Gladis birthday

0 0 0
                                    

29. Gladis birthday

Selamat ulang tahun untuk adik terjutek gue, semoga kedepannya lebih baik lagi ya dan bisa jadi seseorang yang sukses. Jangan terlalu memikirkan hal yang belum tentu terjadi disini gue bakal ngelindungin lo dan ngejaga lo doa terbaik buat lo dek.

Desta.

Gladis tanpa sadar meneteskan air matanya. Berfikir apa yang di doakan oleh Desta akan terkabul? Atau malah akan menjadi sebuah luka besar bagi laki-laki itu. Gladis ingin hidup lebih lama lagi bersama kakaknya tapi.....

Drtt...

Disaat Gladis sibuk dengan pikirannya tiba-tiba ponsel miliknya berdering tanpa pikir panjang gadis itu mengambil dan mengangkat panggilan tersebut. Yang tak lain dan tak bukan dari Desta.

"Halo?" Gladis sebisa mungkin menetralkan suaranya agar tidak terdengar seperti orang yang baru saja menangis.

"Dis, maaf gue gak bisa ngerayain ultah Lo bareng-bareng, gue mendadak sibuk banget di kantor" penjelasan Desta sedikit membuat Gladis kecewa padahal dirinya ingin sekali merayakan ulang tahun terakhirnya bersama sang kakak.

"Iya gapapa gak usah di rayain segala, Lo beliin gue makanan aja pas pulang nanti" iya sekarang Gladis sedang berada di rumah seorang diri, kemarin gadis itu sudah di perbolehkan untuk pulang oleh dokter karena kondisinya sudah membaik.

"Maaf sekali lagi, janji gue bakal bawain makanan kesukaan Lo deh"

Gladis hanya tersenyum tipis mendengar tawaran kakaknya.

"Iya jangan malem banget pulangnya"

"Siap, gue matiin dulu"

Tanpa menunggu jawaban dari Gladis sambungan mereka sudah terputus. Gladis menghela nafas dan meletakkan ponselnya kembali ke nakas.

Saat ini rasanya sangat membosankan bagi Gladis hanya berdiam di rumah, lalu kaki jenjang itu membawanya keluar dari kamar. Mencari sesuatu di luar seperti menonton televisi mungkin.

Setelah menutup pintu kamarnya Gladis menatap seluruh ruangan rumahnya. Mengingat betapa dulu ia sangat bahagia bersama kedua orang tuanya serta kakaknya yang saat itu masih sekolah. Namun sekarang Desta sudah bekerja, lantas gadis itu mengingat masa-masa dimana ia tertawa bersama teman-temannya di ruang tamu.

Dan gadis itu teringat dengan Kiara juga Bagas. Dua teman dekatnya yang kini sudah berada jauh, entahlah Gladis tak berani menghubungi Bagas setelah kejadian dimana Kiara bunuh diri dan tak mereka temukan jasad gadis itu setelah mereka buang ke suatu tempat dengan jahatnya.

Mengingatnya saja membuat Gladis sedikit sesak kembali namun ia harus kuat saat ini. Apalagi nanti tidak ada yang tahu bagaimana hidupnya akan berlanjut atau mungkin....

Menggeleng samar gadis itu meraih remote televisinya untuk mengganti siaran. Namun ponselnya tiba-tiba bergetar kembali. Gladis mengambilnya dengan raut wajah ketakutan.

Ia melihat Rani yang di ikat di sebuah kursi dengan darah bercucuran di wajahnya. Gladis memekik lantas menangis, seseorang yang mengirimkan pesan itu menyuruhnya untuk menemui mereka di gudang tua dekat sekolah gadis itu.

Walaupun Gladis sudah tahu kejahatan Rani namun kali ini ia berfikir kalau Rani juga korban dengan bodohnya gadis itu pergi menuju tempat dimana si pengirim pesan itu maksud.

"Gue gak tau apa ini bakalan hari terakhir gue di dunia, gue gak perduli itu. Satu hal yang gue gak mau terjadi, kak Desta bakal lebih hancur kalo ngeliat kak Rani mati bareng gue" gumam gadis itu di pinggir jalan sembari menunggu taksi pesanannya.

Sekitar lima belas menit lamanya gadis itu menunggu dengan cemas. Akhirnya taksi yang ia pesan tadi sampai, Gladis menunjukkan alamat dimana dirinya akan tuju pada sopir taksi itu. Dan tak lupa menyuruh jalannya mobil lebih cepat.

Sepanjang perjalanan Gladis mencoba menghubungi Desta namun panggilan gadis itu tak kunjung berbuah manis. Ponsel Desta tak aktif membuat Gladis menggeram kesal.

Namun selang beberapa menit kemudian gadis itu sampai di tempat tujuan. Lantas dia terburu-buru untuk masuk ke dalam gudang tua itu. Mencari kesana kemari, Gladis menemukan seseorang yang memakai pakaian serba hitam serta menutupi wajahnya dengan kain dan topi hanya terlihat mata orang itu.

Langkah gadis itu terhenti di susul dengan derapan kaki yang menggema mendekat kearahnya. "Akhirnya lo dateng juga" terdengar suara lelaki membuat Gladis menebak-nebak siapa yang ada di hadapannya.

Lelaki itu membawa tongkat besi. Semakin mendekat kearah Gladis, membuat tubuh ringkih gadis itu mundur perlahan-lahan. "Mana kak Rani!" Gladis mencoba untuk tidak terlihat takut walaupun ia ingin sekali lari dari tempat ini.

"Siapa lo sebenarnya? Apa lo dalang di balik semua ini?"

Tanpa di ketahui lelaki itu tersenyum miring dibalik lain yang menutupi wajahnya. "Ternyata lo belum sadar atas apa yang udah lo perbuat, sekarang malah nyalahin gue? Bener-bener gak punya hati!" Bentak lelaki itu membuat Gladis membeku di tempatnya.

Mata gadis itu mulai berkaca-kaca saat melihat Rani muncul di belakang lelaki itu. Sial! Dia ternyata di jebak, "kak Rani" lirih Gladis.

Rani tersenyum jahat melihat ekspresi ketakutan dari Gladis. "Gimana calon adik ipar? Kejutannya mengesankan? Gue denger tadi Lo nuduh dia dalang dari semua ini, hahahah...." Ucap Rani sembari menunjuk ke arah lelaki tadi.

"Manusia jahat kayak lo yang harusnya di neraka. Tapi kenapa malah adek gue sama temen-temennya yang jadi korban!! Anak sial kayak lo harus musnah!!" Rani berteriak sungguh dirinya sangat amat membenci Gladis karena Sara.

Gladis sudah menangis namun ia masih diam. "Semua itu bukan salah aku sepenuhnya kak..."

"TERUS SIAPA YANG MAU DI SALAHIN! ANAK JAHAT KAYAK LO GAK PANTES BUAT GAK DI SALAHIN! LO UDAH NGEBUNUH ORANG TUA LO SAMA TEMEN-TEMEN LO SENDIRI! SEKARANG LO GAK NGAKU KALO ITU SEMUA SALAH LO!? KURANG AJAR BANGSAT" nafas Rani menggebu-gebu membentak dan berteriak-teriak di depan Gladis.

"Habisin sekarang aja atau kita main-main dulu" lelaki yang sedari tadi terdiam kini mengeluarkan suara yang berhasil membuat Gladis bergetar hebat, perlahan gadis itu mundur disaat Rani menyeringai.

"Main-main dulu aja gimana? Mahesa?"

Jantung Gladis mencelos saat Rani menyebut nama Mahesa. Ternyata dugaannya selama ini benar bahwa Mahesa yang berada di balik motif pembunuhan berantai dari teman-temannya.

"Kak... Mahesa" lirih Gladis seakan tak percaya.

Mahesa membuka kain yang menutupi setengah wajahnya sehingga memperlihatkan wajah tegas lelaki itu kentara dengan amarah. "Lo!"

Mahesa menunjuk Gladis. "Harus di siksa!" Lanjutnya lagi.










–Petaka.17–

To be continued


Petaka.17 •On Going•Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang