Naura kini mengendarai motor nya dengan kecepatan sedang mengitari kota Jakarta. Terik matahari membuat dirinya sesekali mengusap lengan kanannya yang lumayan perih.
Ia membelokkan motornya memasuki lorong yang tak jauh dari kampus, saat masuk lorong ia dapat melihat ada beberapa kost-kostan di sana. Pertama ia memarkirkan motornya di kontrakan putri yang lumayan bersih itu. Ia membuka pagar besi dan berjalan masuk. Saat ia sedang mencatat nomor pemilik kost yang menempel di dinding, ia di kagetkan saat ada seseorang menepuk pundaknya.
"Ada yang bisa di bantu kak?" Naura menatap gadis seusianya itu dengan senyum. Kemudian ia kembali memasukkan ponsel yang tadinya ia gunakan untuk mencatat nomor itu ke dalam saku celananya.
"Anu mbak, kira-kira masih ada kosong nggak?" Tanya Naura menunjuk kontrakan.
"Oalah, udah penuh Kak." Naura menghela nafas pelan.
"Yaudah makasih ya mbak. Kalau gitu saya permisi." Gadis tadi mengangguk pelan dan Naura berjalan menuju motornya yang ia parkir di luar pagar.
Ia kembali melakukan motornya kearah kontrakan yang tak jauh dari kontrakan tadi dan memarkirkan motornya di luar pagar. Ia melihat kontrakan ini agak ramai. Naura masuk melalui pagar yang memang terbuka, ia tersenyum kearah beberapa gadis yang duduk bercerita di sana. Mereka menatap Naura dengan bingung.
"Permisi mbak, mau nanya." Ucap Naura dengan senyum kecil.
Para gadis itu tersenyum ramah menatap Naura.
"Iya mbak?"
"Kontrakannya masih ada kosong?"
"Ada mbak, yang di sana kosong. Mbak mau ngontrak?" Naura akhirnya lega.
"Iya mbak. kalau boleh tau rumah pemilik kontrakan nya di mana ya?"
Setelah berbincang-bincang mengenai kontrakan dengan pemilik kost. Akhirnya Naura memutuskan untuk menempati kontrakan itu, ia bahkan sudah membayar lima bulan kedepannya. Supaya nanti ia bisa kembali menabung untuk bayar kost dan untuk ia sisipkan untuk membayar sahabatnya.
Hari mulai sore dan Naura kini berjalan menuju apartemen, ia memutuskan untuk berbenah dan mulai memindahkan barangnya sedikit demi sedikit malam nanti.
Setibanya di apartemen, sudah ada Anti yang tengah duduk di sofa ruang tamu sembari memainkan ponselnya. Sadar akan kehadiran Naura, ia menoleh dan tersenyum kecil.
"Habis nyari kontrakan Ra?" Tanya Anti menepuk sisi lain sofa. Naura segera duduk di sana dan menganggukkan kepalanya pelan.
"Kamu yakin?" Sekali lagi Naura mengangguk.
"Ra, please kamu nggak usah ambil pusing. Apartemen ini kita ber emp-bertiga yang beli, kalau kamu pindah bagaimana dengan apartemen ini?"
"Kalian bisa jual kembali An. Apartemen ini pasti banyak peminatnya, apalagi dekat dengan kantor-kantor besar dan kampus." Anti menatap Naura diam.
"Aku juga niat untuk nyicil uang kalian yang kalian kasih ke aku dulunya." Lanjut Naura membuat Anti menatap nya dengan kaget.
"Ngaco kamu Ra!" Anti menggeleng pelan dan menggenggam tangan Naura yang ada di pangkuan gadis itu.
"Nggak ada ya Ra. Aku nggak mau kamu jadi kayak gini hanya karena Disty kena marah sama papa mamanya. Lagian Disty kena marah karena Disty nggak pernah nyeritain keadan kamu selama ini. Disty nggak pernah ngomong masalah kamu sama keluarga jadi orang tua Disty salah paham." Naura menggeleng pelan dan menatap Anti dalam.
"Maka dari itu An, aku nggak mau bikin Disty dan keluarganya makin nggak salah paham. Ini baru Disty An, gimana dengan kalian? Aku nggak tau bagaimana tanggapan keluarga kalian tentang aku sekarang. Apalagi, kak Amira pasti sudah nyebarin berita itu ke seluruh kampus. Aku nggak mau buat kalian nggak nyaman nantinya. Jadi tolong, kedepannya kita jangan terlalu dekat lagi."
"Terus masalahnya selesai?" Naura diam. Ia mengalihkan tatapannya ke arah jam dinding yang ada di atas pintu masuk. Apakah masalahnya akan selesai? Mungkin tidak, tapi Naura ingin kenyamanan sahabatnya terlebih dahulu.
"Mungkin masalahnya nggak akan selesai An, tapi setidaknya kalian merasa damai berada di sekitar kampus."
"Kamu kira dengan begitu kami akan damai? Ra, kita sahabatan udah tiga tahun lebih. Kamu tau bagaimana kami yang tidak bisa mengabaikan mu. Terlebih Disty Ra. Bagaimana Disty akan merasa nyaman jika kamu menjauh dari kami? Padahal permasalahannya ada pada orang tua dan kakaknya."
Anti menatap Naura mencoba untuk mempertahankan gadis itu untuk tetap tinggal di apartemen ini. Mereka batu saja membelikan apartemen ini beberapa Minggu yang lalu, bagaimana bisa mereka menjualnya kembali?
"Maaf An, tapi bagaimana pun ini semua kesalahan aku. Kalau saja aku nggak terlalu manja dan tau diri kemarin-kemarin, semua ini nggak bakal terjadi."
"Jadi aku tetap akan keluar dari apartemen ini dan menyicil ke kalian."
***
Satu Minggu telah berlalu, akhirnya Naura benar-benar keluar dari apartemen itu. Ketiga teman Naura sudah berusaha menahan gadis itu untuk tetap tinggal, namun ia pun bersikeras untuk keluar dari sana.
Hari Senin, Naura tengah menatap dirinya di pantulan cermin. Kamar kostnya yang tidak terlalu luas itu tampak rapi dengan barang yang tertata dengan benar. Naura meraih tas selempang nya yang ada di kasur dan berjalan keluar. Hari ini ia dapat kelas pagi, jadi setelah dari kampus nanti, ia akan sempatkan untuk mencari kerja paruh waktu. Ia kira akan tidak serumit ini, namun kenyataannya membuat Naura cukup pusing.
Naura berjalan memasuki gedung kampus, dan bisikan-bisikan itu masih dapat ia dengar. Walau sudah tidak separah beberapa hari yang lalu. Naura hanya menghela nafas pelan dan berjalan menaiki tangga menuju lantai dua, ia berjalan dengan wajah menunduk dan menggenggam tali tas nya dengan erat. Naura ingin masa sarjana nya akan menyenangkan, ia menginginkan hidup yang damai di kampus, ia tidak menginginkan ini terjadi. Jika saja Naura dari awal tau diri dengan kasta nya, ia tidak akan mendapatkan ini semua. Ini salahnya, jadi Naura hanya bisa diam tanpa ada niat untuk menghentikan bisikan-bisikan itu.
Brukkk
"Maaf kakak"
Bersambung....
Salam manis:)
@VeNhii
KAMU SEDANG MEMBACA
NAURA HIILINIA
Romance"Hanya ibu. Aku hanya menginginkan kasih sayang ibu. Aku hanya ingin hidup bersama ibu. Papa bisa kan?" "Kenapa harus ibu nak? Kan udah ada papa." "Aku tidak mau di anggap cacat karena nggak punya ibu." "Kamu mau menjadi ibunya?" "Maaf pak?" Dia...