"Engh.." Rayhan yang tengah mengerjakan laporan tepat di samping tempat tidur Luna sontak menoleh.
Perempuan yang kini masih berbaring lemah itu mulai menggerakkan jemarinya sambil mencoba membuka mata perlahan.
"Udah bangun?" Tanya Rayhan sedikit terkejut, lalu beranjak dari kursi untuk mendekati ke arah Luna.
Luna dengan tatapan mata yang masih kosong itu, berusaha mengenali tempat keberadaannya kali ini.
"Minum dulu," Titah Rayhan sembari memberikan segelas air dengan sedotan. Tidak lupa mengatur posisi tempat tidur agar Luna semakin mudah bergerak.
Tidak menuruti apa yang laki-laki itu pinta, Luna dengan cepat menggeleng lemah.
"Ini di mana?" Tanyanya bingung.
"Di rumah sakit, tadi kamu pingsan. Aku sama mbak Tin langsung bawa kamu ke sini. Sekarang mbak Tin baru pulang ambil baju ganti." Jelas Rayhan sambil meletakkan kembali air minum ke meja.
"Kamu ngapain di sini? Papa mana? Kamu pasti mau balas dendam sama aku kan? Papa kenapa pergi gitu aja, padahal dia janji mau jagain aku dari orang-orang jahat." Luna lagi-lagi menangis setelah ingatannya pada Robi kembali.
Rayhan mematung di tempatnya, kemudian menatap perempuan yang kini memeluk lututnya sambil menunduk dalam-dalam.
Luna terisak di sana, bahkan nafasnya terdengar sesak.
"Nggak usah berusaha bikin aku hancur, bahkan kamu nggak berbuat apapun hidupku sudah bisa hancur sendiri..." Lanjut perempuan itu, Rayhan masih terdiam.
"Aku udah nggak punya siapa-siapa lagi. Bahkan aku juga nggak yakin bisa hidup setelah papa pergi."
"Kalau tetap mau balas dendam, mending sekarang aja. Mumpung aku udah benar-benar siap. Udah pasrah sama apapun yang harus terjadi." Luna menarik pisau di atas meja. Sebuah pisau buah berukuran kecil yang tadi sempat Rayhan beli untuk mengupas apel.
Laki-laki itu melotot ketika Luna membawa pisau ke tangannya. Lalu memberikan pada Rayhan.
Dengan tatapan tidak mengerti, Rayhan memandang bingung pada pisau yang kini ia pegang.
Luna kembali berbaring lalu memejamkan matanya erat. "Nggak akan ada yang lapor polisi kalo kamu bunuh aku sekarang dengan pisau itu, semua orang akan berfikir aku sengaja bunuh diri karna frustasi. Jadi... Lakukan untuk menebus semua kesalahan mama di masa lalu, yang bikin kamu jadi benci sama aku dan keluargaku."
Hingga beberapa detik berlalu, Luna tidak merasa ada goresan apapun di tubuhnya. Perempuan itu kembali membuka mata, tepat saat potongan apel menyentuh permukaan bibirnya.
Perempuan itu terkesiap, menyadari Rayhan justru mengupas beberapa jenis buah dengan pusau kecil itu dan memberikannya ke arah Luna.
"Makan!" Ucap laki-laki itu datar.
Luna menampik kasar tangan Rayhan kemudian kembali menangis sesenggukan.
"Aku mau nyusul papa aja..." Ujarnya lirih sembari memeluk erat tubuhnya sendiri.
"Aku takut papa sendirian... Aku takut papa masih mencari mama di alam sana, atau jangan-jangan papamu dan mamaku justru bersatu dan papa kembali mendapat kesedihan yang sama saat masih di dunia." Tangis Luna semakin pecah, sebuah ketakutan konyol yang ada di pikirannya membuat keadaan Luna semakin memprihatinkan.
Rayhan memilih membereskan pisau dan piring ke meja. Tak lupa menggeser meja sedikit jauh dari jangkauan Luna, serta menyembunyikan pisau kecil tadi ke laci. Mengambil langkah waspada khawatir jika saat dirinya lengah, Luna justru membahayakan dirinya sendiri.
Rayhan berjalan ke luar kamar, memanggil dokter yang tadi menangani Luna.
Di luar dugaan, saat beberapa perawat dan seorang dokter masuk ke ruangan itu, Luna justru mengamuk sembari menjambaki rambutnya sendiri, tidak ingin di periksa.
Dokter terpaksa memberikan obat penenang dan membiarkan Luna kembali tertidur.
"Apa kondisinya cukup mengkhawatirkan?" Tanya Rayhan bingung.
"Begini pak, kondisi psikis dan fisik pasien sangat terganggu. Ada banyak tekanan dalam dirinya yang membuat kondisi Luna semakin terpuruk."
"Selain asupan makanan yang tidak ada sama sekali, sepertinya trauma yang berat membuat Luna sulit menerima kenyataan." Rayhan cukup mengerti apa yang dokter jelaskan.
"Apa kami bisa membawanya pulang? Sepertinya dia sangat tidak nyaman berada di rumah sakit. Saya punya dokter pribadi di rumah yang siap mengawasi kesehatan pasien." Pinta Rayhan.
"Boleh saja pak, tapi satu hal yang penting, saya rasa Luna juga perlu didampingi dokter spesialis kejiwaan, atau kalau tidak bisa dibawa konsultasi ke psikolog. Kesehatan mentalnya harus segera dipulihkan."
Pikiran Rayhan langsung berlari ke Viani, ibunya adalah seorang psikolog yang biasa menangani orang-orang dengan gangguan mental serta kejiwaan seperti yang saat ini Luna alami.
Tapi sepertinya, tidak mungkin jika Rayhan meminta Viani untuk mendampingi Luna di masa penyembuhannya. Bagaimana akan sehat jika Luna tahu perempuan yang membimbingnya masih ada sangkut pautnya dengan masa lalu Tamara dan Galang.
Bisa-bisa Luna hanya akan terus terpuruk mengingat hal itu.
"Apa di rumah sakit ini ada dokter spesialis yang bisa melakukan konseling di rumah?"
"Maksud saya, apa ada yang bersedia diundang ke rumah beberapa hari sekali atau mungkin setiap hari begitu? Jadi, kami tidak perlu ke rumah sakit."
"Coba nanti saya tanyakan pada pihak rumah sakit ya pak, biasanya ada yang melakukan home care di luar jam kerja."
"Kalau begitu, saya permisi." Pamit Dokter setelah memberi penjelasan.
"Terimakasih Dok.."
Rayhan berjalan mendekat ke arah tempat tidur, matanya menatap wajah Luna dengan tatapan membingungkan.
Wajah cantik alami itu adalah turunan dari wajah milik sang ibu. Ya, Rayhan benar-benar menyadari itu. Jika mengingat apa yang terjadi dulu, dirinya ingin sekali mengumpat keras pada kelakuan bejat yang Galang dan Tamara lakukan.
Rayhan menelan ludahnya susah payah, mendadak menyesali perbuatan buruknya di masa lalu, hingga membuat luka batin Luna tidak sembuh sampai sekarang.
Andai, saat itu dia tahu lebih dulu tentang fakta Tamara dan Galang... Rayhan pasti tidak akan melimpahkan kesalahan keduanya pada Luna.
"Noh, cewek yang lagi jalan itu, ceng-cengin gih! Murahan tuh, ibunya pelacur ganggu rumah tangga bokap gue."
"Lah, yang bener lu Han?"
"Sejak kapan Rayhan Hadiwinara jadi tukang bohong."
Segerombolan teman-teman Rayhan segera berlari mendekati Luna yang tengah menunggu jemputan. Rayhan hanya melihat dari kejauhan bagaimana teman-temannya menggoda Luna sekaligus menganggap gadis itu seperti mainan.
Dari raut wajah yang Luna tunjukkan, dirinya tampak benar-benar ketakutan. Gadis cantik itu terus memundurkan tubuhnya ke pojok tembok. Berusaha meminta orang-orang itu untuk pergi dan tidak mengganggunya.
Tapi kelewat jahil, mereka baru pergi saat Luna benar-benar menangis dan ditertawakan beberapa orang yang tidak sengaja lewat di depan ruangan itu.
Ada banyak sekali kejahilan yang Rayhan rencanakan di masa lalu, meski ia lancarkan melalui teman-temannya.
Saat itu yang dia mau hanya membuat Luna menderita.
Dan hari ini, matanya terbuka. Perempuan yang ia sakiti, ia kerjai bahkan pernah ia lecehkan adalah perempuan yang berusaha mengumpulkan kepingan asa, demi menyambung semangat di hidupnya. Pantas jika Luna sampai saat ini menganggap kehadiran Rayhan sebagai upaya balas dendam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sepaket Luka & Obatnya (Versi benar)
ChickLit[READY EBOOK 📱] LINK PEMBELIAN EBOOK BISA DM/BUKA DI PROFIL AKU, TEPATNYA DI BERANDA PERCAKAPAN YA☺️ "Ngapain di sini? Jual diri ya." Luna memejamkan matanya, berusaha meredam amarah atas tuduhan dari seseorang yang sejak bertahun-tahun perempuan...