biodata masing-masing anggota kelompok dengan lengkap.
"Wait, Ram. Gue salfok, lo anak pertama dari empat bersaudara? Gue kira adek lo cuma Raga doang," Setahu Arena, Rama hanya mempunyai satu adik berusia empat belas atau lima belas tahun. Dan kondisi adik Rama, dalam keadaan tidak bisa melihat sama sekali.
"Adek gue ada tiga sebenernya. Yang paling sulung sama gue hubungannya emang gak baik, kedua itu Raga, dan adik gue yang paling kecil udah meninggal," meski Rama menampilkan senyum tipis, tidak dapat dipungkiri lagi bahwa ia sakit hati mengucapkannya. Bukankah ia terdengar seperti kakak yang tidak becus mengurus adik-adiknya?
Rama tertawa kecil, seharusnya Arena tidak usah minta maaf. Bertanya ketika mendapat kebingungan itu wajar, 'kan? "Gapapa kali, Na. Cepet check lagi biodatanya, gih. Bentar lagi kelas mulai."
Arena hanya mengangguk saja. Ia terlanjur merasa bersalah dengan pertanyaannya tadi. Dari ucapan Rama yang menyuruh Arena untuk kembali fokus pada pekerjaan kembali, gadis itu dapat menyimpulkan bahwa Rama memang tidak nyaman dengan pertanyaan yang ia lontarkan.
•
•
•
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.