- { 25 } -

997 81 1
                                    

25. Telah berubah

 Telah berubah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hari-hari berlalu, namun Raga masih berdiam diri di Rumah sakit. Ia kini mulai terbiasa dengan kehidupan barunya—yang hanya hidup bersama satu ginjal saja.

Mudah lemas dan merasa lemah dirasakan Raga. Apalagi terkadang ada rasa yang mengganjal di daerah perutnya. Sesekali ia berpikir, kenapa Tuhan tidak mengambilnya secara langsung saja? Kenapa ia harus merasakan satu persatu bagian tubuhnya hilang?

Raga segera menggeleng. Tidak sepatutnya ia berpikir hal sedemikian. Tuhan menunjukkan cintanya dengan cobaan ini. Tuhan memberikan Raga kesempatan hidup, karena ingin ia merasakan kebahagiaan di dunia. Oke, buang pikiran burukmu, Ga.

Ceklek

Raga mengerutkan kening. Siapa yang datang? Rama belum lama pulang untuk menaruh pakaian kotor ke Laundry. Lalu Fadila memang sudah waktunya pulang. Lantas, itu siapa?

"Ini gue."

Raga tertegun. Ia tidak salah dengar? Barusan adalah suara Raka. Ada apa ini? Biasanya Raka akan datang kepada Raga jika ada sesuatu yang buruk. Lalu, apa maksud kedatangan Raka?

Raga dapat mendengar suara plastik. Ia dapat menyimpulkan, Raka membawa sebuah plastik di tangannya. Tak lama, Raga merasa senderan tempat tidurnya naik. Apakah Raka yang melakukan hal tersebut?

"Makan malam lo masih utuh, sekarang makan dulu. Bentar lagi waktunya minum obat," ujar Raka sembari menyiapkan makanan.

Raka menarik kursi ke samping brankar Raga, ia duduk dan hendak mengaduk bubur sebelum sebuah pikiran mendatanginya. "Ehmm ... Lo suka bubur diaduk atau enggak?"

Tawa kecil dikeluarkan oleh Raga. Entah kenapa, terasa lucu sekali dengan pertanyaan yang Raka lontarkan.

"Jadi? Diaduk atau enggak?" Tanya Raka sekali lagi.

"Terserah aja, Kak. Semua aku makan kok," jawab Raga.

Akhirnya Raka sedikit mengaduk bubur yang menjadi hidangan untuk Raga saat ini dengan tidak merata. Ia menyendokan satu suap bubur dan mengarahkannya ke mulut Raga.

Suapan Raka diterima baik dengan Raga. Jujur, Raga merasa bahagia sekarang. Setelah sekian lama, Raka tidak berbicara dingin ataupun membentak Raga. Raka juga tidak berbuat kasar. Akhirnya, sudah lama Raga berharap.

Beberapa suapan bubur berhasil masuk ke dalam pencernaan Raga. Tapi siapa sangka jika ia kenyang dalam sekejap. "Kenyang, Kak."

Raka mengernyit. Jika dihitung-hitung, memang sudah banyak. Tapi hanya memakan hampir seperempat porsi aslinya. Apakah Raga benar-benar sudah kenyang? "Yakin? Masih banyak ni."

Raga mengangguk, ia merasa perutnya tidak cukup untuk diisi kembali.

Raka akhirnya bangkit, ia membereskan peralatan makan Raga dan menuangkan air dari botol besar ke gelas yang disediakan. Atensi Raka beralih kepada obat-obatan beragam jenis yang terdapat di atas meja.

Raga minum yang mana aja?

Ditengah-tengah kebingungan Raka, pintu ruangan kembali terbuka. Muncul Rama dengan menggeret koper kecil di tangannya.

Rama menaruh koper bawaannya. Ia melangkah mendekati Raka, "ngapain, Ka?"

"Obat yang mau diminum Raga mana?"

Rama memangut paham. Rupanya Raka ingin memberikan obat kepada Raga. Pemuda itu berjalan mendekati Raka dan membuka beberapa obat. Mata Rama melirik kearah makanan Raga yang terlihat sudah berkurang.

"Raga udah makan?" Tanya Rama.

Raka mengangguk. Tapi anggukan Raka justru membuat raut Rama menjadi lesu.

"Ada obat yang harus Raga minum sebelum makan, buat ningkatin nafsu makan sama biar organ dia siap menerima makanan. Tapi karena dia udah makan, ya udah deh. Langsung ke obat lainnya aja," ujar Rama sembari menyiapkan obat-obatan untuk Raga. "Ka, tolong kasih obat sirup itu ke Raga. Satu sendok makan aja, ya."

Raka melaksanakan ucapan Rama dengan pelan-pelan. Tangannya sudah melayang siap masuk ke dalam mulut Raga. Rama yang melihat sudah menahan ketawa. Raka sangat gemetaran di tempatnya. Padahal, hanya memberikan Raga obat.

"Gak usah takut, Ka. Hati-hati nanti tumpah obatnya," ujar Rama memperingati.

Dengan berani, Raka memasukkan sendok berisi obat ke dalam mulut Raga. Lantas ia bernapas lega. Ternyata memberikan obat tidak buruk juga.

Rama sedari tadi tidak henti-hentinya tersenyum. Raka berubah, ia senang akan hal itu. Meski awalnya ia sangat kecewa pada Raka yang menyebabkan Raga menjadi seperti ini, tapi Rama bisa apa? Ia tidak mungkin egois dengan menyalahkan Raka. Semua musibah, tidak baik selalu menyudutkan Raka.

"Pertahankan hal ini, ya, Ka."

•

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

-SmoothyCha

SEKUAT RAGA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang