16. Definisi Sakit Bertubi-tubi

50.7K 5.8K 22
                                    

[Beberapa minggu kemudian]

"Beneran gue tinggal nggak pa-pa?" Tanya Tami dengan raut wajah khawatir.

"Iya, Tam.... Kalo lo nggak pergi, siapa yang mau gantiin gue pimpin rapat." Ujar Luna lemah.

"Gue harap, lo bisa segera bangkit dan balik lagi pimpin Resto ya Lun.... Gue sedih lihat lo begini mulu." Mata Tami berkaca-kaca.

Luna hanya tersenyum sembari menghela nafasnya perlahan. "Iya, pelan-pelan gue pasti bangkit. Sekarang lo pergi aja, gue berani kok di sini sendiri. Nanti mbak Tin juga nyusul."

"Nanti setelah meeting selesai, gue langsung ke sini ya. Kalo ada apa-apa kabarin, telfon gue atau pak Sunan, oke!"

"Iya bawel!"

Luna kembali menatap kosong, tembok ruangan bercat putih yang saat ini ia tempati.

Kemarin, tepat empat puluh hari kepergian Robi. Luna yang sebelumnya sudah kuat menerima kenyataan, kembali pingsan sepulang dari makam sang papa.

Mbak Tin, Tami dan pak Sunan langsung membawa Luna ke rumah sakit untuk dirawat intensif. Gangguan pencernaan akibat pola makan tidak teratur juga stres yang ia alami membuat kondisinya sempat drop.

Dalam waktu sebulan ini, Luna masih rutin didampingi seorang psikolog, yang datang ke rumah empat kali dalam seminggu. Berangsur kondisi mentalnya mulai pulih, meski perempuan itu tidak pernah mampu menghilangkan kesedihan karna kepergian Robi.

Otaknya terkadang masih menolak fakta, jika papanya sudah pergi kembali ke pangkuan Tuhan.

Lamunan Luna buyar saat pintu ruangannya terbuka. Luna pikir mbak Tin sudah datang, namun ternyata sosok wanita cantik yang muncul di sana.

Luna tampak mengernyit bingung, seperti kenal? Tapi siapa? Kaya pernah lihat, tapi di mana?

"Selamat pagi!" Sapanya ramah, dengan senyum lembut membuat aura cantiknya semakin terpancar.

Luna hanya mengangguk pelan kemudian tersenyum canggung.

"Pasti bingung ya, sama kedatangan saya?" Seru wanita itu menyadari ekspresi yang Luna tunjukkan.

"I-iya.. Maaf, ibu ini siapa ya?"

"Jadi, kemarin psikolog yang biasa mendampingi kamu mengalami kecelakaan. Nggak begitu parah sih, tapi kakinya masih susah dipakai untuk jalan.. Dia meminta saya untuk menggantikan, semoga saja kamu tidak keberatan dengan orang baru." Jelasnya.

"Oh.. Ekhm, iya nggak pa-pa, sama sekali tidak masalah." Ujar Luna dengan raut wajah yang mulai biasa.

"Saya sudah menerima beberapa laporan tentang kondisi kamu, sejak pertama kali didampingi psikolog hingga hari ini. Saya rasa, perkembangannya cukup pesat. Nanti jika dalam beberapa kali pertemuan sudah tidak ada masalah, kamu bisa mulai beraktivitas normal tanpa harus kita dampingi."

Luna kembali mengangguk. "Saya sadar, bisa normal atau tidak, semua pasti tergantung pada diri saya... Dan saya janji, akan semangat lagi setelah ini." Tekad Luna pada dirinya sendiri.

"Bagus!" Ujar wanita itu sembari mengacungkan jempolnya pada Luna.

"Oh iya, kita tadi belum kenalan ya.. Nama saya Viani Suci." Luna mematung kala mendengar wanita itu menyebutkan namanya. Tubuhnya mendadak tegang, hingga mengabaikan uluran tangan Viani pada dirinya.

Viani Suci? Astaga....

Perihal skandal yang Tamara dan Galang dibenarkan pihak keluarga Viani Suci, istri sah Galang.

Rasa panik kembali menghantam pikiran Luna, bagaimana bisa orang-orang di masa lalunya kini justru satu-satu berdatangan.

"Luna..." Panggil Viani Lirih ketika mendapati Luna gelisah di tempat tidurnya.

"Luna...." Panggilnya lagi, tangan Viani berusaha meraih tubuh Luna namun perempuan itu terus menghindar.

"Anda istri Galang Hadiwinara? Berarti anda ini ibunya Rayhan? Apa kedatangan anda ke sini untuk balas dendam?" Viani melotot.

"Hey, dengerin saya dulu... Luna, saya benar-benar tidak ada maksud apapun. Bahkan saya tidak kepikiran pada permasalahan masa lalu itu." Luna lupa mengendalikan dirinya, tangisnya pecah dengan tubuh yang bergetar.

Viani panik hingga menahan tangan Luna agar tidak berlari dari tempat tidur.

"Tenangin diri kamu, jangan seperti ini... Kedatangan saya benar-benar ingin menolong kamu dan meluruskan beberapa hal agar tidak ada salah paham lagi."

Tubuh Luna berhenti memberontak, usapan lembut Viani pada rambut Luna, dengan aura keibuan yang ia pancarkan mampu membuat perempuan itu kembali duduk di ranjangnya.

"Minum dulu ya." Titah Viani, Luna menurut meski tatapannya kosong.

"Kenapa Anda mau menggantikan psikolog kemarin untuk mendampingi saya." Tanya Luna dingin.

"Seperti yang saya bilang tadi, untuk membantu kamu sembuh, dan meluruskan apa yang pernah terjadi pada masa lalu keluarga kita." Jawab Viani dengan tenang.

Luna tertawa miris. "Pasti sangat sulit mendampingi anak dari wanita yang pernah mengganggu keutuhan rumah tangga anda."

"Jangan bicara seperti itu Luna, saya tidak pernah punya dendam apapun pada ibumu." Ujar Viani tulus. Luna menatap wanita di depannya dengan raut sulit diartikan.

"Sekarang saya yang malu, harus meminta bantuan pada wanita yang pernah dihancurkan mentalnya oleh ibu saya." Ungkap Luna pedih.

"Sekarang fokus ke kesembuhan kamu dulu aja yuk. Kita bisa berbincang-bincang tentang hal itu lain waktu, saya yakin ada banyak sekali persoalan yang belum kamu tahu." Luna terdiam.

"Emm... Gimana kalo kamu panggil tante aja. Biar lebih santai.." Pinta Viani berusaha memecah keheningan yang terjadi beberapa saat. Luna mengangguk setuju.

"Saya sangat takut, jika kedatangan Tante dan Rayhan sekarang, ada motif balas dendam..." Viani langsung melotot.

"Saya sudah tidak punya siapa-siapa lagi. Papa..... Orang yang selalu menjaga dan melindungi saya, kini sudah pergi dan tidak akan kembali." Viani tersenyum sembari mengusap jemari perempuan di depannya.

"Dulu, tante sempat kenal dekat sama papa kamu. Kami sering bertemu setiap ada acara di sekolah. Kita banyak berbincang tentang hal apapun, dari sana... Tante betul-betul tahu jika pak Robi sangat menyanyangi kamu." Viani terdiam sejanak.

"Tante percaya, meski sudah pergi untuk selamanya, di alam sana pak Robi tetap setia menjaga Luna. Beliau pasti tidak mau kalau Luna terus-terusan sedih apalagi sampai terpuruk seperti ini." Mendengar itu, Luna kembali terisak.

"Luna... Ditinggal orang yang paling disayang memang terkadang membuat kita tidak mudah menerima kenyataan. Sedih dan menangis itu manusiawi, tapi jangan berlarut-larut.. Kamu pasti juga nggak mau kan kalo pak Robi di sana nggak tenang." Luna menggeleng cepat.

"Nah, tante minta pelan-pelan kamu mengikhlaskan kepergian pak Robi. Buang segala pikiran negatif dan rasa takut yang ada di pikiran kamu."

"Tante tahu ini nggak mudah, tapi tante yakin kamu bisa melakukannya."

"Tante sangat percaya... Tuhan tidak akan pernah mengambil papa kamu, kalo dia tahu kamu tidak mampu."

"Tapi ini tiba-tiba, tante... Semua terjadi begitu cepat. Bagaimana Luna bisa siap menghadapinya." Viani beranjak dari kursi sembari memeluk erat tubuh Luna.

"Saat kamu percaya kalo Tuhan tidak akan mengambil sesuatu yang kita punya, tanpa diganti dengan yang lebih baik, kamu akan selalu siap menjalani hidup."

Sepaket Luka & Obatnya (Versi benar)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang