Di saat anak seusianya mengejar ilmu dan bermain, ia harus memilih menghabiskan waktu di rumah. Ketika teman-temannya memikirkan tujuan hidup mereka, ia hanya mengikuti apa kata orang saja. Karena hidupnya memang tak memiliki tujuan.
Namanya Raga, p...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
•
•
•
Gundukan tanah bertabur bunga itu masih dipandangi dengan pilu. Memang sulit dipercaya, namun inilah takdirnya. Bagaimana lagi? Tuhan sudah berkehendak, hanya rasa ikhlas saja yang dapat diberikan untuknya yang kini telah berpulang.
Raka, sosok yang selalu menjadi beku sekarang telah runtuh. Air mata yang selama ini tidak dapat ia keluarkan, mengalir deras begitu saja tanpa permisi dan tidak mau berhenti. Raka ingin menangis, tapi ia benci karena air matanya keluar ketika tidak diperlukan.
Sedangkan Rama, ia membisu di tempatnya. Sama sekali tidak berkutik selain menatap kosong nisan Raga. Di samping Raga terdapat makam-makam keluarganya yang lain. Kehilangan yang harus Rama rasakan berulang kali telah membuatnya bingung harus apa. Menangis? Air matanya sudah terkuras habis. Berusaha tegar? Bagaimana bisa ia begitu jika yang pergi adalah adiknya sendiri? Menguatkan orang lain? Tidak, Rama tidak munafik untuk menutupi kesedihannya.
Gavin yang masih menggunakan perban pun sama diamnya seperti Rama. Ia juga terisak seperti Raka. Tidak bisa menyembunyikan betapa sedih dan kehilangan sosok Raga yang selama ini menjadi penguatnya. Gavin tidak di dekat Raga, tapi ia tahu kondisi Raga. Sahabatnya itu sakit, sangat dalam.
Dan yang lain—orang-orang terdekat Raga—sama sedihnya. Mereka menangis, ada juga yang berusaha menenangkan. Begitu hebatnya Raga di mata mereka, hingga kesedihan berlarut dalam waktu lama. Bahkan, Bima ada di sana, ditemani dengan dua polisi yang berdiri di samping kanan dan kirinya.
Seolah ada magnet di makam Raga, tidak ada satu pun orang yang ingin bangkit dan berlalu. Mereka ingin menemani Raga, sinar kehidupan yang tidak pernah mendapatkan sinarnya.
Raga, apakah di sana kamu menyaksikan betapa sedihnya orang-orang yang menyayangimu?
Kalau tidak, maka lihatlah. Berhenti bermain dengan Rafa sejenak, lantas lihatlah ke bawah. Ajak keluarga yang kini ada di sisimu. Dan kamu akan tersenyum, menatap betapa sayangnya mereka padamu.
Kamu—Raga, benar-benar dirindukan.
Jika memang kamu bahagia, tersenyumlah dan berjanji akan mencerahkan dunia di alam mu sana.
Di bawahmu, ada orang-orang yang tidak akan melupakan dan senantiasa mendoakan mu.
Ingat satu hal, Raga. Kamu, sosok kuat yang menjadi idola orang-orang. Kamu, cahaya kehidupan yang membuat orang tersenyum. Tugasmu benar-benar usai. Selamat berbahagia dengan kehidupanmu di sana. Dan orang-orang ini, akan melaksanakan tugasnya untuk mengikhlaskanmu.
- S E K U A T R A G A -
Suasana berkabung masih bertahan hingga malam. Kediamanan Mahardika masih ramai dengan kerabat dekat Raga yang membantu mempersiapkan acara untuk mendoakan Raga.
Di dalam kamar orang tuanya—juga menjadi kamar Raga—Rama termenung. Ia tidak tahu harus bagaimana. Terlalu sakit sampai-sampai ia susah untuk meluapkan rasanya. Rama merasa kehilangan, ia juga merasa bersalah. Janji yang pernah ia tanamkan pada orang tuanya harus melebur menjadi abu. Tidak ada yang bisa memperbaiki kesalahan fatal ini.
Mendapati Gavin yang menghampirinya dengan kaki tertatih, Rama memberikan senyuman tipis hingga tangan Gavin menyentuh pundaknya. "Nangis aja, Kak. Jangan ditahan."
"Air mata Kakak udah habis. Gak ngerti mau gimana lagi," menghirup napas dalam-dalam, Rama mencoba mengatur napasnya yang terasa sesak. "Kakak iri sama kalian yang bisa menenangkan orang lain. Sedangkan kakak sendiri cuma diem, bingung mau gimana. Nangis rasanya gak kuat, nenangin orang lain berasa munafik."
Gavin turut mendudukkan dirinya di samping Rama sembari mengikuti arah pandang Rama yang menuju pada bingkai foto Raga. Ia sendiri masih tidak menyangka sahabat kecilnya pergi, meninggalkan banyak lara yang membuat orang lain merasa sesak.
"Aku juga bingung, Kak. Bersalah banget karena gak bisa ada di sisi Raga di saat-saat akhirnya. Kenapa gak aku aja yang mati, ya, Kak? Raga udah cukup menderita ...."
Rama sontak menoleh, pemikiran Gavin terlalu meleset. "Vin, dengerin kakak, ya? Se-sedihnya kita akan kepergian Raga, se-menyesalnya kita yang gak bisa menjaga Raga, jangan pernah menyalahkan takdir, oke? Kakak sendiri sebenernya juga pengen banget menggantikan posisi Raga. Tapi, kakak tahu Tuhan punya rencana hebatnya sendiri. Setiap pertemuan pasti ada perpisahan. Dan ia yang hidup, pasti akan berpulang kembali ke pangkuan-Nya. Jadi mau gimana pun, takdir Tuhan yang terbaik."
Kalian tahu betapa Rama merasa malu saat ini? Ia merasa malu dengan orang-orang yang mendapat banyak cobaan, namun bisa tersenyum bahkan mencoba untuk tegar. Sedangkan ia? Hanya dapat menyemangati dan mengikuti alur yang Tuhan berikan.
Adik-adiknya berjuang melawan banyak sakit dengan cara mereka masing-masing tanpa melibatkan orang lain. Betapa malu Rama saat ini, merasa tak berguna untuk orang yang ia sayangi.
Gavin merengkuh tubuh Rama, "kalo gitu, mulai kita sama-sama berjuang ya, Kak. Tunjukin ke Raga kalau kita pasti bisa bahagia."
•
•
•
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
•
•
•
Kali ini beneran tamat, ya. Cerita tentang kehidupan Raga aku tutup sampai di sini.
Terima kasih untuk kalian semua yang selalu setia sama story ini. Jangan kapok, oke?
Btw, berakhir cerita ini, aku memutuskan untuk mengadakan sesi QnA, siapa tau mau ada yg kalian tanyakan mengenai cerita ini
So, silahkan bertanya, ya! Dan akan aku balas suatu saat nanti, dengan beberapa kejutan!
Lalu, pantengin terus ig @smoothycha.wp untuk beberapa hal yang kalian inginkan.