Ini Akhirnya?

114 9 2
                                    

Jika epilognya sudah dapat diprediksi
Lantas untuk apa kita tetap memulai prolog?

*****


Jam dinding masih menunjukan pukul enam kurang sepuluh menit, masih sangat pagi untuk membuat rumah berisik. Tapi hari ini pengecualian. Di pagi ini semua keluarga tengah kerepotan dengan urusan masing-masing.

"Adek, cepetan dong mandinya, ini udah mau jam enam," teriak sang Bunda karena telah sepuluh menit sang anak bungsu belum juga selesai dengan urusannya.

"Abang ayok turun, masa pake baju aja sampe setengah jam."

"Kakak juga, cepetan dandannya nanti kita nggak kebagian shaff depan."

"Ayah juga, bukannya bantuin Bunda malah asyik ngopi."

Oke, tidak ada yang bisa membantah perkataan Sang Ratu di pagi hari raya Idul Fitri. Setelah mendengar ultimatum Bunda, semua anggota keluarga segera menyelesaikan urusannya masing-masing.

Selang dua puluh menit, semuanya sudah bersiap untuk berangkat ke masjid terdekat.

"Kak, jangan lupa kasih tau Melvin ke sininya jam delapanan aja. Jadi jam sembilan kita udah ke rumah Eyang," titah Bunda saat keduanya tengah berjalan beriringan.

"Emang udah selesai salam-salaman sama tetangga, Bunda?"

"Udahlah, nggak usah mampir aja. Lagian yang lain juga pasti langsung berangkat ke rumah sodaranya."

Runa mengangguk, "nanti di sana kakak langsung kabarin Melvin."

----------

Acara sungkeman telah selesai, bertepatan dengan bel rumah keluarga Adimas yang berbunyi. Juwi mengusap kepala Runa yang masih sesegukan, lalu melirik sang anak tengah, "tolong bukain pintunya, Bang."

Ryan mengangguk patuh, kemudia berjalan ke arah depan. Jangan tanyakan keberadaan Haryo dan anak bungsunya, mereka berdua telah mencuri start untuk mencicipi ketupat buatan Bunda.

"Udah dong sayang nangisnya, masa mau ketemu Melvin kamunya beler," ujar sang Bunda berusaha menenangkan sang anak.

Bujukan Bunda berhasil, tangisan Runa terhenti. Anak gadis itu melirik sang Bunda, "maafin Kakak ya Bunda." 

"Assalamualaikum Bunda."

"Kata Bunda juga apa, ketemu Melvin beler, kan?" bisik Juwi sebelum menjawab salam dari kekasih anak gadisnya.

"Waalaikumsalam, Sayang. Sini duduk samping Bunda." Juwi menepuk kursi sebalah kanannya yang memang kosong.

"Abang gabung sama Ayah, ya Bun," Ryan mengusap perutnya, "laper," lanjutnya seraya langsung pergi ke arah dapur.

"Minal aidzin Bunda, maafin Melvin belum bisa bahagiain Bunda sama Runa," ujar Melvin seraya mencium tangan Juwi.

"Iya, Sayang," Juwi mengusap kepala Melvin, "maafin Bunda juga ya,"

"Nggak seharusnya Bunda minta maaf," Melvin menggeleng kecil, "Bunda nggak pernah punya salah sama Melvin."

"Kamu emang paling pinter ya," Bunda terkekeh seraya menggeleng kecil, "yaudah, kita ke dapur aja, yuk. Nanti ketupatnya dihabisin sama Ayah. Kamu juga belum ketemu Ayah, kan?"

--------

"Kak, kamu bareng sama Melvin aja. Siapa tau nanti kalian mau pulang duluan karena bosen."

Runa patuh, setelah menjawab iya, dia dan sang kekasih segera berjalan menuju mobil hitam yang terparkir di depan mobil sang Ayah.

Love SpellTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang