Angan Kerinduan [2] ✓

75 11 1
                                    

Setelah kejadian dua hari lalu, aku kembali mengingat semuanya. Siapa namaku –Bianca Lylyana–, keluargaku, teman sekolahku, sahabatku, penyakit yang aku derita selama ini, dan juga ... Melvino Dewangga, lelaki terhebat setelah ayahku. Namun entah kenapa, setiap kali aku menanyakan tentang Melvin, semuanya bungkam.

Hari ini aku sudah kembali ke rumah, senang sekali rasanya. Ada beberapa keluarga dekat yang menyambut kedatanganku. Tapi, ada satu orang yang membuat senyumku mengembang.

“Tante, Bi kangen banget,” ucapku saraya memeluk wanita paruh baya itu.

“Tente juga kangen banget sama kamu, Bi.” Tante Dea membalas pelukanku. Tante Dea itu, ibunya Melvin.

Aku melepaskan pelukannya. “Melvin ke sini juga nggak, Tan?”

Seketika ruat wajah Tante Dea berubah. Sedikit sendu. Tapi kemudian dia tersenyum.
Ini ada apa?

“Nanti Tante ceritaiin di kamar kamu, ya.”

Meski heran, aku tetap mengangguk.
Setelah sampai di kamar tidurku, Tante Dea memberikanku sebuah kotak berwarna biru. “Ini apa Tante?”

“Kamu buka aja, ya,” jawabnya.

“Ini dari Melvin, Tan?” tanyaku yang diangguki oleh Tante Dea.

Aku segera membukanya. Isinya hanya ada sebuah flashdisk. Aku mengercit. Sedikit heran, tapi tak urung aku juga menyalakannya lewat laptop yang ada di meja belajar.
Di sana, hanya ada satu file dengan nama Melbia ♡. Aku tersenyum membaca file itu. Melbia, itu singkatan nama kita, Melvin dan Bianca.

Di sana tersimpan satu video. Aku pun segera membukanya.

Di dalam video itu, ada Melvin yang tengah terbaring di ranjang rumah sakit(?)

Hello, Bee. Kamu apa kabar? Aku yakin saat kamu liat video ini, tandanya kamu udah baik-baik aja. Kamu nggak perlu khawatirin aku, aku juga baik-baik aja, kok.”

Aku mau ngasih kamu kabar baik nih. Buat kedepannya, kamu nggak usah khawatirin kondisi kamu lagi, kamu akan selalu baik-baik aja. Kamu juga bisa lakuin apa aja yang kamu suka sepuasnya.”

Dan juga harapan terakhir kita bakal terwujud. Aku akan selalu ada sama kamu sampai akhir waktu kamu nanti.” Melvin terdiam sejenak, seperti sedang memikirkan sesuatu.

“Kalau kamu akan selalu sama aku, sekarang kamu dimana, Vin?”

Tapi, aku minta maaf sama kamu, Bee. Aku nggak bisa nepatin janji aku sama kamu.” Melvin kembali terdiam, kemudian lelaki itu menunduk. “Aku ... Aku nggak bisa nepatin janji aku ... untuk nggak ngasih jantung aku sama kamu.”

“Jangan bilang–“ Ucapanku terhenti. Mataku juga mulai berair, aku menggeleng, berharap pikiranku salah.

Maaf, Bee. Aku akan donorin jantung aku buat kamu.”

Mataku melotot. “Nggak, kamu pasti boong, Vin. Ini cuman prank-kan? Kamu pasti masih hidup kan?”

Maaf, Bee. Aku nggak tahu sampai kapan aku bisa bertahan. Aku ngerasa hidup aku udah nggak lama lagi. Jadi, daripada aku pergi sepenuhnya, lebih baik ada sebagian dari diri aku yang masih hidup.”  Melvin tersenyum.

“Nggak, Vin.” Aku menggeleng, tidak terima dengan semua perkataannya. “Kamu tega ninggalin aku, Vin? Aku sayang kamu, Vin. Kenapa kamu malah pergi."

Rasanya semua kebahagiaanku tadi lenyap seketika. Lelaki terhebat itu telat pergi, dia meninggalkanku sendiri di sini, padahal dia tahu, aku sangat bergantung padanya.

Bee, jangan kamu pikir, aku lakuin ini karena ingin ninggalin kamu. Nggak, kamu salah. Justru, dengan begini kamu masih bisa rasain detak jantungku di dalam diri kamu. Aku akan tetap ada sama kamu. Di sana–" Melvin menunjuk lensa kamera. “Di dalam dada kamu,” lanjutnya.

Secara spontan tanganku memegang dadaku. Di sana, terasa detak jantung yang begitu cepat. “Vin, kenapa kamu lakuin ini,” lirihku.

Bee, satu hal yang perlu kamu tau. Entah itu saat ini, atau nanti setelah aku pergi. Kamu akan menjadi satu-satunya wanita yang aku cintai. I love you, Bee. Keep smiling, because your smile is my smile. I love you more, more, and more. See you in another life.” Melvin kembali tersenyum dengan tulus, sebelum semuanya menggelap.

Air mataku tidak bisa berhenti. Orang yang aku nanti kehadirannya tidak akan pernah kembali. Dia tidak akan bisa terlihat lagi.

****

Sore ini, aku telah berada di rumah baru Melvin. Gundukan itu masih merah, bahkan ada taburan bunga yang sepertinya masih baru. Aku terduduk di sana, ku lihat batu nisan itu, ‘Melvino Dewangga bin Afandi Dewangga’.

Aku tersenyum tipis membacanya. Mencoba menahan tangis yang sedari tadi memaksa untuk keluar.

Aku nggak boleh nangis, aku harus tersenyum agar Melvin bisa bahagia di sana.

“Assalamualaikum, Vin. Kamu apa kabar? Di sini aku baik-baik aja, berarti di sana, kamu juga baik-baik aja, kan?” Sekuat tenaga aku tahan tangis ini.

“Dulu aku pernah bayangin, saat kamu bakal datang ke makam aku, karena umur aku yang nggak lama lagi. Tapi kenyataannya bertolak belakang, kini malah aku yang datang ke makam kamu.”

“Vin, aku–“ Aku kembali terdiam. “Aku nggak tau lagi harus ngomong apa, Vin. Semuanya terlalu tiba-tiba buat aku. Ingin rasanya aku nahan kamu pergi, nahan kamu buat nggak donorin jantung kamu. Tapi aku nggak bisa, hingga akhirnya aku harus kehilangan kamu.”

“Aku nggak bisa ketemu kamu lagi, Vin.  Aku harap, kamu akan selalu mampir di mimpiku untuk mengobati rindu yang pastinya akan selalu membara.” Aku mencoba tersenyum.

“Satu hal yang harus kamu tau. Entah itu saat berada di sisiku, atau ketika kamu sudah berada jauh di sana, kamu akan tetap menjadi laki-laki yang paling aku sayangi setelah Ayahku.” Tanganku bergerak memegang jantungku, yang detaknya kian memburu. “Selama jantungmu masih berdetak, selama itu pula aku akan tetap mencintaimu.”

Sekarang dunia kita telah berbeda
Setiap kerinduan yang kurasa
Hanya akan menjadi sebuah angan belaka.

End.

************

Yuhuuu cerpennya memang gaje banget, tapi semoga aja kalian tetep suka.

Sampai ketemu di cerita selanjutnya 🤍

Love SpellTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang