ALDEN 50

445 20 0
                                    

Alden menggenggam erat tangan Mara yang berjalan di sebelahnya. Ilalang-ilalang rendah menyentuh kulit kakinya. Jantungnya berdebar kencang. Gugup rasanya.

Alden dengan hati-hati melewati setiap makam yang ada di TPU ini. Matanya bergerak cepat membaca setiap nama yang tertera pada batu nisan tersebut. Orang-orang di dalam sana dulunya juga sama sepertinya. Hidup di dunia, memiliki keluarga dan bahagia. Tapi di sinilah akhir dari semua gemerlap dunia. Kematian.

Mara menghentikan langkahnya membuat Alden sontak ikut menghentikan langkahnya. Veron yang sedari tadi mengikuti mereka dari belakang pun berhenti.

"Al, ini makam Papa," ucap Mara menunjuk sebuah makam di depan mereka.

Alden tersentak. Matanya lantas memperhatikan makam yang sama sekali tak pernah dikunjunginya itu. Kepalanya menggeleng pelan bersamaan dengan air mata yang jatuh membasahi pipinya.

Veron melangkah menuju sisi sebelah makam lantas berjongkok. Tangannya menyentuh nisan tersebut. Baru saja kemarin ia ke sini bersama Mara, dan sekarang ia kembali lagi, bersama Mara dan juga Alden.

Mara ikut berjongkok di depan makam tersebut. Tangannya terulur menyentuh makam laki-laki yang amat sangat ia cintai itu.

"Assalamu'alaikum, Mas, aku datang lagi. Sama Mas Veron dan..." Mara mendongak menatap Alden yang masih setia berdiri di tempatnya. Mara menarik lembut tangan Alden membawa anaknya itu ikut berjongkok di sebelahnya. Alden hanya mengikuti pergerakan tubuhnya yang ditarik oleh Mara, berjongkok di sebelah Mara.

"Ada Alden juga, Mas," lanjut Mara sembari tersenyum.

Mara menatap Alden di sebelahnya. Ia dapat melihat dengan jelas Alden menahan isakan tangisnya. Sakit. Mara tau itu sakit. "Nangis aja sayang, ga pa pa. Nangis ga bikin kamu lemah kok," ucapnya sembari mengusap bahu Alden.

Alden meluruh, jatuh ke tanah untuk merengkuh nisan sang Papa. Tangis berderai, dicerai-beraikan olehnya seluruh rasa sakit hingga hilang tak tersisa. Matanya terpejam erat, rindu nan sesal. Alden genggam erat, dia tidak marah, dia justru berterima kasih. Semesta akhirnya berbaik hati, mempertemukan ia dengan peristirahatan terakhir Papanya.

"Papa..." Alden berseru parau, merengkuh lebih erat. Walau tanpa raga utuh bernyawa, Alden kini merasakan kehangatan sesaat. Seolah Papanya ada, duduk di hadapannya, tersenyum, balas merengkuhnya

"Maafin, Al." Isak terdengar samar. "Maaf karena enggak pernah jenguk Papa ke sini."

Alden menegakkan tubuh, tangan halusnya menyentuh nisan sang Papa. "Papa seneng ga ketemu, Al?" Ia terkekeh kecil lantas mencium nisan sang Papa. "Alden sayang sama Papa."

Mara yang melihat itu tersenyum haru. Tangannya mengelus lembut punggung Alden.

"Mas, Alden kita udah gede. Dia udah bisa jaga diri sendiri. Dia juga udah bisa jagain Mama nya. Jagoan kita tumbuh jadi anak yang kuat, Mas," ucap Mara sambil terus mengelus punggung Alden yang masih memeluk nisan Papanya.

"Abraham, anak kamu hebat. Saya salut sama dia. Dia begitu mencintai Mamanya," ucap Veron ikut tersenyum haru. "Tapi anak kamu ini anak saya juga ya," lanjutnya membuat Alden dan Mara terkekeh kecil.

"Al, sekarang kita kirimin doa buat Papa ya. Papa pasti seneng dikirimin doa dari anaknya," kata Veron sembari menepuk pelan kepala Alden yang masih bersandar pada nisan.

ALDEN [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang