2. Pil Pahit

92K 7.8K 28
                                    

"Papa kok nggak ada di kamar mbak?" Tanya Luna, sembari mendekat ke arah asisten rumah tangganya, yang tengah memasak di dapur.

"Oh, tadi bapak pamit mau ke makam ibu non. Sudah dari satu jam yang lalu, tapi sepertinya belum pulang." Luna sontak membuang wajah ke arah lain. Mendengar penjelasan dari Mbak Tin, membuat moodnya kembali berantakan.

"Ya sudah kalo gitu biar aku tunggu di luar aja. Mbak Tin lanjut masak buat makan malam ya."

"Siap non."

Baru saja duduk di kursi taman, Luna kembali beranjak, ketika mobil Pajero milik sang papa berjalan memasuki halaman rumah.

"Kamu sudah pulang?" Tanya Robi pada putrinya. Perempuan itu mengangguk singkat.

"Papa dari mana?" Tanyanya kemudian.

"Papa dari makam mama kamu, biasa setiap jumat kan papa selalu ke sana." Jawaban jujur dari Robi semakin membuat amarah Luna memuncak.

"Sampai kapan papa mau kaya gini terus?" Desak anak itu.

"Maksud kamu?" Robi tentu bingung dengan pertanyaan yang Luna sampaikan.

"Sampai kapan papa datang ke makam wanita itu? Nggak ada gunanya papa setiap jumat datang ke sana. Buang-buang waktu! Sebaiknya papa cari wanita lain yang lebih baik ketimbang mengunjungi makam pengkhianat." Robi menghela nafas panjang. Raut lelah di wajahnya berubah menjadi raut sedih.

"Luna, sampai kapan kamu mau seperti ini?" Tanya Robi lirih, dengan tatapan sarat akan keputusasaan ke arah sang putri.

"Papa nggak akan berhenti datang ke makam mama. Bahkan papa selalu berharap, suatu hari kita bisa berkunjung berdua ke sana." Pintanya dengan tulus.

"Mimpi! Sampai kapanpun Luna nggak akan pernah menampakkan diri di makam itu." Ucapan kasar Luna terdengar tegas. Tidak ada rasa marah yang Robi tunjukkan meski mediang istrinya dihina. Itulah cara Robi menjaga perasaan Luna.

"Mama sudah meninggal Luna.. Lupakan semuanya dan maafkan kesalahan dia." Dengan suara serta jemari yang sedikit bergetar, Robi berusaha meraih tubuh sang anak. Namun Luna semakin melangkah mundur.

"Nggak akan semudah itu Pa. Meninggal atau tidak, kelakuan buruk wanita itu tetap saja membuat hidup Luna berantakan!" Luka di hati Luna sepertinya sudah mendarah daging.

"Istigfar Luna! Jangan seperti ini."

"Luna nggak tahu hati papa terbuat dari apa. Bahkan setelah pengkianatan itu terjadi, papa tetap saja mencintai wanita itu."

"Maaf Pa, tapi Luna nggak sebaik papa." Lanjut Luna Tegas, seraya pergi meninggalkan Robi yang masih mematung di halaman.

...................

"Selamat siang pak Robi, proses pengurusan jenazah ibu Tamara sudah selesai. Jadi kita semayamkan di rumah duka?"

Dengan langkah sedikit terseret dan mata bengkak yang tidak mampu di samarkan, Robi langsung mengangguk menjawab pertanyaan dari pihak rumah sakit.

"Nggak!!!" Teriak Luna dari lantai dua.

Perempuan kelas tiga SMA itu langsung berlari ke lantai bawah, dan membanting apapun yang ada di sana.

"Aku nggak mau menerima pengkhianat dan pembohong di rumah ini!"

"Siapapun jangan berani-berani membawa mayat wanita busuk itu ke sini!" Teriak Luna diiringi tangisan yang kian menjadi.

Sepaket Luka & Obatnya (Versi benar)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang