Lamaran [3]

95 16 0
                                    

Devin mengumpat saat dia sudah tidak melihat Anna di koridor lantai tiga belas itu. Dengan cepat Devin kembali berlari, dia harap Anna masih berada di bawah.

Lagi-lagi Devin mengumpat saat dia juga tidak mendapati Anna di lantai bawah. Devin mengacak rambutnya frustasi. Ini salahnya, dia harus segera mencari kekasihnya dan menjelaskan kesalahpahaman ini. Tunggu, bukannya kesalahpahaman ini itu benar? "Agrh, bego, kenapa Lo maen bawa Risa ke apart, sih. Ribet kan jadinya."

Devin menghela napas sejenak, sebelum lelaki itu mulai berlari ke arah taman di samping gedung tinggi ini.

Hanya dalam dua menit, Devin sudah sampai. Taman yang asri dan segar menjadi pemandangan pertama yang ia lihat. Lalu saat matanya bergulir ke arah kiri, senyumnya terangkat. Dia berhasil menemukan gadisnya.

Di sana, disalah satu kursi, Anna tengah duduk sendirian. Bahu gadis itu sedikit bergetar, menandakan bahwa dia tengah menangis dalam diam.

Devin meringis, ini salahnya, Anna menangis karena ulahnya. Lelaki itu dengan perlahan mulai berjalan menghampiri Anna. Hingga kini dia sudah berada tepat di depan gadisnya.

Anna yang merasakan kedatangan seseorang, dengan cepat menghapus air matanya. Dia tidak ingin orang lain melihatnya menangis. Cukup saat dia berlari ke sini orang-orang melihatnya aneh karena menangis sambil berlari. Tidak lagi untuk saat ini.

Namun, saat matanya menangkap sosok di depannya, mata gadis itu kembali memanas. Kilasan kejadian yang dia lihat tadi kembali membayangi.

Dari pada dia menangis untuk kesekian kalinya, Anna lebih memilih untuk segera pergi. Tanpa berkata apapun, Anna langsung berdiri. Saat akan melangkah, tangan Devin menahannya. Lelaki itu tidak mungkin membiarkan Anna pergi begitu saja.

"An, dengerin aku dulu."

Anna menghela napas, sebenarnya dia sudah lelah, tapi gadis itu tidak cukup kuat untuk memberontak dari genggaman tangan Devin. Akhirnya meski dengan malas, Anna berbalik, lalu menatap kekasihnya.

Sungguh, dada gadis itu kembali sesak, gumpalan air dari matanya mulai memberontak ingin keluar. Namun dengan sekuat tenaga ia tahan.

Anna tidak berkata apapun, gadis itu hanya berdehem menandakan ia menunggu kelanjutan ucapan Devin.

"Kamu jangan salah paham, aku sama Risa nggak ngalakuin apa-apa. Masalah baju, kamu juga tau kan kalau aku nggak pernah pake baju kalau tidur."

"Ya, aku tau masalah itu," Anna menganggukkan kepalanya, "tapi, terlepas dari kalian ngelakuin hal gila atau nggak, dengan kalian tidur satu kamar bahkan di ranjang yang sama, itu tetap kesalahan fatal."

"Tapi kita nggak ngapa-ngapain, An."

Anna menghela napas lelah. Kekasihnya tidak mengerti dengan yang dia katakan. "Kakak nggak usah pura-pura bodoh, aku yakin kakak ngerti dengan ucapan aku tadi."

Kali ini, Devin yang menghela napas. "Oke, aku akui aku salah. Aku minta maaf." Devin mengusap tangan Anna dengan ibu jarinya, "kamu mau maafin aku, kan?"

Anna tersenyum miring, kalau bisa dia sangat ingin mengumpati kekasihnya ini. Kenapa Devin begitu mudah mengatakan kata maaf?

Anna mengangguk kecil, tapi setelahnya dia melepaskan genggaman Devin. "Aku maafin kakak, tapi maaf, untuk melanjutkan hubungan sama kakak, aku nggak bisa."

Mendengar itu, Devin membulatkan matanya, dia sangat terkejut. "An, kamu ... kamu mau kita putus?"

Anna hanya menjawabnya dengan anggukan.

Berbanding terbalik dengan Anna, Devin justru menggeleng keras. "Nggak, nggak mungkin kamu mutusin aku. Kamu bercanda, kan?"

Anna kembali menghela napas, "aku serius, kak."

Love SpellTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang