Sabtu besok kamu free nggak, Nay?
Gak.
Kanaya berdecak sebal menatap room chatting-nya dengan Bayu, yang ternyata sudah tiga hari berlalu. Pria itu bahkan tidak lagi membalas ataupun kembali menghubunginya, setelah pesan balasan darinya terbaca. Kanaya berdecih lirih, dalam diam menerka, yakin betul jika Bayu tengah mencoba untuk membalas kelakuan tarik-ulurnya selama ini. Terlebih sejak kepulangannya dari Bogor, Kanaya sama sekali tidak memberi kabar atau membalas pesan Bayu.
"Kanaya!" Seruan Mami langsung membuyarkan lamunan. "Ayo, makan bareng Mami!"
Tanpa menjawab, Kanaya segera keluar dari kamar. "Mami masak?" Lantas terheran mendapati Mami sibuk seorang diri. Padahal semalam ia masih disambut Mbak yang biasanya membantu Mami dalam mengurus semua pekerjaan di rumah ini.
"Iya. Kamu makan seadanya, ya, Nay," jawab Mami sambil lalu, sibuk meletakkan kemudian menata beberapa hidangan ke atas meja makan.
"Si Mbak ke mana?" tanya Kanaya tanpa melepas tatapan mata mengamati masakan Mami yang tersaji.
"Mbak izin sampai lusa, urus acara khitanan anaknya."
"Mam, kok aku jadi lapar ... mau makan." Kanaya setengah merengek sambil memandangi Mami yang masih menata tableware.
"Daritadi kamu ngapain aja baru keluar dari kamar?" Mami dengan cekatan menyiapkan makan siang untuk Kanaya.
"Ngecek kerjaan," jawab Kanaya yang tidak sepenuhnya benar. Sebagian waktunya memang dihabiskan untuk membuka e-doc dari Pak Wisnu, meski lebih banyak terbuang percuma termenung memandangi photo profile milik Bayu.
"Makan yang agak banyak. Kayaknya kamu kurusan deh, Nay," kata Mami memandang lekat, baru menyadari perubahan pada anaknya.
Kanaya tertawa kecil. Bobot tubuhnya memang mengalami sedikit penurunan. Namun Kanaya yakin perkataan Mami, sangat menjelaskan bahwa wajahnya tampak lebih muram tidak seperti biasa. Padahal ia sudah mencoba untuk tidak memikirkan masalah yang baru-baru ini ia hadapi. Akan tetapi, beban pikiran tersebut seakan tak dapat dihindari. "Thank you, Mam," ujarnya berusaha ceria, ketika menerima sepiring makanan yang telah Mami siapkan.
"Kanaya, kalau seandainya ...." ucap Mami terjeda penuh penekanan, lalu duduk di samping Kanaya, setelah menyiapkan makanan untuk dirinya sendiri. "Seandainya, nih, kamu tinggal di sini sama Mami mau nggak?" lanjutnya sangat berhati-hati.
"Mami kenapa?" tanya Kanaya langsung merasa khawatir, hingga meminta pemahaman lebih.
"Ya ... supaya Mami bisa sering ketemu Papa. Bosan juga ternyata, Nay, sudah empat tahun ngurus outlet sendirian," terang Mami menyuarakan sedikit penyesalan, ketika teringat sempat memilih keinginan untuk tetap membuka usaha bakery and cake.
Kanaya tertawa lirih, tetapi perkataan Mami sedikit menghilangkan rasa cemasnya. "Kok, tiba-tiba? Mami ada kendala mau rekrut orang lagi, tapi belum dapat?" Meski masih menaruh sedikit kekhawatiran, Kanaya semakin mengerut bingung dalam menanggapi Maminya yang mendadak seperti ini. "Waktu itu cari Patissier lagi, katanya udah ada yang baru, 'kan?"
"Udah .... bukan masalah itu, Kanaya," tegas Mami berdecak kecil, namun tidak lantas menjelaskan.
"Ya ... terus?" Kanaya lalu mengatupkan bibir masih menatap Mami. Mendadak terpikirkan, jika memang ada ikatan batin antara Ibu dan Anak. Atau semua ini hanya kebetulan semata. Pasalnya, Kanaya baru merasakan tidak kerasan dengan suasana kantor lantaran adanya masalah kemarin. Kanaya mengulas senyum kecil, lalu menghela napas panjang. "Sebenarnya aku juga kemarin sempet mikir mau resign ...." tandasnya mengaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Falling for You
Roman d'amourPeringatan! Cerita ini mengandung unsur dewasa, Pembaca diharap bijak. "Makanya jangan kebanyakan ngobrol! Apalagi sampai nginap. Sarapan bareng juga nggak boleh. Semua bukan tanpa alasan, nanti takutnya jadi sayang." Kenyataannya, Kanaya mengabai...