Part 17 - Malam

545 62 2
                                        

Selamat membaca:)

PART 17 - MALAM

Huuhhh huhh

Haechan terbangun tiba-tiba dengan napas terengah di tengah malam. Ia mengusap wajahnya pelan begitu bayangan masa lalu kembali berputar di mimpinya. Ia memutuskan untuk bangun dan pergi menuju dapur untuk mengambil minum.

Begitu melangkahkan kakinya ke dapur, Haechan dapat melihat papanya yang tidur di sofa ruang keluarga. Menghela napas pelan kemudian melanjutkan langkahnya. Mengambil segelas air dan melegakan tenggorokannya yang kering. Setelahnya, Haechan melangkah keluar dari dapur dan menuju kamar yang tepat berada di sebelah kamarnya.

Tangannya memutar knop pintu pelan, tidak ingin membangunkan pemilik kamar. Matanya menelisik kedalam kamar yang didominasi lampu warna kuning tersebut sehingga ia dapat dengan jelas melihat sesosok manusia yang tidur nyenyak diatas ranjang dengan selimut yang sudah teronggok di lantai. Menghela napas pelan sebelum melangkahkan kaki masuk ke dalam dan membenarkan letak selimut Winter.

Ia melihat raut wajah damai adiknya saat tertidur. Dalam hati ia berjanji bahwa adiknya harus merasakan kebahagiaan dan tetap hidup damai meskipun ia harus mengorbankan apapun untuk itu. Hingga tanpa ngatannya mulai menerawang jauh ke belakang.

"Semua ini gara-gara kamu!!" tunjuk seorang wanita paruh baya tepat di depan mata seorang anak berusia dua belas tahun.

"Kalau kamu nggak ninggalin cucu saya sendirian, dia nggak akan mengalami hal mengerikan seperti ini!!"

Haechan hanya bisa menangis tersedu-sedu mendengar oma membentaknya. Lorong rumah sakit yang berada agak jauh dari ruangan tempat Winter dirawat tersebut hanya berisi suara makian dari nyonya Hermawan dan tangisan Haechan.

"Omaa, abang hiks nggak sengaja ninggalin adek disana oma hiks."

"Halah!! Saya nggak butuh alasan kamu, gara-gara kamu cucu saya terluka fisik dan batinnya. Dia sekarang trauma dan harus mendapatkan perawatan!"

"Jauhi cucu saya!!" Telunjuk nyonya Hermawan terangkat untuk mendorong kening Haechan, membuat Haechan terhuyung ke belakang karena kerasnya dorongan tangan sang oma.

"Jangan buat masalah apapun yang melibatkan cucu saya!!" Sekali lagi tangan Nyonya Hermawan mendorong kening Haechan.

"Winter harus bahagia dan hidup tenang tanpa kamu. Dasar anak pembawa sial!! Nggak tau diri kamu!! Kamu sud-"

"Oma stop!!"

Tepat ketika tangan nyonya Hermawan hendak mendorong kening Haechan untuk kesekian kalinya, Doyoung datang dan langsung menepis tangan yang hendak melukai sang adik. Ia menyembunyikan Haechan di belakang tubuhnya. Menatap omanya dengan tatapan marah yang begitu ketara.

"Apa maksud oma ngelakuin ini sama abang?"

"Kamu masih nanya sama saya?! Setelah dia ninggalin cucu saya dan bikin cucu saya terluka??!! Kamu pikir saya akan diam saja melihat Winter terluka seperti saat ini?!"

"Oma, ini semua bukan salah abang. Bukan abang yang membuat Winter terluka, tapi orang lain oma." ujar Doyoung berusaha menahan emosi. Bagaimanapun, ia harus selalu ingat bahwa wanita dihadapannya ini adalah wanita yang melahirkan papanya.

"Halah!! Kalau saja adik kamu ini nggak ninggalin cucu saya, cucu saya pasti sedang bernyanyi di atas panggung dan bukan berada di rumah sakit seperti sekarang!!"

Haechan hanya bisa menangis sambil mengeratkan cengkeramannya di seragam abu-abu putih milik sang kakak.

"Oma, abang nggak bermaksud buat ning-"

"Stop!! Saya nggak butuh alasan apapun dari kamu."

Nyonya Hermawan mengalihkan pandangannya kearah Haechan yang berada di belakang Doyoung.

"Dan kamu!! Jangan dekati cucu saya lagi. Ngerti kamu?! Awas kalau kamu buat masalah lagi. Saya sendiri yang akan mengirim kamu ke tempat dimana seharusnya kamu berada!!" Ujar nyonya Hermawan sebelum beranjak dari tempatnya. Meninggalkan Doyoung dan Haechan yang masih menangis disana.

Doyoung hanya terdiam menatap kepergian omanya. Ia berbalik dan menghapus air mata Haechan yang terus mengalir dengan deras diiringi isakan memilukan.

"Mas, hiks maafin abang hiks."

"Sssttt, abang nggak usah minta maaf. Ini semua bukan salah abang. Ini musibah. Abang nggak salah. Jangan dengerin omongan oma tadi ya. Maafin mas karena telat dateng." Haechan hanya terisak pelan mendengar perkataan sang kakak.

Lamunan Haechan langsung buyar begitu ia mendengar suara pintu kamar Winter yang dibuka semakin lebar. Ia menolehkan kepalanya ke arah pintu dan melihat ada Doyoung disana. Ia menghampiri Doyoung dan mendorongnya pelan agar keluar kamar.

"Mas mau ngapain?" Ujar Haechan setelah menutup pintu kamar Winter.

"Cuman mau liat Winter doang. Lo ngapain disini?"

"Sama, tadi cuman mau liat. Trus abis benerin selimutnya si curut. Biasalah. Tingkahnya kan emang suka sembarangan." Ujar Haechan diakhiri kekehan kecil sambil menatap pintu kamar sang adik yang tertutup.

"Tidur lagi sana. Masih jam setengah dua. Besok sekolah." titah Doyoung.

"Hooh, ini mau balik."

Tanpa mengucapkan apapun lagi, Haechan langsung berlalu menuju kamarnya. Meninggalkan Doyoung yang berdiri termenung di depan kamar Winter. Menatap nanar kepergian sang adik. Doyoung menghela napas pelan kemudian berjalan menuju kamar orang tuanya untuk mengecek keadaan sang mama.


0_0

Haechan menutup pintu kamarnya sebelum menyandarkan tubuhnya disana. Memijat pelipisnya yang terasa sakit sebelum menjatuhkan tubuhnya di lantai dengan posisi duduk, menekuk kedua lututnya sebelum menelungkupkan kepalanya disana. Lama kelamaan terdengar isakan dari mulutnya. Tangannya terangkat untuk menjambak rambutnya. Isakannya terdengar semakin jelas. Rasa bersalah semakin menggerogoti hatinya. Perasaan bahwa ia memang anak pembawa sial mendominasi dirinya saat ini.

Maaf


TBC




Makasih buat yang sudah baca, makasih juga buat yang udah vote💋

Semoga suka sama part ini. Babaaaayyyyy✨






Love,

Esteh
18 April 2022

WE ARE FAMILY!! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang