Rabu Rindu [10]

51 15 0
                                    

Gadis dengan piyama kelinci itu tengah fokus dengan laptop di depannya. Jantungnya berdetak dengan tidak karuan. Tangannya masih menggenggam flashdisk berwarna hitam hadiah dari Malik.

Ya, isi dari hadiah yang Malik berikan itu flashdisk yang tengah Naya genggam. Sebelum Naya membuka isi hadiah itu, Sonia menyuruh gadis itu untuk mengganti pakaiannya terlebih dulu. Hingga akhirnya saat ini dia sudah terlihat nyaman dengan pakaian tidur.

Lain hal nya dengan pakaian yang nyaman, hati Naya tengah gelisah. Dia ingin segera melihat isi flashdisk itu, tapi hatinya masih sedikit ragu. Dia takut merasakan sakit untuk kesekian kalinya.

Naya menghela napas, kemudian mulai menyalakan laptopnya. "Kamu bisa, Na. Cuman liat isi flashdisk doang, kok," monolognya.

Flashdisk berwarna hitam itu kini telah terhubung dengan laptop di depannya. Namun, lingkaran putus-putus pertanda loading yang masih terpampang.

Butuh sekitar satu menit hingga layar berlatar laut itu kini terganti dengan warna putih dan beberapa file di dalamnya. Di sana hanya ada sekitar lima file dengan nama yang sama–Una dan Rabu, hanya akhiran angka romawi yang membedakannya.

Una itu Runaya, dan rabu ... hari dimana keduanya mengungkapkan perasaan dan hari saat El pergi untuk pertama kalinya.

Naya menghela napas. Tangannya bergerak untuk memilih file pertama, Una dan Rabu I. Video pertama berhasil Naya pilih untuk menjadi pembuka.

Layar berubah hitam, tak lama, karena kemudian terlihat wajah lelaki yang sangat Naya rindukan.

Tangan Naya bergerak mengelus laptopnya. "El," lirihnya.

Di depan sana El tersenyum manis. Meski bibirnya sedikit pucat, tapi bibir itu masih terlihat indah.

"Hello Una. Hari ini hari rabu di minggu kedua bulan Februari. Hari ini El baru selesai terapi. Kata dokter kondisi El semakin membaik. El seneng banget denger kabar itu."

Di depan sana senyum El terlihat sangat mengembang. Tersirat bahagia yang sangat dalam.

"Ah, El sampe lupa buat cerita kapan El pulang ke Indonesia. Jadi, waktu pertama El ijin buat pergi ke Surabaya, itu beneran kok, Na. El lupa tanggal berapa, pokoknya di tahun dua ribu empat belas El beneran ke Surabaya, ke rumah nenek dan tinggal di sana. Tapi, di pertengah tahun, El sering sakit-sakitan, El sering sakit kepala yang bener-bener sakit. Kadang El juga ngerasa lemes banget padahal nggak ngapa-ngapain. Hingga akhirnya Papa bawa El ke dokter. Di rumah sakit Surabaya, El udah didiagnosa kena penyakit kanker otak tapi masih stadium dua."

Air mata Naya turun dengan sendirinya. Dia tidak tahu kalau El menderita sakit parah. Tangannya dia gunakan untuk menutup mulut menahan suara tangisannya agar tidak keluar.

"El jadi rutin minum obat dan periksa ke dokter. Waktu itu, El belum menjalani kemo terapi, karena El nggak mau rambut El botak. Sampai akhir tahun dua ribu empat belas, El nggak ngerasain perkembangan apa-apa. El masih sering pusing. Di awal tahun dua ribu lima belas, Papa mutusin buat bawa El ke Singapura. Satu tahun El berobat di sana. Tapi, kondisi El masih sama. Bahkan mungkin malah makin parah."

Wajah serius El kini terganti dengan tawa renyah lelaki itu. Melihat tawa El, tangis Naya semakin deras. Dia merasakan tawa kesakitan di sana.

"Soalnya El males minum obat. Bukannya El nggak mau sembuh, tapi El udah bosen minum obat terus. Makanya, tiap kali Mama ngasih El obat, obatnya El umpetin di balik lidah, waktu Mama keluar kamar, El muntahin lagi obatnya. El, bandel, ya, Na? Abisnya obatnya pait, sih."

Love SpellTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang