Hujan

0 0 0
                                    

23. Hujan

Gadis itu kini sedang memandang rintikan air yang menetes secara abstrak diatas aspal. Melindungi dirinya di bawah payung berwarna putih, Gladis memandang jalan yang kini ia tapakki dengan nanar. Ada rasa janggal yang terus menganggu pikiran dan hatinya.

Gladis sedang berjalan di trotoar yang sepi baru selesai membeli sesuatu di minimarket dekat rumahnya. Gadis itu hanya memakai kaos hitam besar dan juga celana training abu-abu.

Gladis sebenarnya sangat malas untuk keluar rumah apalagi disaat sedang hujan seperti ini namun karena ada barang yang sangat ia butuhkan dengan berat hati Gladis harus keluar. Desta tak bisa mengantar laki-laki itu sedang bergelud dengan bantal dan selimutnya di rumah. Dihari libur memang waktunya untuk Desta bermalas-malasan.

Gladis menatap barang yang ia beli tadi. Sebuah cat yang akan ia gunakan untuk melukis sesuatu, karena ia tahu besok adalah hari spesial bagi Regar.

Oh bukan spesial namun juga hari paling ia hindari begitu juga dengan Regar pastinya. Menghela nafas Gladis yang tadinya berhenti kini melanjutkan jalannya, dalam hati gadis itu sangat berharap besok tak akan pernah datang. "Gue takut" cicit gadis itu air matanya mulai jatuh namun dengan cepat Gladis menghapusnya.

"Gak! Regar gak bakal pergi, Lo harus jagain Regar dis." Ucap Gladis dengan tersenyum tipis. Sangat tipis, membayangkan kemungkinan-kemungkinan yang sangat mengganggu hidupnya dan juga teman-temannya selama ini. Kenapa harus menjadi seperti ini.

Dan kenapa "ulang tahun gue yang terakhir?" Gladis sangat ingin mengulang waktu kembali. Ia ingin mencegah Kiara untuk melakukan buduh diri. Namun itu sangat mustahil, terisak pelan Gladis menundukkan kepalanya dalam.

Ia ingin melarikan diri sejauh mungkin, agar tak bertemu dengan maut yang sudah berada didepan mata. "Kiara maafin gue" lirih gadis itu diiringi isakan dan air mata yang meluruh jatuh, hujan semakin deras membuat isakan gadis itu terdengar samar.

Pukh!

"Ngapain Lo? Hujan-hujan nangis?"

=======

"Regar!" Sebuah teriakan seseorang membuat cowok yang sedang berjalan santai di lorong rumah sakit tergelonjak, dengan cepat ia menoleh kebelakang melihat siapa yang memanggil namanya dengan begitu keras.

Laki-laki itu tercekat, tubuhnya mendadak kaku.

"B–bianca"

"Hai" gadis berambut coklat sebahu yang lengkap menggunakan jas kedokteran itu, mendekat dan melambaikan tangan ke arah Regar. "Apa kabar kamu?" Tanya gadis yang tadi Regar sebut Bianca.

Regar masih terdiam, entah laki-laki itu mendengar sapaan Bianca atau tidak. Melihat Regar yang hanya terdiam memandangnya kaku membuat mengerutkan dahinya. Mengibaskan tangannya di depan wajah Regar guna menyadarkan laki-laki itu.

"Regar kenapa bengong?" Menerjapkan matanya dan menggelengkan kepalanya, Regar tersadar lalu menatap mata si gadis. Meringis laki-laki itu menjawab "maaf kak tadi aku–" Regar mendadak jadi kikuk.

Bianca hanya tersenyum maklum. "Jenguk siapa ke sini?" Tanya gadis berambut coklat tersebut dengan senyuman manis yang biasa ia tampakkan.

"M–mama kak" sial kenapa dirinya menjadi sangat kikuk saat bertemu dengan gadis bernama Bianca kakak perempuan dari Kiara– tunggu, adalah kakak kedua Kiara setelah Andres kakak pertama gadis itu meninggal.

"Mama kamu? Sakit apa?" Tanya Bianca beruntun, membuat Regar menghela nafas. "Jantungnya kambuh lagi kak" jawab Regar jujur sembari tersenyum tipis.

Bianca yang mendengar itu hanya bisa menepuk pundak teman adiknya "mama kamu pasti bakal sembuh, maaf ya kakak bukan dokter yang bisa sembuhin mama kamu" pasalnya Bianca adalah psikolog, bukan dokter umum maupun dokter ahli jantung. Regar hanya mengangguk.

"Kakak kangen banget sama Kiara, dia pergi dari rumah gak ada kabar delapan bulan belakangan ini" lagi-lagi ucapan gadis di depannya ini membuat tubuh Regar menegang.

Bianca menunduk, mengingat betapa sayangnya dia dengan si bungsu dan hanya Bianca yang Kiara punya untuk mendapatkan kasih sayang pasalnya kedua orang tua gadis itu sama sekali tak pernah memperdulikan dirinya. Jangankan mencarinya mengingat Kiara saja kedua orang tuanya enggan.

Sampai akhirnya Bianca yang sangat mencemaskan adik terakhirnya itu, entah kemana Kiara pergi tanpa kabar sekalipun dan Bianca sudah melaporkan adiknya kekantor polisi atas hilangnya gadis itu tanpa kabar.

Namun sampai saat ini keberadaan Kiara tak kunjung ditemukan, "a–aku juga kurang tau kak" Regar mengutuk dirinya karena telah berani berbohong pada kakak temannya itu–ah ralat kakak musuhnya yang bunuh diri di depan matanya dan sekarang telah menerornya sampai maut menjemput.

Bianca mendongak kemudian tersenyum tipis. "Gapapa kakak yakin Kiara pasti bakal balik" walaupun mustahil. Diam beberapa saat akhirnya Bianca membuka mulutnya kembali.

"Maaf Regar kakak gak bisa lama-lama, ada pasien soalnya kapan-kapan ketemu lagi ya" Regar mengangguk kemudian gadis berambut coklat tersebut melenggang pergi menyisakan Regar yang masih terdiam dengan tatapan kosong memerhatikan punggung Bianca yang semakin menjauh.

Menghela nafas, Regar merogoh kantung celananya dan mengambil ponsel miliknya lalu melihat layar, "hari ini...."

.
.
.

"Minum"

Gladis menatap seseorang yang sejak tadi bersamanya di dalam cafe, sekarang dirinya terjebak hujan dengan orang yang sangat menyebalkan baginya. Hey! Bagaimana tidak menyebalkan orang yang berada didepannya adalah ketua kelas disekolahnya yang berwajah dingin.

"Ga suka kopi gue" walaupun sangat dingin dan pas sekali untuk meminum kopi disaat seperti ini hujan. Gadis itu sama sekali tak mau meminum kopi ya karena ia tak suka.

Irfan menatap Gladis kemudian melengos malas. Gadis di depannya ini sangat keras kepala, kemudian mata laki-laki itu tertuju pada kantung plastik yang sejak tadi Gladis genggam. "Apa yang Lo bawa?" Tanya Irfan tanpa basa-basi.

Gladis yang mendengar pertanyaan dari Irfan menoleh kearah tangannya lalu menatap Irfan yang berada didepannya. "cat lukis, kenapa?" Irfan menggeleng.

"Nanya doang" Gladis merotasi kedua bola matanya saat melihat wajah dingin Irfan yang sedang menyesap cappucino, "gue pulang duluan ya" Gladis ingin beranjak namun dengan cepat Irfan mencegahnya.

"Lo mau hujan-hujanan?"

"Gue bawa payung btw" jawab Gladis enteng, seketika membuat Irfan terdiam dan melonggarkan tangannya yang mencengkram tangan si gadis.

"Gue anter" Gladis mengambil payung putihnya disamping tempat mereka duduk. "Ga perlu Lo neduh aja disini gue pulang" kemudian setelah mengatakan itu Gladis melenggang pergi meninggalkan Irfan setelah membayar kopi yang tadi di pesankan oleh laki-laki itu.

Irfan hanya terdiam memandang kepergian Gladis, setelah dirasa gadis itu sudah jauh sebuah seringaian tercetak samar dibibirnya.




–Petaka.17–


TBC.

Next? Votmentnya jangan lupa.

See u next part.

Petaka.17 •On Going•Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang