Chapter 17

22K 2.2K 189
                                    

Kanaya meraih bathrobe serta bath towel putih yang terlipat rapi di atas vanity, lantas mengenakan untuk mengeringkan tubuh dan membalut rambutnya yang basah. Ia belum sempat mengambil perlengkapannya yang masih berada di dalam kamar miliknya. Saat ini, hanya mengandalkan fasilitas yang tersedia di kamar milik Bayu.

Bunyi ketukan pintu secara tiba-tiba berhasil membuat Kanaya tersentak. "Kamu udah selesai belum? Daritadi handphone kamu bunyi terus, tuh." Suara Bayu dengan lugasnya memberitahu saat Kanaya berniat untuk keluar.

"Siapa yang nelepon?" tanya Kanaya langsung bersamaan dengan membuka daun pintu. Ternyata, Bayu masih sabar menanti persis di hadapan, menyandarkan sebagian sisi tubuhnya, dalam keadaan tanpa atasan hanya menggunakan celana brief ketat. 

Bayu mengedikkan bahu, tidak berniat untuk mencari tahu. "Nggak lihat, coba kamu cek sendiri," balasnya sambil mengekori Kanaya menghampiri ranjang king size. Kemudian Bayu menunjuk handphone milik Kanaya dengan keadaan terbalik di atas tempat tidur.

"Karen," gumam Kanaya terheran melihat jumlah panggilan terlewat, membuatnya agak khawatir.

"Ada yang penting?" tanya Bayu penasaran, ketika baru saja berbaring di atas ranjang, kembali mengikuti tayangan pada televisi.

"Aku telepon balik, deh," cetus Kanaya yang juga penasaran setelah beberapa kali mempertimbangkan.

"Kanaya!" Karen berseru menyambar terdengar gusar.

Kanaya yang belum siap mendengar pekikan gemas Karen, dengan cepat menjauhkan handphone dari telinga. Hingga handuk yang membalut rambutnya terjatuh, tetapi masih bisa ditangkap olehnya.

Kanaya berdecak kecil. "Hi, my support system!" sindir santai meski sempat dibuat kesal, kekhawatirannya pun berangsur hilang.

"Preet! Dari mana aja lo?"

"Baru selesai mandi," jawab Kanaya jujur lalu sengaja me–loadspeaker panggilan tersebut, meletakkan kembali handphonenya ke atas ranjang.

"Mandi apaan jam segini? Mandi wajib? Awas, mendadak hujan di siang hari gini."

Saat ini memang belum bisa disebut sore sepenuhnya. Terik matahari masih menyengat, tampak jelas dari cerahnya langit melalui jendela kamar. Karena tubuh Kanaya cukup berkeringat—bahkan sejuk pendingin ruangan seakan tak mampu meredakan—akhirnya ia memutuskan untuk segera membersihkan diri.

"Sialan, lo." Kanaya terkekeh ketika mendengar gurauan dari Karen. Perlahan pandangan matanya melirik Bayu sesaat, sebelum melebarkan bath towel di genggaman lalu mengeringkan rambut secara manual.

Sementara Bayu yang mendengar tawa lembut Kanaya, langsung mengalihkan pandangan dari layar televisi—tanpa sadar menggeleng tak percaya lantaran fokusnya telah terbagi. Ia benar-benar teralihkan. Hingga berinisiatif mengecilkan volume dari suara televisi agar tidak menganggu mereka. Diam-diam, Bayu pun semakin larut mendengarkan obrolan di antara Kanaya dan Karen.

"Ada apa, Ren, nggak biasanya telepon gue berkali-kali," tanya Kanaya tanpa basa-basi.

"Eh—harusnya gue yang tanya!" Karen berdecak lebih keras. "Lo bilang apa sama nyokap? Mami lo mendadak kirim tiga hampers ke apartemen gue. Mana banyak banget isinya!" Membeberkan penuh kekaguman.

"Yang benar lo?" Kening Kanaya mengerut sempurna, ia bahkan tidak tahu maksud dan tujuan Maminya. Alih-alih menjelaskan, ia justru ikut terheran. Kanaya sama sekali tidak dapat menerka maksud dari tindakan Mami kepada Karen. Namun berusaha untuk tidak berspekulasi buruk—mengingat Karen dan Mami telah lama mengenal satu sama lain.

Falling for You Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang