Faza memeluk tubuh Naura yang masih terlelap. Setelah menceritakan semuanya, Naura langsung saja tidur dalam pelukan Faza, meninggalkan Faza yang masih memikirkan sosok Akbar itu.Tak di pungkiri jika Faza sedikit takut dengan Akbar, ia merasa cemas jika Naura masih belum bisa melupakan Akbar sepenuhnya dan meninggalkannya bersama Kayla.
Faza menghela nafasnya dan memutuskan memejamkan mata. Ia memeluk Naura erat dalam tidurnya.
Hari mulai gelap dan ponsel yang berada di nakas berbunyi nyaring membuat Naura terbangun. Ia mengerjabkan matanya dan menoleh kesamping, sontak semburat merah muncul di kedua pipinya melihat wajah Faza yang sangat dekat dengan wajahnya di tambah posisi tangan Faza saat ini memeluk Naura.
Naura dengan perlahan meraih tangan Faza dan memilih bangkit menuju nakas karena ponsel miliknya terus saja berbunyi.
Ia menatap nomor baru yang ada di layar ponselnya dengan bingung. Tak banyak orang yang tau nomor ponselnya, dan orang-orang terdekatnya pun sudah ia simpan semua nomornya. Lalu siapa yang menelfonnya saat ini?
Dengan ragu ia menggeser tombol hijau di layar.
"Halo"
Naura diam, ia seperti mengenal suara ini tapi ia pun lupa.
"Naura kan?"
"Iya"
Jawabnya singkat dan terdengar suara helaan nafas.
"Saya ibunya Faza, tadi Tante telfon nomor nya Faza tapi nggak di angkat-angkat Ra. Jadinya Tante nelfon kamu. Maaf ya ganggu."
Sontak Naura memperbaiki posisi rambutnya dan wajahnya mendengar suara ibu Faza di telfon. Ia tak percaya jika akan di telfon ataupun berbicara dengan ibunya Faza.
"Ahh maaf Tante, Naura nggak tau. Tante nggak ganggu kok." Jawab Naura dengan cepat dan duduk di tepi ranjang.
"Kamu apa kabar Ra?" Tanya Carolina dengan lembut. Setelah pertemuan mereka beberapa bulan lalu di rumah Faza, keduanya tak pernah lagi ketemu. Terlebih Faza memang sengaja tak mendekatkan keduanya. Entah kenapa.
"Alhamdulillah Tante. Tante gimana kabarnya?"
"Tante baik. Faza tidur ya?"
Pipi Naura seketika merona mengingat jika ia dan Faza tidur di ranjang yang sama. Walau pun tak terjadi apa-apa di antara mereka, tapi tetap saja Naura merasa malu.
"Iyaa Tante. Ohiya Kayla nya ada?" Tanya Naura mengingat jika Faza tak bersama Kayla.
"Kaylanya di rumah Disty, kamu taukan kalau Kayla tidak terlalu dekat dengan kami? Dia nggak mau di tinggal Faza kalau nggak sama Disty."
Terdengar murung, entah apa yang terjadi di antara mereka membuat Kayla tak begitu dekat dengan nenek dan kakeknya. Naura bingung, ia tak tau mau menanggapinya bagaimana. Ia tak mau menyinggung atau membuat suasana tak nyaman jika bertanya lebih lanjut.
"Oh iya Ra? Kalian nggak jadi pulang hari ini kan?"
Sontak Naura melihat jam yang ada di dinding, sekarang sudah pukul 18:46 mustahil mereka bisa pulang hari ini sedangkan pakaian Naura masih berserakan.
"Naura kebablasan tidurnya Tante. Lupa kalau rencana mau pulang hari ini."
"Nggak apa-apa, lagian Faza baru sampai soreh tadi. Pasti capek, kalian istirahat dulu baru pulang ke Jakarta. Nanti Tante yang bilangin Disty kalau kalian nggak jadi pulang."
Naura meringis merasa tidak enak. Pasalnya ia tidak begitu akrab dengan Carolina.
"Nanti Naura aja Tante yang telfon Disty. Nggak usah repot-repot."
"Nggak repot kok Ra. Lagian kamu yakin Kayla ngijinin kalian tinggal? Anak itu nggak bisa pisah loh sama kalian, apalagi kamu. Kalian istirahat saja dulu, jalan-jalan di kota Makassar juga."
"Makasih ya Tante. Maaf ngerepotin."
"Hahaha nggak kok Ra. Yaudah Tante tutup ya. Kalian senang-senang aja di sana."
Naura menatap bingung ponselnya, masih tak menyangka jika akan di telfon oleh Carolina.
"Mama?"
Naura menoleh kaget saat mendengar suara Faza. Ia menatap wajah Faza yang ternyata juga menatapnya.
"Udah bangun mas?"
Ucap Naura menaruh handphone nya di atas nakas. Faza tersenyum kecil dan meraih Naura kedalam pelukannya. Hari ini, Naura sepertinya sudah menerim Faza sepenuhnya. Naura terlihat tak risih jika berdekatan dengan Faza sekarang. Dan itu mampu membuat Faza bahagia.
"Dari tadi." Ucap Faza mengusap rambut Naura yang agak berantakan. Naura mengernyit bingung dan mendongak menatap wajah Faza.
"Dari tadi?" Faza mengangguk pelan.
"Dari pas kamu angkat telfon mama, mas udah bangun."
"Jadi mas denger omongan aku sama Tante Carolina?"
Faza terkekeh pelan mendengar ucapan Naura.
"Mas denger omongan kamu, tapi nggak dengan mama. Lagian ngapain mama telfon kamu?" Tanya Faza dan menarik Naura bersandar di sandaran ranjang.
"Tante Carolina telfon mas berkali-kali tapi nomornya nggak aktif, makanya beliau nelfon aku." Faza hanya mengangguk pelan dan memejamkan matanya. Ia tak ingin momen seperti ini berlalu. Ia tak ingin momen Naura yang tak ada jarak dengannya berlalu dengan cepat.
"Mas" Panggil Naura membuat Faza membuka mata dan menunduk menatap gadis di pelukannya. Iya gadis, karena Faza tak pernah menyentuh Naura lebih dari ini.
"Lapar." Sontak, Faza tergelak mendengar ucapan Naura. Ini pertama kalinya Naura mengeluh lapar kepadanya, padahal kemarin-kemarin Faza suruh makan pun Naura masih malu-malu mengiyakan.
"Mau makan apa?" Tanya Faza menghentikan tawanya saat melihat raut wajah Naura yang tak menyenangkan.
"Apa aja mas, yang penting bisa di makan." Faza tersenyum kecil dan mengecup puncak kepala Naura kemudian berjalan kearah koper miliknya. Ia mengambil tas kecil yang ada di samping koper dan kembali berjalan kearah ranjang.
"Mau pizza?" Tanya Faza yang mulai meng aktifkan handphone miliknya.
Naura tampak menggeleng.
"Mau nasi"
Sekali lagi Faza tersenyum dan mengangguk. Ia mulai membuka aplikasi dan memesan beberapa makanan berat dan ringan untuk mereka.
"Udah, kamu masih ada yang mau di pesen?" Tanya Faza menatap Naura yang sedari tadi menatapnya.
"Udah itu aja Mas."
Setelah menunggu sekitar setengah jam, akhirnya makanan mereka datang juga. Dan keduanya juga sudah tampak segar karena sudah mandi dan berganti pakaian.
"Enak?" Tanya Faza menatap Naura yang makan dengan lahap. Sepertinya Naura tidak makan dari siang tadi.
"Iya."
Faza menatap Naura yang masih fokus pada makanannya. Sebenarnya Faza ingin bertanya lebih lanjut mengenai Akbar, tapi mengingat wajah dan tangis Naura siang tadi membuat Faza mengurungkan niatnya. Faza tidak mau kehilangan Naura, dan Faza akan membuat Naura tidak merasa sakit lagi jika mendengar nama Akbar.
"Mas." Panggilan Naura membuat Faza tersentak dari lamunannya.
Naura menatap Faza dengan senyum kecil. Ia tau jika Faza masih memikirkan Akbar dan ceritanya tadi.
"Tadi Naura nangis itu bukan karena masih mencintai Akbar, tapi Naura merasa kasihan dan lega bisa mendengar penjelasan Akbar yang Naura memang tunggu-tunggu dari dua tahun lalu."
Bersambung...
Maafkan author yang baru up ya🤸
KAMU SEDANG MEMBACA
NAURA HIILINIA
Romance"Hanya ibu. Aku hanya menginginkan kasih sayang ibu. Aku hanya ingin hidup bersama ibu. Papa bisa kan?" "Kenapa harus ibu nak? Kan udah ada papa." "Aku tidak mau di anggap cacat karena nggak punya ibu." "Kamu mau menjadi ibunya?" "Maaf pak?" Dia...