18. Tinggal Kenangan

46.2K 5.5K 26
                                    

"Yang gue lihat di ruangan lo beberapa hari lalu itu, ibunya Rayhan?"

"Iya, dia yang jadi pendamping gue sekarang."

Mendengar penjelasan temannya, Tami sontak mengernyit.

"Gue takut kalo mereka punya rencana jahat Lun, emm... Bukan berprasangka buruk, tapi lo heran nggak sih kenapa orang-orang di masa lalu lo, bisa pada kumpul gini sekarang?"

Luna menatap Tami sejenak.

"Awalnya gue juga berfikir gitu sih Tam, tapi setelah diingat-ingat lagi... Di dunia ini gue merasa kaya udah kehilangan banyak hal, jadi mau mereka punya rencana jahat parah-parahnya sampai gue dibunuh, gue udah nggak peduli sekarang." Tutur perempuan itu santai, Tami tidak mampu menanggapi bahkan hanya menatap prihatin ke arah Luna.

"Lo tahu sendiri, nggak ada hal yang lebih buruk selain ditinggal papa kemarin."

"Lun, jangan ngomong gitu... Gue selalu ada di samping lo kok." Seru Tami.

"Tam... Gue bukan nggak menganggap lo, kita memang sahabatan udah lama, tapi tetap aja kehidupan kita beda.. Gue nggak mungkin terus-terusan bergantung dan repotin lo.."

Jawaban Luna membuat Tami terdiam sejenak. Otaknya langsung ingat pada kedatangan Christ minggu lalu.

"Lo udah dapat undangan pernikahan dari Christ?" Tanya Tami dengan nada sangat pelan, Luna bisa melihat wajah sahabatnya itu yang tampak tidak enak hati.

"Udah.." Jawab Luna tidak kalah pelan, lalu kembali menatap laptop di depannya.

Hari ini, perempuan itu sudah mulai bekerja. Setelah pulang dari rumah sakit seminggu lalu, Luna bertekad untuk kembali mengurus restoran yang hampir dua bulan tidak ia tengok.

Dengan langkah pelan, Tami mendekati Luna kemudian mengusap bahunya lembut. "Are you okay?"

Luna hanya mengangguk sekilas, "I'm Fine, Tam.. Nggak perlu khawatir sama diri gue. Lagian, hal ini udah pasti terjadi, kita emang nggak berjodoh." Ujar Luna setelah menghela nafas panjang.

"Lo mau datang ke nikahannya?"

"Kayanya enggak Tam, gue udah kirim pesan ke Christ kalo gue mungkin nggak datang ke sana. Lo jadi datang kan sama Elang?"

Tami kembali diam. Posisinya serba salah. Elang, pacarnya adalah sahabat baik Christ. Sedangkan dirinya juga dekat dengan Christ sejak kuliah dulu. Meski begitu, Tami ingin menjaga perasaan Luna.

"Kok diam sih Tam? Nggak papa lagi kalo lo mau hadir di acara pernikahan Christ. Elang pasti ngajak lo ke sana, nggak mungkin enggak."

"Tapi Lun, restoran gimana? Gue mungkin di Australia bisa sampai tiga hari." Tutur Tami tidak enak hati.

"Duhh, nggak usah dipikirin Tam, kan gue udah mulai kerja lagi. Tenang aja, aman kok." Ujar Luna sembari tersenyum.

"Lun, lo yakin?"

"Iya.. Seratus persen yakin. Salam aja buat teman-teman dan keluarga di sana."

"Besok gue kenalin ke teman-temannya Elang ya! Siapa tahu ada yang cocok sama lo."

"Tam.. Jangan mulai deh!" Protes Luna sembari memukul pelan bahu sahabatnya, membuat Tami tekekeh.

Tami memang begitu, beberapa kali dirinya mengenalkan Luna pada sahabat-sahabat Elang. Tentu mereka memberi respon cukup baik. Namun terlanjur tidak percaya diri, Luna jadi semakin sulit membuka hatinya.

_______________

"Non Luna sudah pulang... Mau mbak Tin siapkan makanan?"

"Nanti saja mbak, Luna mau istirahat dulu di kamar." Jawab perempuan itu membuat mbak Tin mengangguk.

Naik ke lantai dua untuk menuju kamarnya, langkah Luna mendadak berhenti saat melewati kamar Almarhum Robi.

Tangannya terulur sambil mengusap pelan pintu kayu besar itu. Setelah beberapa saat mematung.

Berdiri cukup lama dan hanya memandangi warna pelitur di kayu itu. Luna akhirnya memberanikan diri meraih handle pintu lalu membukannya dengan cekatan.

Berjalan perlahan, Luna memberanikan diri masuk ke kamar itu. Yah... Luna sampai tidak sadar jika Robi sudah sebulan lebih tidak menempati kamar ini.

Tubuh Luna gemetar kala mengingat waktu itu, waktu di mana Robi masih membereskan kamar ini sendiri sebelum pergi ke Puncak.

Robi memang tidak pernah mau kamarnya dibereskan orang lain. Pria itu senantiasa melakukannya sendiri, bahkan sejak Tamara masih ada.

Luna duduk di sisi tempat tidur, lalu memandangi tembok tinggi di depannya. Jajaran bingkai foto kebersamaan Robi dan Tamara begitu penuh menempel di sana.

Luna tidak pernah tahu kapan foto itu diambil, tapi menurut penjelasan Robi, foto-foto itu adalah kenangan saat dulu mereka berdua belum menikah. Ya, Luna tahu jika papa dan mamanya dulu adalah sepasang sahabat.

"Semoga di sana, papa bisa menemukan mama dan mendapat cinta utuh dari wanita yang selama ini papa cintai." Lirih Luna sembari mendekap bingkai foto sang papa.

Sejak dulu, Luna menyadari jika Cinta Robi pada Tamara sangat besar. Meski Luna sadar cinta papanya bertepuk sebelah tangan.

Tamara lebih memilih Galang ketimbang laki-laki yang serius dan tulus mencintainya. Bahkan meski selalu wanita itu rendahkan, Robi tidak pernah sekalipun mengurangi rasa cintanya pada Tamara.

"Semoga saja, mama di sana nggak berkhianat lagi, Pa."

Perempuan itu diam sejenak.

"Kalo bahkan mama di sana benar-benar nggak mau bersama papa... Papa jangan merasa kesepian, cari Luna pa, Luna mau kok nyusulin papa.." Ujarnya seperti kehilangan kewarasan.

Luna berjalan menyusuri sisi ruang kamar Robi. Dia ingat betul, baru kali ini berani masuk lagi ke ruangan papanya setelah kepergian pria itu.

Aroma parfum yang biasa Robi pakai, begitu menenangkan Luna. Perempuan itu bersumpah tidak akan membereskan semua barang yang ada. Dia ingin kamar Robi tetap seperti ini. Tentu, jika kelak Luna merasa sendiri dan sedih, satu-satunya tempat yang akan ia tuju adalah kamar papanya.

Dada perempuan itu sedikit sesak, ketika menatap bingkai besar pernikahan Robi dengan Tamara. Dulu, Luna marah sekali melihat bingkai itu masih dipajang, bahkan Robi mengganti bingkainya berkali-kali saat Luna berusaha merusaknya.

"Sayang.... Ini foto satu-satunya yang papa punya. Tolong jangan dibakar, papa nggak punya kenang-kenangan lain..." Luna sontak berhenti saat Robi memohon di kakinya sembari menangis.

"Tolong.. Tolong biarkan bingkai itu tetap utuh."

Korek yang ia pegang sudah berhasil membakar ujung bingkai. Permintaan Robi yang tampak pilu mau tidak mau membuat Luna mematikan apinya susah payah.

Luna tersenyum pedih, sembari menghapus air matanya kasar.

"Pa, Luna sadar... Selama papa hidup, Luna terlalu banyak merepotkan. Luna juga ingin papa bahagia, Luna janji akan hidup lebih baik setelah ini."

"Pelan-pelan aku juga akan melupakan dan memaafkan kesalahan mama... Luna tahu ini terlambat, seharusnya Luna melakukannya saat papa masih ada.."

"Tapi aku tahu papa pemaaf.. Papa pasti bisa memaklumi ini." Ucap Luna kemudian tersenyum.

"Papa nggak perlu khawatir, Luna sekarang nggak takut lagi menghadapi kenyataan hidup. Luna nggak peduli lagi jika ada yang hina atau merendahkan Luna."

"Papa nggak usah cemas, aku pasti bisa jaga diri... Iya, Luna janji pa." Tekadnya sembari mengusap lembut bingkai foto Robi.

Sepaket Luka & Obatnya (Versi benar)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang