Selamanya [2]

114 15 2
                                    

Proses pemakaman berjalan dengan khidmat. Semua keluarga menyaksikan dengan rasa sesak di relung hati. Saudara yang terkenal sangat ramah, baik, dan penyabar itu, harus meninggalkan mereka dengan begitu cepat. Mereka semua tidak menyangka, kecelakaan tadi malam di Semarang akan membuat salah satu keluarganya meninggal.

Air mata dari ibu korban tidak berhenti turun. Wanita berusia lima puluh tahun itu sangat terpukul dengan kepergian anak tunggalnya.

Ayah dari korban memang tidak terlihat menangis, tapi bukan berarti beliau tidak bersedih. Sebagai suami, dia harus bisa tegar agar istrinya bisa menerima takdir menyakitkan ini. Mungkin pria yang sudah berumur itu, akan menangis tengah malam saat sang istri telah tertidur.

Selain kedua orang tua korban, ada satu orang yang juga sangat terpukul dengan kabar ini. Perempuan berusia dua puluh empat tahun yang berstatus sebagai kekasih korban. Senyum manis yang biasanya selalu terukir, kini lenyap ditelan kesedihan. Matanya yang selalu berbinar, kini hanya menatap kosong ke arah gundukan tanah yang sudah ditaburi bunga. Air matanya memang sudah tidak turun, tapi kesedihan masih menyelimuti mata indahnya. Kedua bahu gadis itu pun, dipeluk erat oleh sang ibu. Jika tidak, mungkin gadis itu tidak akan kuat untuk berdiri.

Satu persatu keluarga dan teman dekat korban mulai meninggalkan makam. Kini hanya tersisa kedua orang tua korban, kekasih dan kedua orang tuanya.

"Lu, ayok kita pulang," ajak sang ibu kepada anaknya.

Lusy menggeleng lemah, dia belum ingin meninggalkan makam itu.

"Mama duluan aja, aku masih mau di sini," balas sang anak dengan lemah.

"Tapi, Lu-" Suci, ibu Lusy menghentikan ucapannya saat seseorang menepuk pundaknya. Dia menoleh, dan mendapati suaminya menggeleng kecil.

Suci menghela napas. Dia mengerti maksud suaminya. "Kalau gitu, Mama pulang duluan, ya. Kalau kamu udah mau pulang, telepon Ayah aja. Nanti Ayah yang jemput," ucap Suci pada akhirnya.

Lusy mengangguk lemah.

Suci menghampiri Jeni, ibu dari korban. Memeluk wanita itu, kemudian berpamitan untuk pulang terlebih dahulu.

Setelah kepergian orang tuanya, kaki Lusy melemah, gadis itu pun akhirnya berjongkok di samping makam.

Jeni melirik ke arah Lusy, dia bisa melihat rasa sakit yang gadis itu rasakan. Tangannya bergerak untuk memeluk gadis mungil itu. Seketika tangis Lusy kembali pecah di dalam pelukan ibu dari kekasihnya.

"Bunda, kak Jo ..." lirih Lusy.

Jeni tidak membalas apapun, dia lebih memilih untuk menenangkan gadis itu dengan mengelus punggungnya.

Setelah dirasa tangis Lusy mereda, Jeni mengurai pelukannya. Tangan wanita itu mengelus sisa air mata Lusy. "Bunda tau ini berat untuk kamu. Ah, bukan, ini berat untuk kita berdua. Kamu sayang sama Jo, Bunda juga sayang sama Jo. Tapi kita, harus bisa ikhlasin kepergian Jo. Bunda yakin, Jo pasti udah tenang di atas sana," ucap Jeni dengan berusaha keras untuk membuat senyum kecil di bibirnya.

"Lusy nggak boleh nangis lagi, ya. Kalau Lusy nangis, Jo pasti akan ikut sedih. Lusy nggak mau bikin Jo sedih, kan?"

Lusy menggeleng. Tangannya bergerak untuk menggenggam tangan Jeni, lalu berkata, "Bunda juga jangan nangis lagi, ya. Kak Jo juga pasti sedih kalau liat Bunda nangis."

Jeni tersenyum kecil, lalu mengangguk. "Bunda mau pulang sekarang, Lusy mau ikut?"

Lusy kembali menggeleng. Dia masih ingin berada di sini. "Bunda duluan aja, Lusy masih mau nemenin kak Jo."

"Tapi jangan kesorean, ya. Lusy juga harus pulang dan istirahat."

Lusy mengangguk. "Sebentar lagi Lusy pulang kok. Lusy cuman mau berduaan dulu sama kak Jo."

Love SpellTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang