Sudah saatnya

0 0 0
                                    

25. Sudah saatnya

"Tenangin diri Lo dulu"

Sepanjang perjalanan tak berarah itu Gladis terus saja terlihat gelisah bukan terlihat lagi gadis itu benar-benar dibuat gelisah sekaligus panik setengah mati saat ada seseorang yang bahkan ia tidak kenal mengirim Poto sahabatnya yang sudah tak berdaya.

"Kak tolong lebih cepet!"

"Iya-iya tapi pertanyaannya gue cuma satu, Regar sekarang ada dimana? Kita dari tadi muter-muter gatau arah Gladis!" Mendengar nada bicara Desta yang sudah meninggi membuat Gladis bungkam.

Jujur ia sangat panik sampai-sampai lupa akan tujuannya kemana saat ini. Tanpa pikir panjang gadis itu kembali mengecek ponselnya yang ia genggam sejak tadi. Membuka nomor yang tidak dikenalnya berharap akan menemukan tempat dimana mereka sekarang.

Namun gadis itu berdecak kesal, marah dan kesal dengan dirinya sendiri yang hanya bisa gadis itu lakukan hanyalah menangis. "Jangan nangis! Gak ada waktu buat nangis cepet cari tau dimana keberadaan Regar dek!"

"Aku... Aku gak tau kak!" Gladis panik. Ia terus saja menangis membuat Desta menghentikan mobilnya dan menepi.

Menatap adik perempuannya yang sekarang dalam keadaan kacau. "Makanya, kamu jangan panik dulu!"

Gladis merogoh saku celananya untuk mencari keberadaan ponsel miliknya. Benar kata Desta seharusnya ia tidak panik saat dalam keadaan seperti ini membuatnya sedikit kesusahan sekarang. Melihat room chat orang yang tidak dikenalnya tadi.

"Gimana ketemu?" Tanya Desta mengusap punggung sang adik yang bergetar.

Gladis belum menjawab.

Namun selang beberapa menit mencari akhirnya gadis itu berhasil melacak keberadaan pemilik nomor tersebut. Jangan heran gadis itu memang sepintar itu walaupun saat panik ia tidak bisa melakukan apa-apa.

"Udah kak!" Pekik Gladis lalu memberi tahukan dimana keberadaan Regar saat ini.

Mobil mereka berjalan kembali dengan kecepatan lumayan kencang. Gladis sudah tampak gelisah sedari tadi, baru saja ia ingin menemui sahabatnya untuk membeli kue dihari spesial Regar namun kabar buruk menghampirinya terlebih dahulu.

Memang Gladis sudah tau ini adalah saatnya Regar pergi namun ia merasa sangat menyesal karena tak kunjung bisa menyelamatkan sahabatnya. Dan ini yang terakhir atau mungkin.....


-------oOo------

"Dis makan dulu yuk" Gladis tak menghiraukan ajakan Rani kakak perempuan Sara yang terus mengajaknya untuk makan.

Jujur perutnya sudah terasa keram saat ini karena sudah dua hari belum makan semenjak kematian Regar terungkap dan dimakamkan. Gladis terus menangis sampai lupa mengisi perut.

Pantas saja karena Regar adalah sahabat terakhirnya yang ia punya di sampingnya. "Gladis jangan kayak gini, Regar bisa marah sama kamu. Regar juga bakal sedih kalo ngeliat kamu sakit gara-gara gak makan dis" bujuk Rani dengan lembut seolah takut membuat Gladis menangis kembali.

"Regar..."

Suara gadis itu melirih, sudah tak punya kekuatan lagi untuk sekedar mengucapkan sepatah kata pun hanya nama Regar yang terus ingin Gladis ucapkan. "Gladis"

"Masih belum mau makan?" Rani menoleh kearah pintu kamar gadis itu mendapati sang tertua menanyai apakah adiknya masih tidak mau makan. Rani menggeleng lalu beranjak meninggalkan Gladis sejenak untuk menghampiri Desta dengan wajah teduhnya.

"Aku udah bujuk tapi tetep gak mau, Desta aku khawatir sama dia" Rani menundukkan kepalanya Gladis sudah ia anggap sebagai adiknya sendiri semenjak berteman dengan Sara dan sekarang Gladis adalah calon adik iparnya.

Desta dan Rani sudah menjalin hubungan entah sejak kapan yang pasti mereka sering menghabiskan waktu bersama beberapa hari yang lalu.

Desta menghela nafas samar. "Kamu pulang aja dulu, istirahat soal Gladis biar aku aja yang urus" Desta mencoba untuk tersenyum di depan gadis yang ia cintai itu. Meyakinkan bahwa adiknya akan baik-baik saja.

"Tapi...."

"Gapapa, semuanya bakal baik-baik aja kamu pulang ya" ucap Desta lembut. Bukannya mau mengusir Rani hanya saja Desta ingin bicara empat mata dengan adiknya.

Akhirnya Rani pasrah lalu melangkahkan kakinya pergi dari kamar Gladis dan berpamitan untuk pulang.

Setelah kepergiannya Rani Desta turun kebawah untuk mengambil makanan, dan membawanya ke kamar Gladis.

Ceklek...

Desta mendapati adiknya terduduk di sisi ranjang dengan membungkuk seolah tidak ada tenaga dalam tubuh gadis itu. Gladis mulai kurusan sekarang akibat terlalu banyak berfikir. Memandang lurus ke depan jendela panjang membatasi antara balkon dan kamarnya.

Dengan tatapan kosong. Desta merasa miris melihatnya ia hampiri adiknya itu dan duduk disamping. "Makan dulu ya, kamu gak ada tenaga dis, gimana kamu bisa sekolah kalo kayak gini?" Gladis hanya diam lalu menoleh kearah kakaknya.

Dengan mata sendu dan lingkaran hitam dibibir matanya akibat kurang tidur dan wajah gadis itu pucat pasi dengan bibir memutih. "Gak" hanya itu yang diucapkan gadis itu.

"Dis"

"Pergi!" Suara Gladis melirih menyuruh kakaknya pergi dari kamar itu. Saat ini ia hanya ingin menyendiri, Desta menaruh makanan yang ia bawa berniat untuk memberikannya kepada Gladis di atas meja nakas samping ranjang sang adik.

"Jangan keterusan, inget juga kesehatan Lo" tanpa menunggu jawaban dari Gladis, Desta hanya menghela nafas lelah lalu pergi dari sana membiarkan adiknya menyendiri.

Gladis menatap kosong ke depan entahlah apa yang harus ia lakukan sekarang tanpa sadar air matanya kembali menetes, tubuh lemahnya itu bergetar seakan dirinya adalah manusia yang kini hanya tinggal sendiri.

Gadis itu merasa kosong, "ini semua salah gue" ia menunduk. Diakui kesalahannya namun sudah terlambat untuk menebus mungkin ini adalah karma tuhan yang ingin membuatnya sadar.

Perbuatan jahat akan dibalas dengan kejahatan juga dan menghilangkan nyawa akan dibalas dengan nyawa juga.




–petaka.17–

TBC.

Segini dulu ya nanti aku lanjut lagi, kita bunuh Gladis sama-sama awog²

Petaka.17 •On Going•Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang