24. Gelora

48.9K 6K 247
                                    

"Udah siap?" Seru Brams, pada anak dan istrinya, yang tengah berkumpul di sofa.

Hari ini, keluarga kecil itu akan menghadiri sebuah acara di kantor Brams.

"Udah sayang." Jawab Viani sambil merapikan pita di rambut Riri.

"Loh, Luna mana?" Tanya pria itu, saat sadar Luna belum kelihatan sejak pagi tadi. Rayhan menatap sekilas pada Brams, pertanyaan papa tirinya seolah mewakili rasa penasaran yang sejak tadi ia tahan.

Viani menghela nafas sejenak. "Luna nggak jadi ikut pa, perutnya sakit."

"Asam lambungnya kambuh atau gimana?"

"Bukan, dia lagi datang bulan. Tadi, Luna udah bilang ke mama kalo ditinggal nggak pa-pa. Lagian kita perginya nggak lama, kan." Sela Viani pada sang suami.

"Ya sudah, kalo begitu kita segera berangkat. Biar nanti pulangnya nggak kemalaman." Berbeda dengan papa, mama serta adiknya yang segera beranjak. Rayhan justru menyandarkan punggung ke sofa.

"Ayok, Ray."

"Kalian duluan aja, nanti aku nyusul."

"Loh, nggak bareng papa sama mama aja?" Tanya sang ibu.

"Aku lupa ada satu berkas yang belum dicek." Jawaban sang anak membuat Viani berdecak pelan.

"Ya sudah nggak pa-pa, nanti kalo udah selesai segera nyusulin ya." Putus Brams yang hanya dijawab anggukan oleh Rayhan.

__________________

Luna mendekap perutnya kuat-kuat. Sejak semalam, dirinya kesakitan efek hari pertama datang bulan.

Selama hidup, Luna jarang merasakan nyeri saat masa menstruasinya tiba. Hanya sesekali, itu saja tidak sampai sehebat ini.

Sakitnya sekarang, mengingatkan Luna pada kejadian bertahun-tahun silam. Di mana perempuan itu, baru mendapatkan menstruasi pertamanya. Kalau diingat-ingat, mungkin saat kelas satu SMP.

Luna ingat betul, bagaimana Robi kebingungan dengan kondisi sang anak. Pria yang tidak pernah tahu perkara menstruasi, harus ikut repot membeli berbagai macam merek pembalut untuk putrinya.

Kala itu, Tamara hampir tidak pulang selama seminggu. Luna yang sudah siap dengan seragam sekolah, tiba-tiba menangis kejer saat mendapati noda darah di rok putihnya.

Mungkin karna efek syok, gadis itu sampai demam, membuat Robi semakin panik.

Mbak Tin menjelaskan dengan tenang pada sang majikan, jika ini wajar dialami setiap perempuan. Meski begitu, Robi tetap takut, pria itu pergi ke apotik untuk membeli obat pereda nyeri, mengingat sang anak terus mengeluh kesakitan.

Kini, Luna hanya bisa menghela nafas panjang, kemudian mengelus dadanya pelan. Robi tinggal kenangan... Tidak ada pria penyanyang itu lagi, yang bersedia mendengar keluhan darinya.

Air matanya mengalir deras, andai papa masih ada..

Luna beranjak pelan dari tempat tidur. Perempuan itu pikir, semua orang rumah sudah berangkat ke acara di kantor Brams.

Sepaket Luka & Obatnya (Versi benar)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang