Chapter 18

21.9K 2.3K 296
                                    

Setelah menghabiskan cukup banyak waktu untuk bersiap, sore itu Bayu dan Kanaya akhirnya benar-benar memutuskan makan di luar. Meski awalnya tidak ada dalam rencana mereka, dan juga ini merupakan pertama kalinya Bayu mengajak Kanaya pergi bersama. Kanaya pun tidak keberatan, karena menurutnya di sini tidak akan ada orang yang tahu ataupun mengenali mereka berdua.

Atas rekomendasi Kanaya, mereka memutuskan untuk makan di sebuah restaurant and lounge yang tidak jauh dari letak hotel berada. Bayu yang baru saja mendatangi tempat itu langsung menyukainya. Design classic modern bangunan terasa rindang lantaran di kelilingi banyak sekali pepohonan, serta live musik yang mengisi di setiap akhir pekan seakan tidak membuat pengunjung cepat berlalu dan bosan.

Karena tidak sempat reservasi, Bayu dan Kanaya mendapatkan spot yang berada dibagian outdoor. Pesanan mereka telah datang sejak puluhan menit lalu, lebih cepat dari perkiraan, melihat jumlah pengunjung nyaris memadati semua sudut ruangan.

"Di sini ada tempat main golf juga?" tanya Bayu baru saja melihat laki-laki separuh baya memasuki restoran tengah membawa tas stick golf. Ucapannya berhasil memecah fokus Kanaya yang tengah memandangi live musik di dalam sana, meski tidak terlihat dan terdengar jelas.

Kanaya mengangguk-angguk, tetapi tidak menyahut. Papa dan Abangnya terkadang bermain golf di sekitar sini. Ia juga pernah ikut serta, namun tidak berminat untuk kembali lagi. Berhubung dirinya tak menyukai jenis olahraga tersebut. "Kamu bisa golf?" tanya Kanaya mendadak penasaran. "Atau suka lihat Caddy-nya?" candanya tanpa maksud menuduh.

"Nggak." Bayu tertawa singkat lalu menggeleng samar. "Tempat ini kayaknya luas, ya."

Pandangan Kanaya teralihkan sepenuhnya kepada Bayu. "Oh ... di belakang sana, memang ada rumah-rumah juga," terangnya seraya menunjuk arah yang dimaksud.

"Rumah Papa kamu?" tanya Bayu kali ini serius.

"Bukan ...." Kanaya tertawa pelan. "Kayaknya papaku belum mampu beli rumah di sini."

Bayu terdiam sesaat, ingin sekali bertanya mengenai di mana rumah Papa Kanaya, tetapi mengurungkan niatnya.

"Rumah-rumah di sana tiga lantai semua. Kolam renangnya juga indoor." Kanaya menjeda sambil berpikir mengenai semua point plusnya. "Daerah di sekitar sini tuh enak, nggak pernah kena banjir. Tapi harga rumahnya jauh lebih murah kalau dibandingin sama daerah Permata Hijau sampai Darmawangsa."

"Iya, untuk suami-istri enaknya memang tinggal di rumah," ujar Bayu berkomentar. Setelah ia juga sempat gagal membeli rumah untuk masa depannya bersama Sandra. Sehingga Bayu memutuskan untuk membeli unit apartemen yang saat ini ia tinggali. Meski tidak mengurangi keinginannya untuk tetap memiliki sebuah rumah kembali.

"Duh, kalau aku yang harus beli, salary-ku enggak cukup buat ambil cicilannya juga," keluh Kanaya berterus-terang. "Tapi nggak tahu, kalau udah punya suami nanti," lanjutnya sambil menerawang.

Bayu mengulas senyum tipis tidak berniat menimpali. "Bakalan jauh dong dari kantor, kalau kamu tinggal di sini."

"Ya, pakai driverlah! Bayangin kamu senin sampai jumat pusing kerja, tapi hari sabtu sama minggu bisa jogging sambil lihat view sebagus ini." Pandangan Kanaya lantas menjelajah ke arah hamparan rumput hijau dengan pepohanan tinggi yang berjajar rapi. Bunga-bunga taman membentuk garis di tepian jalanan yang jarang sekali dilewati kendaraan. Suasana seperti ini sudah tidak ada di Jakarta. 

Bayu mengangguk-angguk setuju. "Worth it."

"Ya, 'kan?!" Kanaya berdecak kagum membayangkan. "Boleh jadi referensi kamu, tuh. Itu juga kalau kamu mau cari rumah," balasnya seolah mempromosikan. "Ah, kamu beli tanpa nyicil juga mampu, kok."

Falling for You Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang